Sabtu, 22 Desember 2012

Kaltara, Asa Mensejajarkan Diri

AKHIR
Oktober 2012 menjadi hari bersejarah bagi NKRI karena Ibu Pertiwi melahirkan anak termudanya, yakni Kalimantan Utara, yang resmi menjadi provinsi ke-34. DPR RI mengesahkan Provinsi Kaltara (Kalimantan Utara) pada 25 Oktober 2012 yang meliputi lima daerah, yakni Kabupaten Bulungan (Ibu Kota Provinsi Kaltara), Kota Tarakan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, dan Kabupaten Tana Tidung (KTT). Berbeda dengan daerah lain (tingkat provinsi) yang masih belum disetujui untuk dimekarkan, maka Provinsi Kaltara memiliki arti strategis. Paling utama, daerah tersebut berbatasan langsung dengan Sabah dan Serawak (Malaysia bagian timur) sehingga banyak kalangan berpendapat wajar pemerintah dan DPR RI memprioritaskan Kaltara menjadi daerah otonomi baru yang terpisah dari Provinsi Kalimantan Timur. Menengok ke belakang, maka lahir Kaltara bisa diartikan sebagai jawaban dari janji Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sejak awal kepemimpinannya sudah berulang kali bertekad mengatasi berbagai masalah wilayah perbatasan. Janji SBY itu, di antaranya disampaikan dalam pidato kenegaraan 15 Agustus 2008. Dalam pidato panjang itu, Presiden SBY memang hanya menyinggung wilayah perbatasan dalam dua alenia meskipun dengan nada berapi-api serta menekankan pendekatan aspek ekonomi (kesejahteraan rakyat) serta pendekatan aspek keamanan. SBY dalam pidato itu memaparkan bahwa, "Dalam menegakkan kedaulatan negara, kebijakan pertahanan negara kita arahkan pada peningkatan profesionalisme dan kemampuan TNI. Kemampuan pertahanan negara, juga terus kita tingkatkan, antara lain dengan pemeliharaan kekuatan pokok minimum (minimum essential force), kesiapan alutsista, dan terselenggaranya latihan secara teratur. Pada bulan Juli lalu, telah dilaksanakan Latihan Gabungan TNI yang pertama sejak tahun 1996. Latihan gabungan ini, harus dilakukan secara berkala, agar Prajurit dan Satuan TNI tetap siaga, profesional, dan berkemampuan tinggi, untuk mempertahankan setiap jengkal wilayah kedaulatan NKRI". "Khusus pembangunan wilayah perbatasan, kita lakukan melalui pendekatan beberapa aspek, terutama aspek demarkasi dan delimitasi garis batas Negara, disamping melalui pendekatan pembangunan kesejahteraan, politik, hukum, dan keamanan. Prinsipnya adalah, wilayah perbatasan kita harus dianggap sebagai beranda depan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan bukannya halaman belakang negara kita," ujar SBY. Dari sisi kebijakan, maka arah pembangunan wilayah perbatasan pada Pemerintahan Presiden SBY tampaknya sudah tepat, yakni tidak hanya pada pendekatan keamanan, namun juga pendekatan ekonomi. Belajar dari pengalaman pada Pemerintahan Presiden HM. Soeharto, pembangunan dan perekonomian wilayah perbatasan sangat tertinggal selama 32 tahun --meskipun memiliki potensi ekonomi dari sumber daya alam serta letak yang strategis-- diduga karena Pemerintahan Orde Baru hanya menggunakan pendekatan dengan aspek keamanan. Dalam aplikasinya, kebijakan Pemerintahan SBY itu yang tidak berjalan sesuai harapan meskipun ia mengamanahkan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal untuk menangani langsung wilayah perbatasan. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal sudah memprogramkan prioritas pembangunan 27 kabupaten yang berbatasan dengan negara lain, termasuk daerah di utara Kaltim. Kenyataannya, program itu tidak berjalan baik sehingga kondisi wilayah perbatasan tetap tidak berubah meskipun di Indonesia sudah lima kali ganti kepala negara. "Di balik berbagai kelemahan dalam mengatasi masalah perbatasan, maka sikap pemerintahan sekarang yang sangat mendukung terbentuk Kaltara adalah cerminan 'political will' (kemauan politik) SBY untuk memenuhi komitmennya," kata Wakil Ketua DPRD Kalimantan Timur H. Ajie Sofyan Alex. ======================Arti Strategis Kaltara===================================== Langkah Presiden SBY yang sangat mendukung terbentuknya Kaltara sejalan dengan keinginan warga utara Kalimantan Timur dalam mengatasi berbagai masalah di wilayah perbatasan. Selama ini, kondisi pembangunan wilayah perbatasan sangat tertinggal ketimbang daerah lain di Kalimantan Timur. Pada gilirannya, wilayah yang minim dengan infrastruktur perhubungan dan komunikasi itu menjadi kawasan empuk bagi pelaku tindak kejahatan yang diperkirakan merugikan negara hingga triliunan rupiah per tahun. Tindak kejahatan yang secara ekonomis sangat merugikan negara antara lain dari kegiatan pembalakan liar, penambangan tanpa izin, pencurian ikan, penyelundupan, peredaran narkoba dan TKI ilegal. Selain kasus tersebut, ketertinggalan pembangunan perbatasan melahirkan dua bentuk kejahatan lain yang sangat merugikan bagi Indonesia, yakni kawasan perbatasan diduga menjadi pintu gerbang keluar masuk teroris serta ancaman kehilangan wilayah teritorial. Khusus ancaman bagi kedaulatan negara NKRI ini, Indonesia sudah pernah mengalami pengalaman pahit saat Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di perairan utara Kalimantan Timur hilang dari pangkuan Ibu Pertiwi akibat Pemerintah Indonesia kalah berperkara melawan Pemerintah Diraja Malaysia melalui Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda pada 2002. Setelah kasus ini, ancaman bagi kedaulatan RI masih terjadi, yakni terkait klaim sepihak Malaysia terhadap blok Migas di Perairan Ambalat atau kawasan Karang Unarang, perairan utara Kalimantan Timur. Kasus teritorial itu, bukan hanya pada kawasan perairan namun seperti pernah dilaporkan oleh Kodam VI/Tanjungpura --kini Kodam VI Mulawarman-- bahwa patok perbatasan sempat bergeser beberapa kilometer diduga akibat aktivitas pembalakan liar oleh cukong dari negeri jiran yang menggunakan alat berat. Pengamat perbatasan dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Prof Sarosa Hamongpranoto, SH Mhum dan Wakil Ketua DPRD Kaltim H. Ajie Sofyan Alex sepakat bahwa keberadaan Provinsi Kalimantan Utara sangat strategis dalam mengatasi berbagai persoalan wilayah perbatasan di utara Kaltim. "Berbagai kasus di kawasan perbatasan, seperti 'illegal logging', 'illegal fishing', 'illegal mining', penyelundupan dan masalah tenaga kerja ilegal marak terjadi akibat lemahnya pengawasan. Pengawasan itu lemah akibat wilayah Kalimantan Timur terlalu luas," kata Sarosa. Kalimantan Timur yang luas wilayah 1,5 kali Pulau Jawa plus Pulau Madura memiliki garis perbatasan darat yang harus mendapat pengawasan ketat mencapai 1.038 Km dengan kondisi jalan sangat memprihatinkan. Kondisi tersebut menyebabkan prajurit TNI tidak bisa optimal mengawasi perbatasan darat di wilayah utara Kaltim meskipun terdapat sekitar 20 pos pengawasan perbatasan. "Tidak hanya gagal dalam pendekatan dengan aspek keamanan namun pendekatan dengan aspek ekonomi juga tidak membuahkan hasil. Pada gilirannya, berbagai aksi kejahatan di wilayah perbatasan justru melibatkan warga kita, alasan utamanya tentu terkait urusan ekonomi," kata Sarosa. Kenyataannya memang demikian, berbagai aksi kejahatan yang merugikan negara yang diperkirakan hingga triliuan rupiah per tahun melibatkan warga Indonesia, bahkan bukan hanya warga biasa akan tetapi juga oknum aparat. Misalnya, aksi pencurian ikan di perairan Sebatik, Kabupaten Nunukan hampir semuanya merupakan nelayan warga Indonesia akan tetapi kegiatan mereka dimodali oleh cukong dari Tawau, Sabah. Demikian juga pada kasus pembalakan liar (illegal logging) dan penyelundupan, hampir semua pelakunya WNI akan tetapi pemodalnya dari Malaysia. "Harapan kita, dengan terbetuknya Provinsi Kaltara maka pengawasan di wilayah perbatasan akan lebih ketat, yakni dengan terbentuknya sebuah provinsi, maka akan dibentuk pula berbagai lembaga, badan dan instansi setingkat provinsi. Misalnya, pembentukan Polisi Daerah (Polda), Komando Resort Milite (Korem), Kantor Bea Cukai dan lembaga lain yang terkait masalah pengawasan dan percepatan pembangunan kawasan itu," ujar Sarosa. Senada dengan hal itu, Sofyan Alex, politisi dari PDI Perjuangan Kaltim menilai bahwa keberadaan Kaltara sangat strategis baik dalam mengatasi masalah keamanan maupun percepatan pembangunan serta pengembangan perekonomian kawasan perbatasan. "Wilayah utara Kalimantan Timur yang sebagian wilayahnya berbatasan dengan Malaysia sebenarnya memiliki potensi sumber daya alam dan ekonomi sangat besar, tidak kalah dengan Kaltim namun selama ini pemanfaatannya belum optimal sehingga dengan status sekarang (Kaltara), diharapkan pengelolaannya bisa lebih maksimal," ujar Sofyan Alex. Hal itu, katanya, karena sesuai dengan tujuan pembentukan daerah otonomi baru, yakni memperpendek birokrasi, mendekatkan pelayanan serta mengintensifkan pembangunan. =============================Dukungan Teknis================================== "Posisi Provinsi Kaltara yang strategis karena berbatasan langsung dengan Malaysia harus bisa dioptimalkan. Contohnya, perdagangan antarnegara di utara Kalimantan Timur tersebut, selama ini berjalan secara tradisional. Namun, diharapkan nantinya bisa berjalan sesuai standar perdagangan global sehingga bermanfaat besar bagi devisa negara," kata Sofyan Alex. "Agar sasaran pembentukan Provinsi Kaltara ini bisa optimal dalam mengatasi masalah perbatasan, maka sebaiknya Pemerintahan Presiden SBY tidak sebatas memberikan dukungan politik namun juga teknis," ujar Sofyan Alex. "Dukungan politik sudah semestinya, mengingat kewenangan dalam menjaga wilayah kesatuan RI adalah tanggung jawab pusat, misalnya dukungan dana dan sumber daya (pengerahan pasukan TNI) bagi pengamanan wilayah perbatasan karena menyangkut kedaulatan kita," ujarnya. Sementara dukungan teknis, ujar Alex, yakni Presiden SBY diharapkan mengeluarkan kebijakan untuk mempertegas arah pembangunan kawasan itu, misalnya dituangkan dalam Perpres (peraturan presiden) terkait percepatan pembangunan. "Percepatan pembangunan kawasan perbatasan memang mendesak. Kondisi sekarang, kita seperti melihat langit dan bumi, disparitas pembangunan begitu tajam antara wilayah Indonesia di Sebatik, Nunukan dan Kutai Barat ketimbang kemajuan di Tawau, Sabah maupun Serawak," ujarnya. Sofyan Alex optimistis berbagai tindak kejahatan akan berkurang dengan sendirinya jika optimalisasi potensi ekonomi serta percepatan pembangunan berjalan baik. "Warga kita masih tergiur menjadi TKI karena gaji di Malaysia lebih tinggi namun orang enggan ke negeri jiran jika gaji yang ditawarkan di sini nilainya kurang lebih dengan Malaysia. Padahal, potensi perkebunan di wilayah utara Kaltim lebih luas dari Tawau atau Sabah namun belum dimanfaatkan secara optimal," ujarnya. Begitu pula potensi perikanan dan kelautan yang justru dimanfaatkan para cukong Malaysia akibat nelayan Indonesia mengalami keterbatasan fasilitas dan permodalan. Para nelayan tersebut terpaksa menjual hasil tangkapannya ke wilayah Malaysia karena dimodali oleh cukong ikan Malaysia. Tampaknya, masih banyak "PR" bagi Presiden SBY dalam mengatasi berbagai masalah di kawasan perbatasan, khususnya di utara Kalimantan Timur meskipun Provinsi Kaltara sudah terbentuk. Harapan warga utara Kalimantan Timur, agar Presiden SBY memanfaatkan dua tahun sisa kepemimpinannya sebagai momentum untuk mengentaskan masalah-masalah klasik di kawasan paling ujung negeri itu, bukan sebatas rotika membangun beranda negara pada setiap pidato kenegaraan.