Minggu, 01 April 2012
Mengapa Samarinda Kian Menjadi Langganan Musibah Banjir ?
Setelah banjir terburuk melanda Samarinda, ibukota Provinsi Kalimantan Timur, pada 1998, berbagai upaya telah dilakukan dalam mengatasinya.
Upaya keras Pemkot Samarinda yang didukung oleh Pemprov Kaltim ternyata menuaikan hasil. Terbukti beberapa kawasan yang sebelumnya tercatat sebagai "langganan banjir" dalam beberapa waktu kemudian bebas dari musibah itu. Namun, setelah bergulir selama selama 10 tahun, kini Samarinda kembali menjadi daerah rawan banjir, misalnya dalam satu bulan selama November 2008, kota itu menderita dua kali banjir besar, masing-masing pada 4 November dan 27 November.
Timbul pertanyaan apakah masalah ini hanya musibah siklus 10 tahunan atau ada sesuatu yang salah dalam penanganan banjir? Samarinda dalam 100 tahun terakhir, pada 1998 menderita banjir terburuk yang pernah tercatat dalam sejarah berdirinya kota itu. Kala itu, hampir semua pihak menyalahkan "Si Gadis Kecil" atau fenomena alam "La Nina".
Tuduhan terhadap La Nina --kebalikan dari fenomena "El Nino"-- mungkin ada benarnya, karena kala itu, bukan hanya Samarinda yang mengalami banjir, namun sejumlah daerah di Indonesia menderita musibah yang sama serta meluputi berbagai kawasan di belahan dunia, mulai dari Bangladesh, India, China, serta sejumlah negara di Eropa.
Beberapa bencana alam dalam rentang area yang luas dituding sebagai ulah fenomena alam ini. El Nino dan La Nina sesungguhnya adalah kondisi abnormal iklim pada area Samudra Pasifik yang terletak pada daerah ekuatorial. Kedua gejala alam itu menunjukan kondisi anomali yang berbeda, El Nino dicirikan dengan naiknya suhu permukaan laut (warm phase) sedangkan La Nina mempunyai kondisi yang sebaliknya, yaitu turunnya suhu permukaan air laut (cold phase) pada area katulistiwa Samudra Pasifik.
Istilah El Nino dan La Nina masuk kedalam istilah bahasa ilmiah pada 1997. Dalam istilah Amerika Selatan maka La Nina berarti "si Gadis Kecil sedangkan El Nino berarti "Si Buyung Kecil". Sesungguhnya fenomena ini sudah berjalan dalam waktu yang panjang, tetapi baru dapat diidentifikasi dalam beberapa tahun terakhir. Selama kurun 78 tahun telah terjadi 23 kali gejala El Nino dan 15 kali La Nina. El Nino sendiri terjadi dengan selang antara tiga sampai tujuh tahun.
Fenomena ekstrim akibat El Nino dan La Nina menimbulkan dampak anomali alam luar biasa dalam rentang area yang luas antara lain kekeringan, kekurangan pangan dan banjir. Namun, tanpa kehadiran Si Gadis Kecil, Samarinda selama November 2008 mengalami dua kali musibah banjir yang disebut-sebut nyaris sama dengan kasus pada 1998.
Banjir pada 4 November 2008 yang berlangsung selama 10 hari telah menyebabkan 25.000-35.000 jiwa warga Samarinda menjadi korban karena rumahnya terendam air cukup tinggi sehingga terpaksa harus mengungsi ke daerah bebas banjir. Banjir tersebut kian meresahkan karena 13 ekor buaya muara (Crododilus porosus) di Kebun Raya Unmul Samarinda (KRUS) lepas akibat kandangnya jebol terkena longsor saat terjadi hujan lebat, hingga satwa ganas itu hanyut terbawa banjir ke kawasan permukiman warga. Warga yang masih bertahan di lokasi banjir tidak dapat tidur nyenyak karena buaya muara dikenal sebagai salah satu reftil paling ganas di Bumi Kalimantan.
Meskipun kemudian satu persatu hewan ganas yang terbawa arus banjir itu tertangkap. Namun, musibah susulan pada 27 November 2008 disebut-sebut sebagai banjir terbutuk yang nyaris sama dengan kasus 1998, karena juga merendam "run way" (landasan pacu) Bandara setempat mencapai 20-30 Cm sehingga transportasi udara di kota itu lumpuh total dalam tiga hari terakhir. Banjir kali ini melumpuhkan sejumlah kawasan bisnis di Samarinda antara lain Jl. Dr. Soetomo, Jl. Cenderawasih dan Jl, Belibis karena kendaraan tidak bisa melalui kawasan itu akibat terendam air cukup mencapai satu sampai 1,5 meter. Beberapa kawasan padat penduduk yang terendam air kini menjadi daerah terisolasi karena hanya bisa dijangkau menggunakan perahu, ditambah lagi dengan terhentinya layanan air bersih dan listrik.
Akar Masalah
Melalui berbagai seminar, lokakarya serta penelitian maka sejak banjir 1998 ditemukan sejumlah akar masalah yang menjadi landasan berbagai kebijakan Pemprov Kaltim dan Pemkot Samarinda mengatasi persoalan itu. Akar masalah antara lain, yakni banyak drainse tidak berfungsi, anak sungai dalam kota banyak berubah menjadi parit kecil, pendangkalan Sungai Karang Mumus dan Sungai Mahakam serta banyak kawasan sebagai tangkapan air "disulap" jadi kawasan perumahan dan perkantoran.
Mengatasi hal itu, maka keluar berbagai kebijakan hasil koordinasi Pemprov Kaltim dan Pemkot Samarinda, antara lain, relokasi ribuan rumah di bantaran Sungai Karang Mumus dan Sungai Mahakam, pengerukan sungai, pembenahan drainase serta pembuatan sejumlah folder (kolam raksasa penampungan air). Upaya-upaya pemerintah daerah yang didukung dana APBN, APBD Kaltim dan APBD Samarinda itu menunjukkan hasil menggembirakan, misalnya kawasan yang dulu sering tergenang air cukup lama saat hujan lebat, kini hanya dalam beberapa jam sudah kering karena berfungsinya drainase, adanya folder serta arus buangan ke Sungai Karang Mumus dan Sungai Mahakam sudah lancar.
Namun, kini timbul pertanyaan, mengapa dalam beberapa waktu terakhir, upaya-upaya tersebut kini sudah tidak menunjukkan hasil lagi? Pakar pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan hidrologi hutan, Dr Ir Sigit Hardwinarto mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan Samarinda kini mudah tergenang banjir, walaupun hujan yang turun tidak terlalu deras. Faktor itu antara lain akibat kesalahan peruntukan kawasan.
Banyak lahan tangkapan air kini menjadi lahan terbuka akibat perluasan untuk pembangunan perumahan dan ruko (rumah toko) di Samarinda. Aktivitas pengupasan lahan untuk galian-C juga dituding sebagai salah satu faktor penyebab banjir. Faktor lain, kata Pembantu Dekan I Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda itu adalah tingginya aktivitas pembuangan sampah di daerah sungai oleh masyarakat. Pemerintah telah berhasil merelokasi permukiman di bantaran sungai namun sebagian warga masih seenaknya membuang sampah ke sungai.
Sigit menyebutkan bahwa ketidaksesuaian antara kapasitas tampungan sungai dengan limpasan air yang masuk ke sungai menjadi faktor lain penyebab banjir. Kondisi ini semakin diperparah dengan back water (arus balik atau air pasang) dari Sungai Mahakam. "Secara hiodrologi, wilayah Samarinda termasuk daerah yang memiliki intensitas curah hujan yang sangat tinggi. Sehingga jumlah debit air yang jatuh ke wilayah Samarinda termasuk sangat tinggi pula," ujarnya.
Rumusan Baru
Sigit menawarkan tiga solusi tindakan yang sebaiknya dilakukan Pemkot Samarinda. Pertama, Pemkot melakukan perencanaan peruntukan kawasan yang sistematis dan melakukan pengawasan yang matang dan mengacu pada konservasi. Kedua, Pemkot Samarinda harus merehabilitasikan hutan dan lahan serta perbaikan daerah tangkapan air di DAS. Ketiga, upaya untuk penanganan back water dari Sungai Mahakam. Samarinda adalah salah satu kota mungil dari 14 kabupaten/kota se-Kaltim karena luasnya hanya 71.800 Ha. Sedangkan daerah lain mencapai ratusan ribu hektare.
Meskipun Samarinda kota mungil, namun aktivitas pengupasan lahan termasuk tertinggi karena kehadiran 44 perusahaan pemegang KP (kuasa penambangan) batu bara yang berlomba-lomba mengeruk bumi sekeliling Kota Samarinda.
Sejak ambruknya industri perhutanan dan perkayuan beberapa tahun silam, maka batu bara kini menjadi "primadona" baru yang paling cepat menghasilkan dolar, sehingga sejumlah pengusaha sektor perhutanan dan perkayuan kini mengalihkan dananya untuk mengeksploitasi "emas hitam" itu. Aktivitas pengupasan lahan untuk perumahan juga tinggi karena Samarinda merupakan kota terpadat di Kaltim, yakni mencapai 700.000 jiwa penduduk.
Selain itu pengupasan lahan untuk perumahan, aktivitas galian-C untuk bahan bangunan juga sangat tinggi sehingga di sana-sini tampak bukit yang dulunya hijau menjadi gundul. Kepala Kantor Pertambangan dan Energi (KPE) Samarinda, Rusdi AR membantah bahwa aktivitas pertambangan batu bara sebagai faktor penyebab banjir karena pihaknya sudah memproses perizinan sesuai mekanisme, termasuk kewajiban melakukan reklamasi saat melakukan ekploitasi sumber daya alam (SDA) yang tidak bisa diperbaharui itu. Namun, dalih reklamasi sebagai upaya penanganan banjir dimentahkan sejumlah pemerhati lingkungan. Mereka menilai bahwa dalam dunia pertambangan istilah reklamasi adalah aktivitas menghijaukan kawasan pascatambang.
Reklamasi bukan aktivitas menutup kolam raksasa eks pertambangan sehingga upaya tersebut kurang berdampak dalam penanganan banjir. Faktor tingginya biaya untuk menutup kolam raksasa bekas galian tambang, menjadi pertimbangan logis bagi pihak perusahaan untuk tidak mau menutup bekas eksploitasi batu bara. Agaknya, salah satu faktor yang terlupakan sehingga Samarinda kini kian rawan banjir adalah akibat keserakahan manusia dalam mengeksploitasi SDA itu.
Wajar kemudian alam menunjuksan kemarahannya. Sudah tentu keuntungan ekonomis hasil eksploitasi batu bara oleh 44 perusahaan pemegang KP di Samarinda itu tidaklah sepadan dengan kerugian yang diderita 35.000 jiwa warga "Kota Tepian" yang menjadi korban banjir. warga Samarinda kini berharap agar Pemkot Samarinda mampu menunjukkan "political will" (kemauan politik) dalam mengevaluasi kembali pemberian izin KP, termasuk kontrol dari pihak legislatif yang selama ini terkesan bungkam terhadap masalah perkotaan.
Harapan lain, agar pihak ekskutif dan legislatif perlu merumuskan upaya-upaya baru dalam penanganan banjir, khususnya saat "Si Gadis Kecil" (La Nina) tak bisa lagi disalahkan sebagai angkara penyebab menderitanya puluhan ribu jiwa warga Samarinda.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar