Senin, 02 April 2012

Sang Saka Merah Putih Harus Terus Berkibar Di Perbatasan

Datu Iskandar Zulkarnaen (Datiz)
Samarinda (Phinisinews) - Mungkin, sekiranya para pemain Timnas tahu bahwa sesungguhnya kesebelasan Malaysia sering dikalahkan Indonesia di kawasan perbatasan Kaltim-Malaysia timur, maka kegagalan Irfan Bachdim dan teman-teman merebut piala AFF 2010 tidak menjadi beban. Meskipun pertandingan persahabatan yang digelar setiap perayaan HUT RI itu dilaksanakan pada tingkat kecamatan namun di sisi lapangan berkibar bendera Merah Putih dan Jalur Gemilang (Malaysia). Perayaan HUT RI di kawasan perbatasan berarti pesta bagi seluruh di kawasan utara Kalimantan Timur baik WNI maupun dari warga negeri jiran, Malaysia. Pada saat itu, terlihat sekali bahwa keberadaan wilayah Indonesia dengan Malaysia hanya batas-batas administratif negara namun dari sisi sejarah, sosial dan budaya tidak ada batas-batas penyekat bagi warga di sana. Bahkan, pernah tercatat bahwa kepala desa di Krayan ternyata bertalian darah (adik-kakak) dengan kepala desa di Bakalalang, sebuah desa di Malaysia timur yang berbatasan langsung dengan Krayan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, maka perayaan HUT RI ke-66 pada 2011 juga cukup meriah, sekilas tampak tidak ada masalah serta nilai-nilai kebangsaan di wilayah perbatasan itu masih belum luntur. Ketergantungan kawasan perbatasan di Kaltim dengan transportasi udara seperti terlihat saat puluhan Apo Kayan, dari etnis Dayak Kenyah mengamuk di Bandara Temindung Samarinda akibat tidak beroperasinya maskapai SMAC melayani Samarinda-Long Ampung, Kabupaten Malinau. Puluhan warga warga perbatasan yang sudah sekian minggu terlunta-lunta di Samarinda akhirnya tidak mampu menahan kekesalah serta melampiaskan kemarahannya dengan merusak fasilitas Bandara Temindung Samarinda, akhir Februari 2011. Menurut salah seorang warga perbatasan, Thomas Ngau kejadian itu berawal dari tuntutan warga karena melihat armada maskapai SMAC banyak yang sudah tua dan meminta agar diganti dengan pesawat yang lebih layak, mengingat kasus kecelakaan pesawat udara di pedalaman dan perbatasan cukup sering terjadi. Pihak manajemen SMAC menyatakan bahwa penghentian operasi penerbangan itu sebenarnya sejak 14 Februari 2011 atas perintah Dirjen Perhubungan Udara. Keputusan itu karena proses investigasi dari pihak KNKT masih berjalan terkait jatuhnya pesawat di Bintan, Riau. Namun, setelah kasus itu, akhirnya penerbangan ke perbatasan kembali berjalan setelah melibatkan beberapa pesawat milik Susi Air. Kondisi wilayah perbatasan Kaltim yang sangat tergantung kepada transportasi udara menyebabkan harga kebutuhan pokok mencapai tiga kali lipat ketimbang harga normal kawasan perkotaan di Kaltim. Sektor lain Kelemahan infrastruktur perubungan darat itu, pada giliranya bukan hanya membawa masalah bagi perekonomian namun juga pada sektor lain, misalnya pendidikan, pengawasan, kesehatan serta keamanan dan pertahanan nasional. "Bisa dikatakan, warga perbatasan belumlah menikmati arti kemerdekaan sesungguhnya," kata Kepala Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Pedalaman, dan Daerah Tertinggal Kaltim Prof Dr. Andri Patton. Pernyataan itu, mungkin tidak berlebihan, lihat saja sejumlah anak di kawasan perbatasan, Kecamatan Krayan Selatan harus berjalan kaki hampir 50 kilometer untuk menjangkau sekolahnya saat pelaksaan UN (ujian nasional) SMP beberapa waktu lalu. Kepala Dinas Pendidikan Kota Nunukan, Nizaruddin, Senin menyatakan, terdapat 12 peserta UN yang ada di Krayan Selatan yang harus menempuh perjalanan hampir 50 Km agar bisa mengikuti UN. Mereka harus ikut UN di Krayan Induk karena sekolah mereka belum terakreditasi sehingga ke-12 siswa itu harus menempuh perjalanan hingga sehari semalam atau hampir 50 Km.. Bahkan, pelaksaan UN sempat terhambat karena pesawat perintis dari Bandara Juata Tarakan kembali karena terhalang kabut di Krayan. Kondisi serupa juga terjadi pada sektor lain, misalnya kesehatan akibat keterbatasan fasilitas, sumber daya manusia dan obat-obatan. Di bidang pengawasan lebih parah lagi, kelemahan infrastruktur perhubungan yang dihadapkan dengan keterbatasan personil dari kepolisian dan TNI menyebabkan berbagai kasus yang merugikan negara rawan terjadi di perbatasan, misalnya pembalakan liar, penyelundupan, TKI ilegal serta kemungkinan menjadi pintu bagi kegiatan terorisme. Wilayah perbatasan Kalimantan Timur yang harus diawasi panjangnya sekitar 1.082 Km. Kawasan itu meliputi tiga Kabupaten, yaitu Kutai Barat, Malinau, dan Nunukan, serta meliputi sebanyak 41 kecamatan dan 553 desa/ kelurahan. Sebanyak 13 kecamatan di antaranya berbatasan langsung dengan Negeri Sabah dan Serawak yang meliputi sebanyak 249 desa. Kecamatan yang berbatasan langsung dengan negeri sabah dan serawak yaitu; Kecamatan Long Apari dan Long Pahangai di Kabupaten Kutai Barat, Kayan ulu, Kayan Hilir, Kayan Selatan, Bahau Hulu dan Pujungan di Kabupaten Malinau serta Krayan, Krayan Selatan, Lumbis, Sebuku, Nunukan dan Sebatik di Kabupaten Nunukan. Wilayah perbatasan tersebut merupakan perbatasan daratan kecuali di kecamatan Nunukan, Kabupaten yang mempunya perbatasan laut dengan Kota Tawao, Negeri Sabah, dengan panjang garis perbatasan keseluruhan mencapai 1.038 km. Luas wilayah perbatasan kerseluruhan yang meliputi Kabupaten Kutai Barat, Malinau dan Nunukan mencapai 88.513,08 km2 atau 42,42 persen dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Dari luas wilayah perbatasan tersebut, 56,14 persen atau seluas 49.689,83 km2 merupakan wilayah 13 kecamatan yang terletak sejajar dengan garis perbatasan antar negara yang berbatasan langsung dengan Negeri Sabah dan Serawak. Di kawasan perbatasan terdapat Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) seluas 1,2 juta Ha yang berbatasan darat dengan Malaysia timur, sebagian kawasan konservasi itu masuk di Kabupaten Nunukan, dan sebagian di Kabupaten Malinau. TNKM merupakan taman nasional terluas di kawasan Asean dan disebut-sebut sebagai "benteng terakhir hutan tropis dataran tinggi di Kaltim". Kawasan korserasi ini, bukan saja menjadi habitat berbagai satwa langka Kalimantan namun kelestariannya perlu terus dipertahankan karena di daerah ini terdapat situs-situs purbakala, yakni adanya kerangka manusia purba dalam peti jenazah yang terbuat dari batu atau "sarkofagus". Pihak DPRD Kaltim menilai bahwa komitmen politik untuk mempercepat pembangunan wilayah perbatasan di Kalimantan Timur masih lemah sehingga berbagai "masalah klasik" terus terjadi pada kawasan yang berbatasan dengan Malaysia itu. "Pada hakikatnya secara suprastruktur (berbagai kebijakan) sudah cukup, mulai dari Keppres 44 Tahun 1994 tentang Perbatasan Kalimantan dan Inpres Nomor 7 Tahun 2002 mengenai Upaya Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia (KTI) namun persoalan perbatasan masih belum mampu dientaskan," kata Ketua Komisi II DPRD Kaltim, Rusman Yakub. Politisi dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kaltim itu menjelaskan bahwa dari Pemerintahan Orde Baru, Reformasi sampai Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, wilayah yang berbatasan langsung dengan Serawak dan Sabah (Malaysia timur) itu masih bergelut dengan "masalah klasik", misalnya disparitas pembangunan, penyelundupan, TKI ilegal, pembalakan liar dan pencurian kayu. "Akar masalah mengapa semua itu terjadi, yakni akibat lemahnya pembangunan berbagai sektor di wilayah perbatasan," papar Rusman yang juga Ketua PPP Kaltim tersebut. Selain suprastruktur, katanya bahwa dari sisi kelembagaan juga sudah lengkap, misalnya sudah ada Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, dan di daerah juga sudah dibentuk Badan Pengelola Kawasan Perbatasan, Pedalaman dan Daerah Tertinggal (BPKP2DT) Kaltim. "Namun ini juga belum cukup, upaya membangun wilayah perbatasan masih tertatih-tatih, faktor utamanya akibat kelemahan komitmen politik dari pusat," katanya. Komitmen politik tesebut dimaksudkan antara pihak legilslatif dan ekskutif di pusat dalam upaya percepatan pembangunan perbatasan. "Menguji komitmen tersebut sangat gampang, yakni mari kita lihat alokasi dana pembangunan (APBN) untuk wilayah perbatasan, ternyata nilainya sangat kecil tidak sebanding dengan permintaan Kaltim dalam membangunan daerah itu," katanya. Alokasi dana pusat untuk pembenahan infratruktur di kawasan hanya ratusan miliran padahal kebutuhan Kaltim triliun rupiah per tahun, mengingat panjang batas wilayah di provinsi Kaltim yang harus ditangani mencapai 1.082 KM. "Jadi saya menilai bahwa agar komitmen politik ini benar-benar direalisasikan, maka semua pihak, termasuk wakil-wakil Kaltim di pusat baik di DPR RI maupun di DPD jangan bosan-bosan mendesak semua pihak untuk mengatasi masalah perbatasan," katanya. Ia menyayangkan bahwa ada kesan persoalan perbatasan hanya dijadikan "komoditas politik" jika suhu memanas akibat persoalan teritorial, misalnya klaim sepihak oleh Malaysia terhadap blok Ambalat beberapa waktu lalu. "Jangan sampai akibat persoalan ekonomi maka nilai-nilai kebangsaan warga perbatasan akan luntur," ujarnya. Kekhawatiran Rusman Yakub itu bukan tanpa alasan, pasalnya beberapa waktu silam lima desa di kawasan perbatasan "lenyap" akibat warganya eksodus untuk bergabung dengan para saudaranya yang menetap di wilayah Serawak Malaysia. Berapa lama Sang Saka Merah Putih masih berkibar di kawasan perbatasan, tampaknya sangat tergantung kepada "political will" pusat untuk benar-benar membangun kawasan yang beberapa kali disebut Presdien Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraannya, sebagai "beranda negara".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar