Rabu, 04 April 2012
Derita Masyarakat Nomaden Di Kalimantan Timur
By Datu Iskandar Zulkarnaen (Datiz)
Di Bumi Kalimantan Timur ada dua suku bangsa yang sebenarnya jarang sekali membuat masalah namun sering dipersoalkan, yakni Suku Bajau (Manusia Perahu) atau "Gipsy Laut" dan masyarakat terasing Suku Punan, yakni kaum namoden-pengembara yang hidup berkelana di belantara Borneo.
Baik Suku Bajau (Manusia Perahu) maupun warga Punan jarang melakukan pergaulan sosial dengan warga lain sehingga jarang sekali membawa persoalan. Ironisnya, justru keberadaan mereka yang justru dipersoalkan.
Ketika pengusaha kayu membawa alat berat serta chainsaw (gergaji mesin) ke dalam hutan, maka Suku Punan akan bertambah jauh ke kawasan pedalaman untuk menghindar.
Demikian juga Manusia Perahu itu, mereka memilih meninggalkan perairan pada kawasan Pesisir Bontang dan Kutai Timur ketika mesin dan alat-alat industri Migas dan batu bara masuk ke kawasan itu tanpa pernah menuntut ganti rugi "lahan" (mungkin agak sulit mengukur lahan di atas air).
Tradisi mereka yang selalu menghindari masalah, ternyata bukan jaminan mereka tidak menghadapi persoalan. Misalnya, Pemkab Berau, Kaltim "mengamankan (eupheisme yang populer masa Orba sebagai kata ganti ditangkap) beberapa waktu lalu.
Pemkab Berau dibantu polisi setempat "mengamankan" Manusia Perahu itu dengan dasar cukup membingungkan, mungkin dianggap masuk secara ilegal sehingga dituduh sebagai "pendatang haram" atau sebagai warga negara tidak bertanggung jawab karena tidak punya indentitas diri , KTP.
Pemkab Berau bisa jadi resah dengan kehadiran "Gipsy Laut" pada kawasan pesisir karena mendapat laporan dari nelayan bahwa melakukan pencurian ikan.
Saat dalam penahanan itu, kondisi mereka yang ditempatkan pada salah satu ruangan Dinas Sosial Kabupaten Berau sangat menyedihkan karena dilaporkan hanya mendapat jatah makan sekali sehari sehingga beberapa di antaranya jatuh sakit.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kaltim akhirnya mendesak Kapolda Kalimantan Timur (Kaltim), Inspektur Jenderal (Irjen) Mathius Salempang untuk membantu pembebasan Manusia Perahu dari komunitas Suku Bajau Pela'u.
Permintaan bantuan itu dilayangkan melalui surat Walhi Kaltim tertanggal 5 April 2010 kepada Kapolda Kaltim.
Tercatat 16 jaringan internasional dan puluhan organisasi masyarakat sipil Indonesia, termasuk kami (Walhi) yang menaruh perhatian dan dukungan bagi komunitas Bajau Pela`u itu.
Berdasarkan data Walhi bahwa sebenarnya sejak 1997, Manusia Perahu sudah berdiam di wilayah Kaltim tepatnya di sekitar Pulau Balikukup, Tanjung Buaya-buaya dan Desa Batuputih.
"Komunitas Bajau Pela`u merupakan suku tradisional yang tidak mengenal kewarganegaraan. Sejak 1980-an mereka sudah ada yang hidup di laut Filipina, Malaysia, laut Sulawesi dan Selat Makassar," Direktur Ekskutif Walhi Kaltim, Isal Wardhana.
Kondisi manusia perahu itu kian memprihatinkan karena pola hidup mereka yang tidak terbiasa lama berada di daratan.
Suku Bajau memang berasal dari Kepulauan Sulu, Filipina Selatan. Suku ini merupakan suku nomaden yang hidup di atas laut sehingga disebut Gipsi Laut. Suku ini menggunakan bahasa Sama-Bajau. seperti Bahasa Melayu, meskipun pada beberapa daerah di pesisir terdapat perbedaan dialek.
Berdasarkan historis bahwa kedatangan mereka ke utara Kaltim jauh sebelum kedatangan suku-suku Muslim dari rumpun Bugis, Makkasar dan Mandar.
Bahkan, awal berdirinya Kesultanan Bulungan oleh Wira Amir yang kemudian bergelar Sultan Amiril Mukminin menjodohkan putrinya, Puteri Kenawai Lumu dengan dengan kerabat keraton Kesultanan Sulu, Raja Laut yang kelak menjadi penerus raja-raja di "Kesultanan Boeloengan".
Manusia Perahu dari Sulu ini yang membantu Kesultanan Bulungan dalam mengatasi gangguan bajak laut atau perompak di pesisir utara Kalimantan itu.
Selama ini, ada juga anggapan keliru yang menyamakan Suku Laut dengan perompak atau bajak laut.
Suku Bajau sejak ratusan tahun yang lalu sudah menyebar ke negeri Sabah dan berbagai wilayah Indonesia. Suku Bajau juga merupakan anak negeri di Sabah.
Meski berasal dari Filipina namun hakikatnya suku-suku purba itu berasal dari wilayah Kalimantan yang bermigrasi dari arah utara (Filipina) pada zaman prasejarah.
Pihak Presedium Gabungan LSM Se-Kaltim menilai bahwa pemerintah harusnya membina dan mengentaskan kehidupan sosial dan ekonomi komunitas Manusia Perahu bukan menangkap mereka karena dianggap tidak punya identitas (kewarganegaraan).
"Harusnya pemerintah membina dan mengentaskan kehidupan sosial-ekonomi mereka bukan menangkapnya. Sama saja dengan Dayak Punan (masyarakat terasing yang hidup secara nomaden), banyak di antara mereka tidak memiliki identitas baik KTP (kartu tanda penduduk) atau kewarganegaraan," kata Ketua Presedium Gabungan LSM Se-Kaltim, Bachkruddin belum lama ini.
Data Dinas Sosial Kaltim memperkirakan terdapat 6.000 jiwa Dayak Punan yang masih hidup secara nomaden di belantara Kalimantan Timur dan kurang tersentuh pembinaan baik secara agama, pendidikan, budaya, sosial dan ekonomi, termasuk banyak di antara mereka tidak punya kartu identitas.
"Apa bedanya dengan komunitas Bajau atau suku laut atau manusia perahu, bisa jadi sama dengan Dayak Punan karena kurang pembinaan atau pendekatan pemerintah sehingga mereka tidak punya identitas," katanya.
Ia menilai bahwa persoalan tersebut diperkirakan karena lokasi pemukiman mereka yang sulit terjangkau sehingga menjadi hambatan dalam melakukan pembinaan jadi bukan keinginan mereka untuk tidak memiliki identitas diri.
"Hal yang sama juga terjadi dengan warga Dayak Punan karena selain mereka hidup di belantara juga enggan bertemu dengan masyarakat luar," imbuh Bachruddin.
Mungkin, imbuh dia, masyarakat terasing Suku Punan lebih beruntung karena meskipun mereka dalam melakukan pengembaraan bisa melintasi batas-batas adminitrasi negara di Borneo --mengingat sebagian wilayah Kaltim berbatasan langsung dengan Sabah dan Serawak-- pemerintah jarang mempersoalkan masalah identitas, baik KTP maupun paspor.
Berbeda dengan Suku Bajau karena dalam beberapa kasus, masalah itu yang sering dipersoalkan oleh pemerintah daerah.
Namun, ia menegaskan bahwa upaya pemerintah dalam mengentaskan kehidupan sosial dan ekonomi Suku Bajau adalah kewajiban negara karena mereka sebenarnya adalah warga Indonesia jadi program mengutamakan efektititas bukan efesiensi.
"Bahkan, sebenarnya warga Bajau ini dalam beberapa kasus, banyak yang mengalami kerugian namun tidak menuntut ganti rugi, seperti saat mereka terusir dari kawasan pesisir Bontang dan Sangkulirang karena hadirnya sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang Migas dan batu bara," imbuh dia.
Melihat kenyataa itu maka tidak diragukan lagi bahwa Suku Bajau ini adalah "anak negeri" meskipun umumnya jarang memiliki identitas diri serta melakukan pergaulan sosial dengan warga di daratan.
Mengantisipasi terulangnya kasus tersebut, selain pemerintah berkewajiban membina kehidupan sosial dan ekonomi seperti warga yang ada di daratan, maka Pemerintah RI, Malaysia dan Filipina membicarakan lagi hak perikanan tradisional, yakni keberadaan dan hak penghidupan yang diyakini Suku Bajau karena sudah ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut Internasional Tahun 1982 Pasal 51.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar