Pemerintah yang melihat begitu besar perhatian terhadap kasus  itu langsung merespon melalui pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sangat menyesalkan kejadian tersebut, serta memerintahkan beberapa menteri terkait, antara lain Menakertrans, Menlu dan Menkes untuk menangani kasus tersebut dengan serius.

Tidak lama kemudian, cerita duka tenaga kerja wanita kembali terulang. Kikim Komariah juga tewas disiksa majikannya di Arab Saudi dan jasadnya ditemukan di tong sampah.

Rakyat Indonesia pun meradang, salah satu ungkapan kemarahan itu dengan terjadinya aksi demo yang diwarnai pelemparan telur busuk ke Kantor Kedubes Pemerintah Arab Saudi di Jakarta.

Pengamat hukum dari Universitas Mulawarman (Universitas Mulawarman) Samarinda, Prof. Sarosa Hamongpranoto, SH, M Hum menilai bahwa kasus terungkap yang menimpa Sumiati da Laila Darus seperti fenomena gunung es karena kasus yang tidak terungkap diperkirakan lebih banyak.

 "Kasus penyiksaan, pemerkosaan atau kasus lebih ringan misalnya tidak memberikan hak TKW seperti tidak membayar gaji mereka pasti banyak yang tidak terungkap ketimbang yang kita ketahui," katanya.

Hal itu terjadi karena beberapa faktor misalnya, hambatan komunikasi ke luar untuk menyampaikan pengaduan mereka, tidak tahu harus mengadu kemana serta masalah bahasa, mengingat kenyataannya sebagian TKW tidak bisa menggunakan bahasa setempat (Arab) atau Bahasa Inggris, seperti pada kasus Sumiati.

Kasus pemerkosaan, penganiayaan berat dan pembunuhan TKW bukan kali ini saja terjadi namun sudah berulang-ulang. Jika tidak di Malaysia, pasti kasus dari Arab Saudi.

Direktur Migrant Care, Anis Hidayah mengakui bahwa ada beberapa negara yang dapat dikatakan masuk "zona merah" pengiriman dan penempatan TKW atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI), yakni Arab Saudi dan Malaysia.

"Negara harus menetapkan garis merah untuk Arab Saudi dan negara tetangga kita Malaysia," katanya menegaskan dalam acara diskusi Polemik di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (20/11/2010).

Data Depnakertrans pada 2009 menunjukan bahwa Arab Saudi merupakan salah satu negara tempat TKI terbesar di luar negeri setelah negara jiran Malaysia. Data Depnakertrans mencatat bahwa jumlah TKI yang bekerja di Arab Saudi  927.500 orang.

Menurut catatan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) pada 2009, Arab Saudi merupakan negara yang paling banyak didapati TKI bermasalah (22.035 kasus). Selain kasus penyiksaan, TKI di Arab Saudi mengalami pelecehan seksual, pemerkosaan, gaji tidak dibayar, serta lari dari majikan hingga meninggal dunia akibat kekerasan dan eksploitasi.

Pertanyaannya mengapa Arab Saudi diminati TKW/TKI ? penjelasan rasionalnya adalah karena iming-iming gaji besar serta bagi TKW/TKI yang latar belakang dari pesatren, maka harapan agar bisa menunaikan ibadah haji secara gratis adalah daya tarik tersendiri.

   
Wadah silaturahmi

Tingginya kasus penyiksaan TKW/TKI di Arab Saudi diperkirakan beberapa faktor antara lain pandangan sosial yang melihat bangsa Indonesia sebagai bangsa kelas dua, pembantu dianggap hamba, sebagian TKI masuk menggunakan visa umrah atau haji sehingga bekerja sebagai TKI ilegal, masalah bahasa serta kehidupan sosial agak tertutup.

Bandingkan dengan Hongkong misalnya, yang juga ada kasus-kasus serupa namun jauh ketimbang Malaysia dan Arab Saudi namun bagi sebagian orang dianggap sebagai surga bagi TKW.

Kehidupan sosial warga TKW disana lebih terbuka sehingga komunikasi di antara pekerja asal Indonesia sangat kental.

Lihat saja, pada Hari Minggu, ribuan pekerja wanita asal Indonesia memenuhi Victoria Park. Bagi orang yang pertama kali datang ke kawasan itu, akan sedikit bingung membedakan antara TKW yang umumnya bekerja sebagai pembantu atau "artis" karena cara berpakaian mereka sangat modis seperti wanita-wanita setempat.

Hongkong cuma mengizinkan TKW sebagai pekerja dalam rumah, misalnya bukan di pabrik karena pabrik semua di Mainland China.

Dewi, seorang TKW asal Ciamis (Jawa Barat) mengaku bahwa sudah dua tahun di sana dengan gaji sekitar empat juta rupiah per bulan. Penampilan wanita berkulit putih itu benar-benar penampilannya tidak seperti pembantu, dengan mengenakan rok mini dan sepatu boot putih mirip artis dangdut yang akan manggung.

Dewi mengaku pekerjaannya cukup ringan karena hanya membersihkan rumah serta memelihara anjing tuannya yang karena pekerjaan jarang ada di rumah.

"Victoria Park ini bisa dikatakan sebagai wadah komunikasi berbagai hal, karena kalau hari libur para TKW berkumpul di sini," ujar dia mengenai taman di tengah kota yang menjadi tempat khusus komunitas TKW setiap Hari Minggu.

Selain itu, ia memuji sikap pemerintah Hongkong dan aktifis wanitanya yang serius menangani kasus-kasus menimpa TKI di Hongkong yang jumlahnya sekitar 130.000 orang.

Tidak lama kemudian, tampak beberapa aktifis pembela perempuan Hongkong yang membagi-bagikan brosur tentang cara-cara pengaduan jika mereka dirugikan para majikannya dalam tiga bahasa, termasuk Inggris dan Bahasa Indonesia.

Dalam brosur itu juga memuat tentang berbagai hal mengenai saksi sesuai hukum yang berlaku di Hongkong terhadap majikan yang melakukan pelanggaran termasuk mengenai hak-hak TKW, misalnya libur wajib pada Hari Minggu.

Sebaliknya, TKW di Arab Saudi lebih tertutup karena mereka harus bekerja dalam sebuah lingkungan yang juga tertutup. Biasanya hanya bisa keluar rumah jika menemani majikan ke pasar, tidak ada sebuah wadah seperti Victoria Park untuk menjalin silaturahmi dan komunikasi, atau kehadiran aktifis wanita yang sangat aktif seperti di Hongkong.

"Mengingat kasus yang menimpa para TKI ini sudah berulang-ulang maka seharusnya jadi pembelajaran berharga bagi pemerintah dalam menemukan akar masalah serta mencari jalan keluar guna menekan kasus serupa terulang lagi," kata Sarosa.

   
Masalah Klasik

Sarosa menilai bahwa masalah rendahnya SDM (sumber daya manusia) TKI/TKW, misalnya penguasaan bahasa Inggris ketimbang pekerja dari Filipina dan Thailand, banyaknya TKI jadi korban PJTKI (perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia) yang diberangkatkan tanpa dokumen yang benar, serta kelemahan diplomasi adalah "masalah klasik" yang seyogyanya sudah dituntaskan sejak lama.

"Kasus seperti ini sudah puluhan bahkan mungkin ribuan kali sudah terjadi. Namun, memang bangsa dan pemerintah Indonesia ini adalah pelupa. Ada kasus kita semua marah, begitu kasus mereda kita lupa membenai berbagai hal agar kasus ini jangan lagi terulang," kata Sarosa.

Kelemahan lain dari Pemerintah Indonesia serta pihak-pihak terkait lainnya adalah cenderung dalam menangani kasus-kasus seperti "pemadam kebakaran" (insidentil) sehingga begitu kasus itu reda, lupa juga untuk menjalankan berbagai program guna mengantisipasi agar masalah serupa tidak terulang.

"Begitu ada kasus TKI, semua orang berbicara keras tetapi ketika kasus itu sudah reda maka tidak ada upaya serius untuk mengantisipasi masalah serupa reda. Kasus TKI ini, sama saja misalnya dengan kasus kerawanan masalah perbatasan, ketika Malaysia mengklaim perairan Ambalat, kita meradang, semua orang marah namun ketika masalah ini reda, pemerintah lupa membangun wilayah perbatasan. Lihat saja berapa anggaran dalam APBN 2010 untuk membangun kawasan yang jadi beranda negara itu," papar dia.

Padahal berbagai persoalan di utara Kalimantan, khususnya terkait ancaman kehilangan teritorial RI pada perbatasan Kaltim-Malaysia Timur itu telah disinggung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraan 15 Agustus 2008.

"Khusus pembangunan wilayah perbatasan, kita lakukan melalui pendekatan beberapa aspek, terutama aspek demarkasi dan delimitasi garis batas Negara, disamping melalui pendekatan pembangunan kesejahteraan, politik, hukum, dan keamanan. Prinsipnya adalah, wilayah perbatasan kita harus dianggap sebagai beranda depan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan bukannya halaman belakang negara kita," kata presiden dalam pidatonya.

Namun, janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membangun kawasan perbatasan setelah dua tahun ia menyampaikan pidatonya itu belum terbukti.

Jadi, jika pemerintah kembali lupa dalam mengantisipasi berbagai hal agar kasus TKI tidak terulang, seperti sikap "pemadam kebakaran" dalam menangani wilayah perbatasan, maka derita Sumiati dan TKW-TKW yang lain akan akan menjadi catatan sejarah tanpa makna.

Tampaknya, rakyat sangat mengharapkan agar pemerintah segera menuntaskan berbagai persoalan yang selama ini menjadi "masalah klasik TKI", menghentikan sikap sebagai "pemadam kebakaran" namun tampil sebagai pemerintah yang memiliki manajemen jelas dalam mengatasi masalah, serta mengantisipasinya atau meminimalisir kasus serupa terulang.

 "Momentum kasus menimpa Sumiati harusnya jadi titik untuk merubah sistem pengiriman TKW/TKI, memperkuat diplomasi luar negeri, serta menghilangkan kesan pemerintah hanya bisa berbicara tetapi tidak bisa bekerja," ujar Sarosa.

Tampaknya, pemerintah harus punya tekad kuat agar Sumiati jadi kasus terakhir TKW yang mendapat perlakuan sangat tidak manusiawi.  Selain masalah hak azasi manusia, maka pemerintah wajib menjalankan UUD 1945 seperti amanat Pasal 27 Ayat 2  UUD 1945, "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".

Hal itu tertuang juga dalam Pasal 28D Ayat 1 & 2 "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja".

Pemerintah juga diamanatkan pada Pasal 28G Ayat 1 & 2, "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain".

Menyiksa satu TKW, sama saja menyiksa 230 juta rakyat Indonesia, menistakan satu TKW sama saja menistakan warga Indonesia dari Sabang Sampai Mauruke, dan memperkosa satu TKW sama saja memperkosa Ibu Pertiwi.  Sehingga,  meskipun hanya berprofesi sebagai pembantu namun tetap bagian dari bangsa Indonesia yang harus mendapat perlindungan dari Pemerintah RI.