Rabu, 24 November 2010
Antara Sungai Di Kaltim Dengan Thailand
Oleh Iskandar Zulkarnaen
Kepariwisataan Thailand memang lebih mononjol ketimbang negara-negara Asean lainnya, terlihat dari kemampuan menyerap sedikitnya 12 juta jiwa wisatawan asing per tahun.
Menengok kehidupan Kota Bangkok, maka hal itu memang tidak berlebihan karena setiap sudut kota berpenduduk sekitar enam juta jiwa itu terlihat kerumunan turis, ataupun sebagian di antaranya berjalan berdua atau sendirian.
Sudah tentu kerumurunan itu wisatawan mancanegara itu kian padat pada lokasi obyek wisata Thailand seperti Pantai Pattaya, bangunan bersearah eks-kerajaan, Kuil Budha Emas dan Candi Angor Wat.
Selain menjual wisata agama dan budaya, wisata pantai dan "seks", Thailand juga mengklaim sebagai penghasil batu mutiara, ruby terbaik di dunia sebagai salah satu daya pikat untuk menjual kepariwisataannya.
Meskipun, sebenarnya Myanmar selama ini dikenal sebagai penghasil ruby terbaik di dunia karena batu mutiara dari negara ini mempunyai suatu pijaran (fluorescence) kuat ketika disoroti oleh sinar ultraviolet sehingga harganya lebih mahal dari Ruby Thailand.
Mengapa kepariwisataan Negeri Gajah Putih ini lebih berkembang ketimbang Indonesia ? Padahal semua "barang" (obyek wisata) yang dijual di Thailand itu ada di "toko" Indonesia. Bahkan, kalau membandingkan maka potensi kepariwisataan Indonesia jauh lebih unggul.
Bandingkan saja, pada obyek wisata agama dan budaya, Thailand tidak begitu beragam karena hanya "menjual" wisata agama untuk pemeluk agama Budha.
Bandingkan dengan Indonesia yang memiliki tempat-tempat bersejarah dari berbagai agama dan pemeluk kepercayaan.
Dari sisi kebudayaan, maka bukan hanya budaya Thailand yang dipengaruhi oleh Tiongkok dan India itu, namun agaknya sulit bagi negara lain di dunia untuk mampu menyaingi keanekaragaman budaya Indonesia dari 33 provinsi di Indonesia.
Dari 33 provinsi di Indonesia itu, maka setiap provinsi memiliki berbagai suku dengan adat-istiadat, bahasa dan budaya yang berbeda-beda.
Sebut saja satu suku misalnya, yakni Suku Dayak, yang memiliki tampilan fisik mirip Taek, salah satu suku asli Thailand, maka khusus di Kaltim saja terdapat belasan anak suku/sub etnik Dayak dengan adat-istiadat, bahasa dan budaya yang berbeda satu dengan lainnya, antara lain Dayak Kenyah, Dayak Kayan, Dayak Punan, Lun Dayeh, Dayak Wahau dan Dayak Berusu.
Belum lagi berbagai suku di Pulau Jawa, Pulau Sumatera, Pulau Sulawesi dan Pulau Irian terdapat ribuan anak suku dengan bahasa dan budaya sangat beragam.
Khusus obyek wisata sejarah, maka apabila Thailand mengandalkan peninggalan sejumlah candi Budha dan eks-Kerajaan Ayutthaya yang didirikan pada pertengahan abad ke-14, maka di Indonesia tersebar ribuan bangunan bersejarah milik raja-raja Hindu, ratusan kesultanan, serta bangunan bersejarah pada masa perjuangan dan kemerdekaan.
Pada obyek wisata hutan, wisata air, wisata bahari, dan wisata pantai, maka apabila Thailand memiliki belasan tempat indah, maka Indonesia memiliki puluhan bahkan ratusan lokasi yang terbaik di dunia.
Misalnya, obyek wisata Pulau Derawan, Kaltim terkenal bagi para wisatawan yang hobi penyelam sebagai salah satu dari 10 taman laut terindah di dunia (berkat gencarnya promosi oleh pemerintah setempat maka kini per tahun mampu menyedot sekitar 20.000 turis mancanegara per tahun).
Pulau Kakaban, salah satu gugusan Pulau Derawan, menjadi warisan dunia karena berbagai jenis biota laut yang terperangkap dalam laguna (danau air tawar di tengah pulau yang ekosistem sekitarnya air asin) sebagai tempat berkembang sehingga memiliki ciri berbeda dengan "saudaranya" yang hidup di laut. Laguna ini hanya ada dua di dunia.
Misalnya, ribuan ubur-ubur yang hidup di danau air tawar Pulau Kakaban memiliki keunikan, yakni sungutnya tidak berbisa dan berenang secara terbalik sehingga kawasan wisata yang sekaligus kini telah ditetapkan sebagai konservasi dunia itu dikenal juga dengan sebutan "Istana Ubur-Ubur".
Pulau Kakaban seluas 774,2 Ha dengan laguna itu menyuguhkan keunikan alam yang di dunia hanya ada dua, yakni seperti ditemukan juga di kawasan Mikronesia, tenggara Laut Pasifik.
Mengenai batu permata, maka meskipun kelas ruby di Kalimantan Selatan masih jauh berkualitas ketimbang produksi Thailand apalagi Myanmar, yang terkenal dengan kilauan hidup dARI batu mulia tersebut itu namun seperti di Kalsel terdapat jenis batu mulai yang lebih tinggi nilainya dari ruby, yakni berlian.
"Ibarat kata, apabila Thailand memiliki 10 maka kita memiliki 1.000 potensi untuk pengembangan pariwisata, persoalannya adalah tinggal kemampuan kita mengoptimalkan serta memoles potensi tersebut," kata Ketua Kontingen Indonesia dalam Kejuaraan Bela Diri Asia (Asian Martial Arts Games/AMAG) 2009 Bangkok, Thailand, Awang Faroek Ishak.
Awang yang juga adalah gubernur Kaltim itu menjelaskan bahwa berbagai program serta dukungan kebijakan dari pemerintah dalam mengembangkan potensi kepariwisataan di tanah air.
Terkait hal ini, Kaltim pada 2009 sudah mencanangkan program Tahun Kunjungan Wisata 2009.
Pengembangan sektor pariwisata memang tidak dapat berdiri sendiri namun harus mendapat dukungan semua sektor lain yang terkait, misalnya pembangunan dan pembangunan infrastruktur perhubungan, serta memanfaatkan semua potensi dalam mendukung informasi dan promosi pariwisata itu sendiri.
Hal itu dibenarkan oleh Walikota Samarinda, Acmad Amins yang dalam kunjungan ke Thailand dipercaya sebagai Wakil Ketua Kontingen Indonesia pada AMAG 2009.
"Lihat keindahan Sungai di sini, ternyata kurang lebih dengan di Kalimantan bahkan rasanya lebih luas, namun berhasil mereka tata menjadi salah satu obyek wisata menarik," kata Amins.
Kesempatan ke Negeri Gajah Putih itu untuk menghadiri event AMAG akhirnya sekaligus dimanfaatkan untuk "belajar" menata sungai sehingga menjadi obyek wisata air yang menawan, mengingat di Samarinda terdapat sungai terbesar di Kaltim, yakni Sungai Mahakam (panjang 920 Km).
Sebagian kontingen Indonesia yang berasal dari Samarinda itu akhirnya memanfaatkan kunjungan itu untuk "belajar" dari Thailand dalam menata Sungai Chaophraya.
Salah satu lokasi yang menarik minat turis mengunjungi Sungai Chaophraya, adalah sekitar depan Vihara Wat Srisudaram, Bangkok, Thailand, karena terdapat ribuan ikan patin berukuran besar yang jinak.
Pemilik kapal selain mengantar pengunjung juga menyediakan roti hambar seharga 20 bath (Rp6.000) agar pengunjung dapat "menyumbang" makanan gratis kepada ribuan ikan patin yang mengelilingi kapal wisata.
Begitu potongan roti dihamburkan ribuan ikan patin bermunculan dari dalam sungai. Menurut penjelasan pihak wisata Thailand, maka saat raja ikan patin berwarna putin keluar maka hal itu akan memberikan keberuntungan kepada pengunjung yang melihatnya.
Benar saja, kira-kira 10 menit, menyembul di antara patin-patin yang berwarna hitam keputihan itu, seekor patin berukuran lebih besar dengan warna putih keemasan.
"Bedanya lagi karena di sini banyak pemuluk Budha sehingga hewan-hewan ini dihormati, kalau di Sungai Mahakam, nasib patin ini berakhir di dapur," kata Achmad Amins yang ikut menyumbang makanan kepada ikan patin sekitar vihara di bantaran Sungai Chaophraya.
Suasana paling terasa antara Indonesia dan Thailand adalah masalah kenyamanan dan keamanan. MUngkin, hal ini yang belum dimiliki oleh Indonesia sehingga sektor kepariwisataannya masih kalah bersaing dengan negeri Gajah Putih itu.
Nyaman, karena kemana-mana kita mudah mendapatkan akses untuk mengunjunginya, ketika pembangunan proyek mono-rel mangkrak di Jakarta, maka Thailand sudah memiliki mono-rel dan sub-way sekitar delapan tahun silam.
Selain itu, sungai-sungai yang membelah kota Bangkok benar-benar juga dimanfaatkan untuk transportasi rakyat yang murah dan cepat serta dimana-mana terdapat terminal untuk berganti perahu.
Perahu-perahu bermesin besar itu dengan cepat mengantar warga Thailand dari satu daerah ke daerah lain untuk kemudian, naik ke daratan berganti kendaraan lain sesuai tujuan, baik menaiki bus, taksi, mono-rel dan sub-way.
Alat transportasi yang murah meriah karena bisa tawar menawar adalah "tuk-tuk", yakni sejenis bajaj namun lebih panjang, bersih dan menarik sehingga diminati turis-turis.
Hal lain yang perlu kita tiru adalah sikap warga Thailand yang cukup disiplin dalam mentaati aturan.
Misalnya, jarang warga Thailand melanggar aturan seperti membuang sampah sembarangan serta merokok di tempat-tempat terlarang, termasuk lobi, hotel kecuali keluar dari bangunan baru boleh merokok.
Tidak hanya di hotel, namun tempat hiburan yang penuh sesak oleh turis mancanegara seperti Hard Rock Cafe juga bebas dari asap rokok.
Sikap mentaati peraturan, serta saling menghargai juga terlihat di jalan raya, meskipun jalanan macet seperti Jakarta, akan tetapi sangat jarang sekali terdengar suara klakson mobil apalagi sumpah-serampah para supir yang baku mulut tidak ingin mengalah satu dengan yang lain.
Padahal, jarang sekali terlihat aparat dengan seragam coklat tua di jalan-jalan, kecuali hanya beberapa orang pada lokasi yang sangat padat.
Semua potensi agaknya dimanfaatkan untuk mendukung sektor pariwisata, termasuk pembukaan AMAG. Opening acara itu dikemas demikian menarik yang didukung ratusan penari cantik, penataan lampu dan suara apik serta tarian elok sehingga cukup menarik untuk ditonton.
Hakikatnya, apa yang ditampilkan Thailand sudah dimiliki Indonesia bahkan potensinya lebih besar, hanya tinggal kemampuan pemerintah didalam menggali, menata dan mengemasnya agar menjadi andalan pendapatan devisa Indonesia.
Melihat kenyataan itu, maka sebenarnya ruby Indonesia (baca potensi kepariwisataan) lebih "berkilau" ketimbang Thailand kini tinggal bagaimana memolesnya secara benar didukung oleh program yang komprehensif.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar