Oleh Iskandar Zulkarnaen
Semboja, Kaltim (ANTARA News) - Orangutan (pongo pygmaeus) adalah salah satu primata cerdas, tapi bukan karena alasan itu mereka "bersekolah" di Pusat Rehabilitasi dan Reintroduksi Orangutan Wanariset Semboja, Kalimantan Timur.
Sekolah itu tak mengajarkan "Si Pongo" menjadi makhluk penurut, mau melakukan apa saja yang diperintahkan tuannya. Justru sebaliknya, Wanariset Semboja mengajarkan si Pongo agar bisa liar kembali.
Wanariset Semboja hanya 38 kilometer arah utara Kota Balikpapan, namun kawasan itu bukan tempat yang mudah dikunjungi. Untuk memasuki kawasan itu, pengunjung harus meminta izin dengan pengelola wanariset.
Pengunjung yang datang juga harus dipastikan tidak membawa bibit penyakit yang dapat memperburuk perilaku dan kesehatan "Si Pongo" yang tengah menjalani masa rehabilitasi dan reintroduksi.
"Susunan biologis orangutan nyaris sama dengan manusia. Karena itu penyakit orangutan dengan mudah menular ke pengunjung, begitu pula sebaliknya," kata Siti Kadi, salah seorang "guru wanita" Wanariset Semboja.
Banyak penyakit yang dapat ditularkan manusia ke orangutan ataupun sebaliknya, dari mulai penyakit ringan seperti influensa sampai penyakit berat, seperti hepatitis.
"Karena itu ada aturan khusus saat mengunjungi orangutan di sini," tandas Siti.
Borneo Orangutan Survival (BOS), lembaga pengelola Wanariset Semboja, menjaga betul agar primata itu seminimal mungkin berhubungan dengan manusia, demi membebaskan orangutan dari ketergantungan.
"Tujuannya satu; agar mereka bisa mencari makan sendiri, membuat sarang, liar dan bisa bertahan hidup di alam bebas tanpa bantuan manusia," ujarnya.
Orangutan yang bersekolah di Wanariset Semboja adalah satwa yang sudah jinak karena bertahun-tahun dipelihara oleh manusia.
Sebelum mengikuti "pendidikan", orangutan harus dikarantina untuk pemeriksaan dan penyembuhan berbagai penyakit, termasuk penyakit berbahaya, seperti hepatitis.
Setelah kesehatannya pulih, primata ini harus mengikuti kelas mulai dari "playgroup" hingga "kuliah".
Banyak di antara orangutan yang turut dalam rehabilitasi itu, masih bayi, sehingga perlu perawatan khusus.
"Tidak berbeda dengan manusia, selain butuh makanan bergizi, mereka juga membutuhkan kasih sayang," uajr Siti. Petugas Wanariset, khususnya wanita, juga harus menjadi "ibu angkat", yang menggendong dan memberikan susu botol.
Proses peliaran membutuhkan waktu dan biaya tidak sedikit. Jika orangutan itu telah benar-benar jinak dan sangat tergantung kepada manusia, paling tidak butuh waktu sekitar tiga tahun.
Demikian juga jika yang harus diliarkan bayi orangutan. Wanariset bahkan harus membuat semacam "taman bermain" untuk mereka.
"Mereka mirip manusia. Untuk memacu intelegensinya, tidak cukup hanya sekedar diajar dan diberikan makanan bergizi, namun juga kasih sayang," kata Siti.
Lulus Sekolah
Setelah mengikuti kelas "taman bermain" sampai "pendidikan tinggi", orangutan yang masing-masing memiliki buku laporan mingguan itu akan dievaluasi. Setelah lulus akan dilepasliarkan ke alam bebas.
Uniknya tidak setiap orangutan itu bisa segera mandiri di alam bebas. "Sama dengan manusia, orangutan juga ada yang bandel, malas, bodoh dan pintar, sehingga tingkat kelulusannya berbeda-beda. Ada yang cepat ada yang lambat," kata salah seorang pengasuh orangutan.
Faktor lain adalah berapa lama mereka hidup dengan manusia. Apabila telah bertahun-tahun hidup dangan manusia, perlu proses lebih lama untuk meliarkan kembali
Peraturan di Wanariset Semboja, orangutan yang akan disekolahkan harus berumur tiga sampai tujuh tahun, serta harus sudah sembuh dari penyakit menular.
Pengajar Wanariset akan mulai membuka kelas sejak 06.30 hingga 14.30, dengan istirahat satu jam untuk makan. Sekolah itu juga menerapkan berbagai kurikulum, sesuai tahapan peliaran orangutan.
Ada materi tentang pengenalan hutan. Pada sesi ini, tidak sedikit orangutan yang enggan masuk ke hutan, bahkan berpegangan erat saat pengasuhnya melepasnya ke hutan.
Namun sebaliknya, ada pula orangutan yang bandel. "Begitu melihat hutan langsung kabur, sehingga pengasuh harus membujuk dengan berbagai buah-buahan," ujarnya..
Sejak didirikan pada 1991, sudah sekitar 700 orangutan yang berhasil lulus sekolah di Pusat Rehabilitasi Orangutan Wanariset Semboja.
Yayasan Penyelamatan Orangutan membangun Pusat rehabilitasi dan reintroduksi orangutan di atas lahan seluas empat hektare. Dalam pengelolaannya, BOS bekerjasama dengan kepolisian dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA), dan Departemen Kehutanan.
Pusat Rehabilitasi membutuhkan dukungan lembaga-lembaga itu, khususnya dalam melakukan operasi justisi untuk menyita orangutan yang dipelihara.
"Satwa ini dilindungi oleh UU, karena terancam punah," ujarnya.
Kenyataannya, satwa langka ini bukan hanya dipelihara oleh masyarakat umum, namun diperjualbelikan.
BKSDA Kaltim pernah menyita orangutan yang dipelihara oleh seorang bupati. "Perlu upaya keras untuk membujuk dia agar ikhlas menyerahkan satwa kesayangannya itu," kata Siti.
Ancaman serius bagi orangutan kini adalah kian menyusutnya hutan yang menjadi habitat satwa langka itu.
Keberadaan orangutan menjadi sebuah indikator kelestarian hutan. Jika satwa ini sudah jarang ditemui, berarti hutan tersebut telah rusak parah.
Berdasarkan data, kerusakan hutan di Kaltim telah mencapai 6,8 juta hektare dari luas kawasan 17 juta hektare dengan laju kerusakan sekitar 100.000 hektare pertahun.
Bila tidak ada upaya nyata untuk menghentikan kerusakan hutan tersebut, maka dalam beberapa belas tahun mendatang orangutan akan kehilangan habitatnya.
Semboja, Kaltim (ANTARA News) - Orangutan (pongo pygmaeus) adalah salah satu primata cerdas, tapi bukan karena alasan itu mereka "bersekolah" di Pusat Rehabilitasi dan Reintroduksi Orangutan Wanariset Semboja, Kalimantan Timur.
Sekolah itu tak mengajarkan "Si Pongo" menjadi makhluk penurut, mau melakukan apa saja yang diperintahkan tuannya. Justru sebaliknya, Wanariset Semboja mengajarkan si Pongo agar bisa liar kembali.
Wanariset Semboja hanya 38 kilometer arah utara Kota Balikpapan, namun kawasan itu bukan tempat yang mudah dikunjungi. Untuk memasuki kawasan itu, pengunjung harus meminta izin dengan pengelola wanariset.
Pengunjung yang datang juga harus dipastikan tidak membawa bibit penyakit yang dapat memperburuk perilaku dan kesehatan "Si Pongo" yang tengah menjalani masa rehabilitasi dan reintroduksi.
"Susunan biologis orangutan nyaris sama dengan manusia. Karena itu penyakit orangutan dengan mudah menular ke pengunjung, begitu pula sebaliknya," kata Siti Kadi, salah seorang "guru wanita" Wanariset Semboja.
Banyak penyakit yang dapat ditularkan manusia ke orangutan ataupun sebaliknya, dari mulai penyakit ringan seperti influensa sampai penyakit berat, seperti hepatitis.
"Karena itu ada aturan khusus saat mengunjungi orangutan di sini," tandas Siti.
Borneo Orangutan Survival (BOS), lembaga pengelola Wanariset Semboja, menjaga betul agar primata itu seminimal mungkin berhubungan dengan manusia, demi membebaskan orangutan dari ketergantungan.
"Tujuannya satu; agar mereka bisa mencari makan sendiri, membuat sarang, liar dan bisa bertahan hidup di alam bebas tanpa bantuan manusia," ujarnya.
Orangutan yang bersekolah di Wanariset Semboja adalah satwa yang sudah jinak karena bertahun-tahun dipelihara oleh manusia.
Sebelum mengikuti "pendidikan", orangutan harus dikarantina untuk pemeriksaan dan penyembuhan berbagai penyakit, termasuk penyakit berbahaya, seperti hepatitis.
Setelah kesehatannya pulih, primata ini harus mengikuti kelas mulai dari "playgroup" hingga "kuliah".
Banyak di antara orangutan yang turut dalam rehabilitasi itu, masih bayi, sehingga perlu perawatan khusus.
"Tidak berbeda dengan manusia, selain butuh makanan bergizi, mereka juga membutuhkan kasih sayang," uajr Siti. Petugas Wanariset, khususnya wanita, juga harus menjadi "ibu angkat", yang menggendong dan memberikan susu botol.
Proses peliaran membutuhkan waktu dan biaya tidak sedikit. Jika orangutan itu telah benar-benar jinak dan sangat tergantung kepada manusia, paling tidak butuh waktu sekitar tiga tahun.
Demikian juga jika yang harus diliarkan bayi orangutan. Wanariset bahkan harus membuat semacam "taman bermain" untuk mereka.
"Mereka mirip manusia. Untuk memacu intelegensinya, tidak cukup hanya sekedar diajar dan diberikan makanan bergizi, namun juga kasih sayang," kata Siti.
Lulus Sekolah
Setelah mengikuti kelas "taman bermain" sampai "pendidikan tinggi", orangutan yang masing-masing memiliki buku laporan mingguan itu akan dievaluasi. Setelah lulus akan dilepasliarkan ke alam bebas.
Uniknya tidak setiap orangutan itu bisa segera mandiri di alam bebas. "Sama dengan manusia, orangutan juga ada yang bandel, malas, bodoh dan pintar, sehingga tingkat kelulusannya berbeda-beda. Ada yang cepat ada yang lambat," kata salah seorang pengasuh orangutan.
Faktor lain adalah berapa lama mereka hidup dengan manusia. Apabila telah bertahun-tahun hidup dangan manusia, perlu proses lebih lama untuk meliarkan kembali
Peraturan di Wanariset Semboja, orangutan yang akan disekolahkan harus berumur tiga sampai tujuh tahun, serta harus sudah sembuh dari penyakit menular.
Pengajar Wanariset akan mulai membuka kelas sejak 06.30 hingga 14.30, dengan istirahat satu jam untuk makan. Sekolah itu juga menerapkan berbagai kurikulum, sesuai tahapan peliaran orangutan.
Ada materi tentang pengenalan hutan. Pada sesi ini, tidak sedikit orangutan yang enggan masuk ke hutan, bahkan berpegangan erat saat pengasuhnya melepasnya ke hutan.
Namun sebaliknya, ada pula orangutan yang bandel. "Begitu melihat hutan langsung kabur, sehingga pengasuh harus membujuk dengan berbagai buah-buahan," ujarnya..
Sejak didirikan pada 1991, sudah sekitar 700 orangutan yang berhasil lulus sekolah di Pusat Rehabilitasi Orangutan Wanariset Semboja.
Yayasan Penyelamatan Orangutan membangun Pusat rehabilitasi dan reintroduksi orangutan di atas lahan seluas empat hektare. Dalam pengelolaannya, BOS bekerjasama dengan kepolisian dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA), dan Departemen Kehutanan.
Pusat Rehabilitasi membutuhkan dukungan lembaga-lembaga itu, khususnya dalam melakukan operasi justisi untuk menyita orangutan yang dipelihara.
"Satwa ini dilindungi oleh UU, karena terancam punah," ujarnya.
Kenyataannya, satwa langka ini bukan hanya dipelihara oleh masyarakat umum, namun diperjualbelikan.
BKSDA Kaltim pernah menyita orangutan yang dipelihara oleh seorang bupati. "Perlu upaya keras untuk membujuk dia agar ikhlas menyerahkan satwa kesayangannya itu," kata Siti.
Ancaman serius bagi orangutan kini adalah kian menyusutnya hutan yang menjadi habitat satwa langka itu.
Keberadaan orangutan menjadi sebuah indikator kelestarian hutan. Jika satwa ini sudah jarang ditemui, berarti hutan tersebut telah rusak parah.
Berdasarkan data, kerusakan hutan di Kaltim telah mencapai 6,8 juta hektare dari luas kawasan 17 juta hektare dengan laju kerusakan sekitar 100.000 hektare pertahun.
Bila tidak ada upaya nyata untuk menghentikan kerusakan hutan tersebut, maka dalam beberapa belas tahun mendatang orangutan akan kehilangan habitatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar