Oleh Iskandar Z Datu
Samarinda - Banjir besar sebelumnya tak pernah menjadi ancaman serius di Samarinda. Musibah itu “hanya” datang dalam siklus lima atau 10 tahunan.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, banjir besar bisa mendera kota itu berulang-ulang lebih, lebih dari tiga kali dalam setahun.
Selama 2008, terjadi empat kasus banjir besar. Kemudian sejak Januari sampai Mei 2009, terjadi dua kasus banjir besar mendera kota berpenduduk sekitar 700.000 jiwa itu.
Banjir bukanlah musibah yang tidak pernah terjadi di Samarinda, justru sejarah kota itu berawal dari kawasan bantaran Sungai Mahakam sehingga akrab dengan pasang-surut air sungai.
Kehidupan masyarakat yang akrab dengan sungai menyebabkan banyak rumah-rumah dibangun di atas rakit namun rumah-rumah unik itu bertahan hanya sampai sekitar 1980-an.
Konon, “Samarinda” berasal dari kata “Sama” dan “Rendah” yang kemudian digabung menjadi nama kota itu hingga sampai sekarang ini dikenal sebagai “Kota Samarinda”. Hal itu melukiskan topografi wilayah kota itu yang banyak dataran serta hampir sejajar dengan sungai.
Sejumlah warga lahir dan besar di Samarinda mengakui bahwa sebelum berkembang seperti sekarang, “Kota Tepian” itu dibelah oleh banyak anak-anak sungai yang bermuara di Sungai Mahakam. Sungai Mahakam adalah sungai terpanjang di Kalimantan Timur mencapai 920 Km melintasi tiga daerah, yakni Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Samarinda dan bermuara di Selat Makkasar.
“Dulunya banyak anak-anak sungai, antara lain dari kawasan Jalan Basuki Rahmat sampai ke Pasar Pagi dan bermuara di Sungai Mahakam,” kata Adji Sofyan Alex, salah seorang tokoh masyarakat di Samarinda.
Sofyan Alex yang juga dikenal sebagai politisi dari PDI Perjuangan itu menuturkan bahwa anak-anak sungai yang membelah kota itu cukup besar sehingga dimanfaatkan warga sebagai prasarana untuk transportasi air dengan menggunakan perahu.
Namun, bersamaan dengan pesatnya pembangunan kota, anak-anak sungai itu terkalahkan oleh pembuatan jalan dan bangunan. Anak-anak sungai tersebut berubah menjadi parit kecil bahkan sebagian justru lenyap karena diuruk dan diatasnya berdiri bangunan rumah atau perkantoran.
Sekarang, anak Sungai Mahakam yang masih terlihat adalah Sungai Karang Mumus. Luas daerah aliran sungai (DAS) Sungai Karang Mumus sekitar 36.527,73 ha dengan panjang alur utama sekitar 40 km. Jarak muara sungai Karang Mumus sampai Bendung Lempake sekitar 20 km. Bendung Lempake dibangun pada tahun 1977, dengan luas tangkapan air sekitar 195 km2.
Secara umum kondisi topografi daerah pengaliran Sungai Karang Mumus berbukit-bukit dan juga terdapat daerah datar khususnya di alur sungai Karang Mumus yang berada dalam kota Samarinda.
Di sepanjang alur Sungai Karang Mumus masuk lagi anak-anak sungai dan juga terdapat beberapa rawa. Beberapa anak sungai Karang Mumus antara lain Sungai Lubang Putang, Sungai Siring, Sungai Lantung, Sungai Muang, Sungai Selindung, Sungai Bayur, Sungai Lingai dan Sungai Bengkuring.
Padatnya pemukiman di bantara Sungai Karang Mumus atau baru sebagian warga yang berhasil direlokasi menyebabkan tingkat pendangkalan sungai sangat tinggi dan tiang-tiang rumah di bantaran sungai diperkirakan menjadi penghambat buangan air hujan dari kawasan hulu.
Pendangkalan sungai parah juga terjadi di Sungai Mahakam akibat akibat pembabatan hutan di kawasan pedalamanan. Faktor pendangkalan sungai termasuk yang diperkirakan sebagai akar masalah sehingga Samarinda kini rawan banjir.
Batas Administratif
Banjir di Samarinda meskipun belum memakan korban jiwa namun sangat merepotkan serta menyusahkan warga karena menghambat berbagai aktivitas mereka.
Misalnya, pelaksaan UN (Ujian Nasional) beberapa waktu lalu di Samarinda sempat terhambat akibat banjir besar, bahkan beberapa siswa terpaksa harus mengikuti ujian susulan karena tidak bisa menjangkau lokasi ujian akibat kendala banjir.
Ribuan umat Kristiani yang akan melaksanakan Misa Natal 2008 terpaksa memindahkan acara pada gedung yang bebas dari banjir akibat sejumlah gereja ikut tergenang air saat musibah itu melanda pada 24 Desember tahun lalu.
Pelaksanaan Misa Natal yang seharusnya di Gereja ST. Lukas Temindung terpaksa dipindahkan ke GOR (Gelanggang Olah Raga) Segiri. Ribuan umat memadati gedung dengan kapasitas 5.000 jiwa itu.
Sebelumnya, Samarinda juga didera banjir besar pada 4 November 2008 yang berlangsung selama 10 hari. Pada musibah ini, terjadi pula musibah lepasnya 13 ekor buaya muara (Crododilus porosus) di Kebun Raya Unmul Samarinda (KRUS) akibat longsor dan jebolnya kadang reptil raksasa itu dihantam hujan lebat dalam beberapa jam.
Reptil paling ganas di “Bumi Borneo” itu hanyut terbawa banjir ke kawasan permukiman warga. Warga yang masih bertahan di lokasi banjir tidak dapat tidur nyenyak karena buaya muara dikenal pemangsa paling agresif. Meskipun kemudian satu persatu hewan ganas yang terbawa arus banjir itu tertangkap.
“Musibah banjir tak lagi kenal musim. Dalam lima tahun terakhir bisa terjadi lebih dari tiga kali dalam setahun, hal ini merupakan cermin telah terjadi kerusakan ekologi dan menurunnya daya dukung lingkungan hidup di Kalimantan Timur,” kata Direktur Ekskutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kaltim, Isal Wardhana. Ia menyebutkan bahwa penanganan banjir harus dilakukan secara komprehensif terutama upaya nyata dalam memulihkan kondisi kawasan hutan di Kaltim yang mengalami kerusakan. Data Pemprov Kaltim menyebutkan, laju kerusakan hutan di Kaltim kini mencapai 900.000 hektar pertahun.
Dari luas kawasan (hutan/lahan) di Kaltim mencapai 17 juta Ha, sekitar enam juta hektar mengalami kerusakan atau kritis. Luas enam juta hektar itu lebih luas dari seluruh kawasan di Provinsi Jawa Barat atau dua kali dari luas Provinsi Jawa Tengah.
“Ini membuktikan bahwa masalah lingkungan tidak bisa dibatasi oleh batas-batas administratif, jadi tidak bisa ditangani oleh satu pihak saja, kerusakan hutan di kawasan pedalaman akan mempengaruhi kawasan lainya, seperti pembabatan hutan di pedalaman Mahakam,” imbuh dia.
Dari sisi lain, Pemkot Samarinda harus melakukan berbagai upaya penanganan banjir yang benar-benar bersentuhan dengan akar masalah. Setiap kawasan atau lokasi, katanya, memiliki persoalan berbeda-beda, misalnya perlu membenahi drainase, pembuatan folder (kolam raksasa penampung air), merehabilitasi atau mereboisasi lahan, serta pengerusakan sungai.
“Celakanya, saat satu masalah belum dituntaskan, Pemkot Samarinda begitu gampang mengeluarkan izin KP (Kuasa Penambangan). Samarinda yang tadinya rawan banjir akibat masalah yang sudah ada seperti pendangkalan sungai, kurang berfungsinya drainase, banyaknya area tangkapan air hujan hilang, kini ditambah lagi dengan hadirnya puluhan perusahaan batu bara,” imbuh dia.
“Melihat penyimpangan alam sehingga banjir bisa datang setiap saat, maka seharusnya semua aktivitas yang tidak ramah lingkungan harus dihentikan,” papar dia.
Kanalisasi
Setelah berbagai upaya menekan kerawanan banjir di Samarinda dianggap kurang berhasil, termasuk membangun folder (kolam raksasa penampung air), maka kanalisasi dianggap cukup efektif mengatasi persoalan itu.
“Berbagai upaya menekan banjir di Samarinda agaknya kurang berhasil,” kata salah satu anggota DPRD Kaltim, Heri Helfian.
Oleh karena itu pihaknya melakukan kanalisasi. “Langkah ini kami anggap cukup efektif untuk mengatasi hal itu, apalagi banyak anak-anak sungai di Samarinda yang fungsinya dimatikan.”
Ia memberikan contoh bahwa ketika banjir di Samarinda mulai surut pada beberapa lokasi sebagian kawasan masih tergenang air. Hal itu membuktikan bahwa sistem pembuangan air kurang berjalan baik sehingga mengatasinya dengan membenahi drainase serta kanalisasi.
Setelah lebih dari satu pekan didera banjir cukup besar sehingga meliputi tiga kecamatan, yakni Kecamatan Samarinda Utara, Kecamatan Samarinda Ilir dan Kecamatan Samarinda Ulu, kini sebagian kawasan sudah kering namun beberapa lokasi masih tergenang, yakni kawasan Jl. A Yani dan Jl Cenderawasih.
“Air tersebut masih tergenang karena buangan air tidak berjalan baik, sehingga perlu terus membenahi drainase dalam kota serta membuat beberapa kanal,” katanya.
“Folder di Samarinda ini kan sudah banyak, namun faktanya tidak mampu mengatasi banjir, karena itu saya pikir pembangunan kanal akan lebih efektif, sebab akan mampu menampung air dalam jumlah besar,” katanya.
Mengenai lokasi untuk kanalisasi itu, ia menjelaskan bahwa yang paling mengerti itu adalah Bidang Pengairan, Dinas Pekerjaan Umum (PU).
“Pembangunan kanal itu terutama mengantisipasi kerawanan banjir di Samarinda Utara yang akan dibangun Bandara Samarinda Baru (BSB), jangan sampai pembangunan bandara yang diharapkan mampu melayani Boing 373 tidak berfungsi karena sering terkena banjir terutama akses jalan menuju bandar udara,” katanya.
Di samping pembangunan kanal, ia juga mengusulkan kepada Pemkot Samarinda agar menghidupkan kembali sejumlah sungai yang sengaja dimatikan karena ditimbun untuk pembangunan jalan dan perumahan.
Selain kanalisasi, usulan lain yang mengemuka untuk penanganan banjir, kewajiban untuk membangun rumah panggung.
“Rumah panggung jadi pilihan untuk menekan aktivitas pengurukan dan penimbunan tanah. Diperkirakan bahwa salah satu faktor penyebab banjir akibat banyaknya daerah tangkapan air berubah fungsi, misalnya kawasan rawa-rawa ditutupi untuk lokasi perumahan dan perkantoran,” kata anggota DPRD Kaltim, Entjik Widyani.
“Dulu, banjir jarang terjadi karena hutan masih lebat serta banyak kawasan tangkapan air, apalagi hampir semua rumah warga adalah rumah panggung namun kini rumah panggung jarang terlihat. Yang ada hanya rumah-rumah beton,” katanya.
Rumah-rumah dan bangunan beton itu memperburuk kondisi lingkungan di Samarinda karena harus menutupi beberapa lokasi yang sebenarnya adalah area tangkapan air, yakni kawasan rawa-rawa.
Jika perlu, katanya, Pemda bersama DPRD membuat payung hukum (Perda) yang mengatur teknis pembangunan gedung dan rumah yang menggunakan tiang-tiang pada kawasan area tangkapan air.
Perda tersebut diharapkan mengatur agar pembangunan Ruko (rumah toko), gudang dan bangunan lain tidak boleh menguruk atau menimbun kawasan yang menjadi area tangkapan air hujan.
“Sebenarnya, rumah panggung sangat indah dan artistik ketimbang rumah beton dan sangat mendukung program menekan kasus banjir,” imbuh dia.
Ia menuturkan bahwa kelebihan rumah panggung adalah penyesuaian suhu di dalam rumah cepat berubah karena tidak langsung bersentuhan dengan tanah atau beton sehingga sirkulasi udara lebih bagus.
“Rumah panggung yang kini jarang terlihat bisa menambah keindahan kota serta mendukung program kepariwisataan apalagi diperindah dengan ornamen lokal, misalnya ukiran Dayak,” papar dia.
Langkah itu dinilai paling tepat, untuk menghentikan pembangunan yang tidak ramah lingkungan, termasuk pengupasan lahan oleh 44 perusahaan pemegang KP yang kini “mengepung” Samarinda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar