Rabu, 24 November 2010

Akankah Nasib Pesut Sama Dengan Harimau Tasmania



Oleh Iskandar Zulkarnaen

Samarinda - Era 1970an mungkin zaman terindah bagi warga Bulungan, Kalimantan Timur, karena saat itu mereka masih kerap menyaksikan Pesut Mahakam yang disebut mereka "Ikan Lumut" dan kini dikategorikan satwa langka itu berenang bergerombol di tengah Sungai Kayan.

Mamalia sungai itu muncul dalam formasi unik sambil menyemburkan air dari belakang kepalanya.

Di era yang sama, warga Samarinda juga acap melihat kawanan satwa pemalu itu di tengah Sungai Mahakam, khususnya pagi atau sore mendekati waktu salat magrib.

Warga yang hendak berwudhu untuk salat Magrib di Masjid Tua (kini Masjid Raya Darussalam) di tepi Mahakam (kini Jalan Gajah Mada) sering melihat tiga atau lima ekor Pesut Mahakam bercanda sambil menyemburkan air dari puggungnya.

Mamalia bernama Latin Orcaella brevirostris itu berenang dalam formasi menarik, biasanya terdiri dari tiga atau lima ekor.

Kala itu, air Sungai Mahakam sangat jernih karena tak ada pencemaran, sedangkan hutan-hutan di pedalaman belum dibabat habis-habisan seperti tahun-tahun belakangan ini.

Puluhan tahun kemudian, Sungai Mahakam berubah bagai kanal raksasa untuk mengalirkan limbah dari puluhan perusahaan kayu, lem, dan batu bara sehingga air sungai pun berubah coklat kehitaman.

Lain hal, kawasan Sungai Mahakam yang tadinya hening berubah sangat bising oleh deru mesin kapal berbahan bakar bensin dan solar, sementara oli membuat air sungai kian parah tercemar.

Perubahan ekosistem ini mempengaruhi Pesut Mahakam yang akhirnya makin masuk ke pedalaman Mahakam yang kini wilayah Kutai Kartanegara, untuk mencari tempat hidup lebih tenang.

Namun kehidupan pesut-pesut kian terdesak oleh terus menurunnya kualitas alam pedalaman Mahakam, diantaranya oleh banjir beruntun, termasuk pertengahan April ini.

Padahal dulu, banjir hanya terjadi setiap 5-10 tahun sekali, tetapi kini setiap tahun, bahkan berkali-kali dalam setahun.

Selama 2009 banjir besar tiga kali melanda kawasan pedalaman yang membuktikan sungai mengalami pendangkalan dan erosi yang demikian dahsyat, akibat lahan gundul di pedalaman pulau Kalimantan itu.

Kehidupan Pesut Mahakam pun menjadi sangat terancam karena habitatnya terus-terusan didesak oleh alam yang mengalami degradasi akibat ulah manusia. Tidak itu saja, sumber makanan satwa langka yang seharusnya menjadi kekayaan nasional itu kian menipis.

Keliru

Pesut Mahakam mungkin akan segera punah dan kenyarispunahannya mirip musnahnya Harimau Tasmania (Thylacine cynophalus) di Pulau Tasmaniam, Australia.

Harimau Tasmania hilang dari dataran Australia karena berubahnya ekosistem alam setelah kehadiran imigran yang masif di benua itu.

Menurut para ahli, kira-kira 3.300 tahun silam, karnivora berkantong (marsupial) hidup di Australia dan Papua Nugini. Kemudian, sekitar 2.200 tahun lalu, harimau yang tubuhnya mirip anjing itu hilang dari kedua daratan itu, kecuali Kepulauan Van Diemen alias Tasmania.

Pada 1880an, para imigran yang sebagian menjadi petani itu memburu binatang itu karena dianggap hama terhadap ternak mereka.

Dalam tujuh dekade, hewan itu hilang dari peredaran dan terakhir dikabarkan mati pada 1936. Sejak itu orang tidak pernah lagi melihat satwa unik tersebut.

Kini, nasib serupa mungkin akan segera menimpa Pesut Mahakam, ribuan kilometer dari Pulau Tasmania.

Jika itu terjadi, maka kedua satwa angka itu punah karena sama-sama tersingkir oleh kian padatnya pemukiman manusia.

Dengan karunia besarnya yang diberikan Tuhan berupa akal dan pikiran, manusia memang justru kerap menjadi perusak alam paling hebat, antara lain menangkap ikan dengan racun yang malah mencemari para penghuni sungai, termasuk Pesut Mahakam.

Berdasarkan kajian ahli, ada anggapan keliru bahwa tiga danau besar di pedalaman Kalimantan Timur adalah habiat Pesut Mahakam. Keliru, karena tiga danau besar itu --Danau Malintang (11.000 Ha), Danau Semayang (13.000 Ha) dan Danau Jempang (15.000 Ha)-- terlalu dangkal bagi Pesut Mahakam.

Bahkan, di musim kemarau danau-danau itu berubah menjadi rawa, padahal Pesut Mahakam dewasa yang berbobot 1-1,5 kuintal pun hanya bisa hidup di perairan berkedalaman 9-12 meter.

Lain dari itu, mamalia ini rakus mengonsumsi makanan, khususnya udang dan ikan, padahal rawa tak mungkin menyediakannya.

Daniella Kreb, peneliti Belanda, memperkirakan populasi mamalia menyerupai lumba-lumba itu itu berjumlah 50 ekor. Asumsi itu didasarkan pada pola kemunculan pesut.

Kreb meyakini Sungai Kedang Pahu justru menjadi zona paling disukai Pesut Mahakam karena kedalamannya sesuai, lalu-lintas sungai tidak begitu ramai, tingkat pencemaran rendah, dan pasokan makanan agak melimpah.

Ironi

Tapi ada kabar menggembirakan. Belum lama ini, dua penemuan membuktikan Pesut Mahakam tidak hanya hidup di Sungai Mahakam, Sungai Irawady dan Sungai Mekong, namun juga pesisir Balikpapan dan Sungai Sesayap di Kalimantan Timur.

Tim survei dari Balai Taman Nasional Kayan Mentarang, Kalimantan Timur, dua tahun lalu menemukan pesut di Sungai Sesayap, Kabupaten Tanah Tidung, untuk pertama kalinya.

Kepala Balai TNKM, IGNN Sutedja yang memimpin survei mengaku timnya berhasil merekam tujuh ekor pesut dalam bentuk foto dan video pada 10-12 Januari 2008.

Pada Agustus 2007, mereka melihat sekitar 11 ekor Pesut Mahakam muncul.

Rekaman pertama dibuat pukul 10.11 WITA. Saat itu, di hulu sungai, Pesut Mahakam muda muncul ke permukaan dengan dua kali melakukan loncatan kecil sehingga bagian punggung dan sirip atasnya terekam kamera.

Sore harinya, pukul 16.00 WITA, enam pesut lainnya terekam di hilir sungai.

Keberadaan pesut di Sungai Sesayap sebenarnya telah lama diketahui penduduk setempat yang menyebutnya "Lamud" yang artinya lumba-lumba dalam bahasa Suku Tidung.

Tak hanya mengetahui, pesut sudah lama melegenda di masyarakat Tidung. Haji Mustofa, tokoh masyarakat Tidung di Kecamatan Sesayap, bercerita, Lamud adalah manusia yang menjadi "ikan".

Selain Sungai Sesayap, Pesut juga dipergoki beberapa peneliti satwa liar di pesisir Balikpapan.

Mengutip Yayasan Konservasi RASI tahun 20005, penemuan ini mengejutkan karena pesut diyakini hanya hidup di air tawar, bukan air payau atau laut.

Para peneliti yakin itu bukan lumba-lumba karena moncongnya pendek, tidak panjang seperti lumba-lumba.

Seperti halnya warga sekitar Sungai Sesayap, masyarakat Sungai Mahakam juga percaya bahwa pesut berasal dari manusia dan tak boleh ditangkap, apalagi dimakan.

Namun, mitos itu tidak mampu melindungi pestu, karena harus bersaing keras dengan manusia yang semakin rakus mengekploitasi alam.

Pada 2002, IUCN (International Union for Conservation of Nature) memberi status Critically Endangared (terancam punah) pada Pesut Mahakam, sementara CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) menempatkannya di "Appendix 1" atau tidak boleh diperdagangkan.

Faktanya, Pesut Mahakam tetap diburu untuk dibisniskan, diantaranya guna memenuhi permintaan Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta.

Sebagian manusia agaknya berpikir terlalu ekonomis dan gampangan, padahal adalah amat penting mempertahankan pesut ada di habitatnya aslinya.

Ironisnya, Pemprov Kalimantan Timur, Pemkot Samarinda dan Pemkab Kutai Kartanegara malah seolah berlomba membangun tugu dan patung pesut bernilai sampai miliaran rupiah, namun dalam beberapa tahun ini tidak ada dana yang dialokasikan untuk menyelamatkan dan melestarikan Pesut Mahakam. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar