Oleh Iskandar Zulkarnaen
Provinsi Kalimantan Timur selama ini dikenal karena mempunyai sejumlah kawasan konservasi yang memiliki keanekaragaman hayati (bio-diversity) luar biasa.
Sebut saja, misalnya, Taman Nasional Kayan Mentarang yang menjadi taman nasional terluas di Indonesia mencapai 1,2 juta hektare yang menyimpan keanekaragaman hayati untuk hutan tropis ekosistem dataran tinggi terlengkap di Pulau Borneo.
Kawasan itu melintasi dua wilayah administratif sekitar 60 persen wilayahnya di Kabupaten Malinau dan sisanya di Kabupaten Nunukan. Aktivitas penjarahan hutan dan penyelundupan kayu mengancam kawasan itu karena berbatasan langsung dengan Sabah dan Serawak, Malaysia Timur.
Kawasan ini tidak hanya menjadi penting bagi ekologis akan tetapi juga ilmu pengetahuan, khususnya bidang sejarah dan arkeologi karena sejumlah kawasan ditemukan situs manusia purba termasuk “lungun” batu atau peti mati bertangkup seperti perahu.
Di Kaltim juga terdapat kawasan konservasi Bukit Gajah Berau yang berdasarkan penelitian primatolog baru-baru ini menunjukan strategisnya kawasan itu, yakni menjadi habitat yang memiliki populasi Orangutan (Pongo pygmaeus) terbanyak ketimbang Taman Nasional Kutai (TNK).
Semua daerah di Kaltim (14 kabupaten dan kota) terdapat sejumlah kawasan konservasi yang memiliki keunikannya masing-masing. Namun, sayangnya rata-rata mengalami kerusakan sangat parah. Salah satu contoh adalah kasus yang menimpa TNK, padahal kawasan itu disebut-sebut sebagai “benteng terakhir hutan tropis basah dataran rendah di Kaltim.
Dari luas total TNK mencapai 198.000 Ha, ternyata luas yang tersisa akibat berbagai kasus antara lain bencana kebakaran hutan dan lahan, penjarahan hutan dan pembukaan lahan ilegal menyebabkan kawasan suaka alam yang ada sejak Kesultanan Kutai itu kini hanya 4.500 Ha.
Di tengah-tengah pasimistis terhadap upaya pelestarian alam di Kaltim, salah satu faktornya adalah kesan saling lempar tanggung jawab antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, seorang peneliti asing mengungkapkan keanekaragaman hayati luar biasa di Teluk Balikpapan.
Keunikan yang diungkapkan Stanislav Lhota, ilmuwan dari Departemen Zoologi, Universitas South Bohemia Republik Chechnya itu bak menyingkap tirai di depan mata bahwa ada kawasan konservasi yang dekat kawasan perkotaan namun seperti terlupakan. Kawasan Teluk Balikpapan terletak hanya beberapa kilometer dari pusat Kota Balikpapan, jadi tidak seperti rata-rata kawasan konservasi di daerah lain di Kaltim yang biasanya jauh dari pusat kota.
Stanislav Lhota mengungkapkan bahwa kelestarian alam pada perairan Teluk Balikpapan menjadi sangat strategis karena ternyata masih ditemukan Duyung (Dugon dugon), padahal ada anggapan masyarakat umum bahwa mamalia laut itu sudah punah di kawasan selatan Kaltim.
“Saat ini duyung di Teluk Balikpapan dalam kondisi terancam. Ancaman utama adalah hilangnya padang lamun yang merupakan pakan utama duyung. Padang Lamun menghilang karena sedimentasi dan polusi kimia,” kata menerangkan.
Ia memaparkan bahwa sebenarnya keberadaan satwa laut paling langka di Indonesia pada Teluk Balikpapan diketahui beberapa tahum silam oleh para ilmuwan. “Pada 1996 telah diusulkan bahwa dugong telah punah di Kalimantan. Tapi empat tahun kemudian, pada tahun 2000 ditemukan kembali oleh Yayasan RASI (Rare Aquatic Species Indonesia) di Teluk Balikpapan,” imbuh dia.
Ancaman utama bagi kelestarian Duyung, katanya menambahkan adalah padang lamun menghilang di Teluk Balikpapan diduga akibat terjadinya sedimentasi dan polusi kimia. Salah satu sumbernya adalah hadirnya perusahaan perkebunan sawit, PT. Agro Indomas di Kelurahan Pemaluan dan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara.
Perusahan tersebut telah menanam sawit di sepanjang pesisir dan tepian sungai dan anak sungai, padahal sesuai peraturan di Indonesia tindakan perusahaan itu adalah ilegal untuk menanam sawit di zona penyangga di sepanjang pantai dan tepi sungai.
Pesut dan Bekantan
Kelestarian Teluk Balikpapan tersebut menjadi begitu penting di mata ilmuwan dari Republik Chehnya itu karena menyimpan “keajaiban dunia”, yakni bukan hanya terdapat Duyung namun juga ditemukan Pesut Mahakam dan menjadi kawasan penting bagi bekantan, yakni mewakiliki lima persen dari populasi primata langka tersebut di dunia.
Ada anggapan bahwa Pesut Mahakam selama ini hanya terdapat pada tiga belahan dunia, yakni Sungai Mahakam, Sungai Irawady dan Sungai Mekong. Satwa ini diketahui sebelumnya hidup pada ekosistem air tawar (sungai). Ternyata, Pesut Mahakam berhasil juga ditemukan di Teluk Balikpapan padahal dengan ekosistem air asin (laut). Satwa langka yang menjadi maskot Kaltim itu ternyata juga kemudian ditemukan di Sungai Malinau (Kaltim).
Populasi Pesut di Teluk Balikpapan sekitar 60-140 ekor. Muara Tempadung merupakan habitat yang sangat penting bagi pesut, sebagai daerah pencarian ikan dan migrasi.
Tidak jauh berbeda dengan nasib Duyung, Pesut Mahakam di Teluk Balikpapan terancam baik oleh nelayan, aktivitas kapal-kapal perusahaan, serta kegiatan pembangunan pelabuhan perusahaan batu bara dan pengeboran pipa perusahaan Migas. Pengeboran pipa Migas diperkirakan bisa menimbulkan kerusakan permanen pada telinga pesut. Padahal indra ini bermanfaat dalam menentukan lokasi mencari makanan.
“Pesut mencari dan menangkap ikan dengan cara echolocation (sonar) dan jika telinga mereka rusak mereka tidak dapat menemukan makanan. Kegiatan pengeboran pipa sangat berbahaya bagi pesut,” katanya.
Pada fase konstruksi dermaga seharusnya perusahaan wajib untuk menggunakan “bubble jaket” atau “bubble curtain” (tirai gelembung) dan program monitoring pesut selama konstruksi pelabuhan. Tirai gelembung berfungsi sebagai saringan suara dan secara signifikan mengurangi gangguan pesut serta ikan,” kata ilmuwan yang juga menggemari fotografi itu.
Selain itu, monitoring pesut di lokasi pemasangan dan pipa harus memastikan bahwa operasi pancang berhenti kapan saja ketika pesut muncul dalam radius 500 m. Perhatian juga diperlukan supaya tidak mengganggu Pesut selama waktu operasi perusahaan.
Ia menilai bahwa seharusnya Kapal harus tidak diizinkan untuk masuk atau meninggalkan dermaga selama waktu Pesut terantisipasi melewati Pulau Balang dan mencari ikan di Muara Tempadung.
Keberadaan Pesut Mahakam di pesisir selatan Kalimantan Timur itu sebenarnya bukan hanya yang baru karena sudah diketahui oleh peneliti dari Belanda serta anggota tim Proyek Pesisir beberapa tahun silam. Namun, pemerintah pusat maupun pemerintah selama ini agaknya kurang begitu perduli dengan upaya-upaya untuk pelestarian lingkungan di kawasan pesisir Balikapapan dan Panajam Paser Utara itu.
Stanislav Lhota menyarankan agar semua pemerintah daerah (Pemkot Balikpapan) konsisten dalam menjalankan berbagai program lingkungan sesuai peraturan di Indonesia.
Lima Persen Populasi
Kerusakan lingkungan baik pada perairan maupun daratan di Teluk Balikpapan ternyata akan membawa dampak luas bagi upaya menjaga keanekaragaman hayati di kawasan itu karena ternyata kawasan hutan mangrovenya menjadi habitat Bekantan (Nasalis larvatus) dengan populasi cukup banyak.
Hasil survei Stanislav Lhota sejak 2006 menemukan di Teluk Balikpapan terdapat populasi Bekantan mencapai 1.400 ekor.
Artinya, lengkap sudah “keajaiban dunia” di kawasan Teluk Balikpapan karena hadirnya 1.400 ekor Bekantan (sekitar 1.000 ekor di pesisir Kabupaten Penajam Paser Utara dan 400 ekor di pesisir Balikpapan) mencerminkan populasi lima persen dari total satwa langka itu di berbagai belahan dunia.
Ia memaparkan bahwa di berbagai belahan dunia terdapat 25.000 populasi bekatan. Jika perkiraan ini benar, itu berarti bahwa bekantan di Teluk Balikpapan mewakili lima persen dari seluruh populasi di seluruh dunia. Kawasan lain yang menjadi habitat satwa ini umumnya di pesisir Pulau Borneo, antara lain Sabah dan Sarawak (Malaysia) dan Brunei Darussalam.
Ancaman hutan bagi primata langka itu adalah kian menyusutnya hutan bakau di Teluk Balikpapan, anatara lain dampak dari mega-proyek pembangunan Jembatan Pulau Balang. Kegiatan itu akan mengisolasi bakau pesisir dari Hutan Lindung Sungai Wain (Hutan Lindung Sungai Wain) yang menjadi habitat Bekantan.
Hadirnya sejumlah perusahaan sawit dan batu bara di kawasan itu menjadi salah satu faktor yang menjadi ancaman serius bagi Bekantan akibat pembukaan lahan mangrove baik untuk pembangunan pabrik, lahan usaha dan dermaga.
Direktur Ekskutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kaltim, Isal Wardhana menilai bahwa perlu sikap tegas pemerintah dalam upaya pelestarian Teluk Balikpapan yang menyimpan keanekaragaman hayati luar biasa itu.
“Tidak ada alasan bagi pemerintah daerah maupun pusat untuk saling lempar tanggung jawab dalam pelestarian kawasan itu dengan dalih ketidakjelasan masalah wewenang,” papar dia.
Ia menilai bahwa tidak ada alasan pemerintah untuk menggunakan dalih saling lempar tanggung jawab atas wewenang dalam pengelolaan lingkungan karena peraturan untuk sektor ekologis itu kini sudah lengkap, mulai dari UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, PP (Peraturan Pemerintah) No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Tahun 1998 No. 132 dan Tambahan Lembaran Negara No. 3776).
“Kini sudah ada UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, masalahnya tinggal kemauan pemerintah untuk menerapkan bagi berbagai pihak atau kegiatan yang merusak lingkungan,” katanya.
Ia menambahkan bahwa pemerintah mungkin saja selama ini berdalih mengalami hambatan serius untuk mengamankan hutan dan kawasan konservasi dengan alasannya wilayahnya susah terjangkau karena berada di pedalaman dan perbatasan.
“Namun, kini tidak ada alasan lagi untuk segera menyelamatkan Teluk Balikpapan karena kenyataannya kawasan ini berada di depan mata,” ujar dia menambahkan.
Tampaknya, jika pemerintah tidak mampu mengatasi ancaman kerusakan lingkungan di Teluk Balikpapan yang menjadi habitat berbagai jenis satwa langka di dunia, khususnya Duyung, Pesut Mahakam dan Bekantan maka dalam beberapa tahun ke depan kawasan yang menyimpan “keajaiban dunia” itu tinggal menjadi kenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar