Sabtu, 31 Maret 2012
Tragedi Bulungan
Sumber : Bongkar Online
Minggu, 14 Agustus 2011 21:18
47 Tahun Tragedi Bulungan
Setelah tragedi Bulungan, Juli 1964 yang seolah terkubur dalam puing sejarah dan nyaris dilupakan orang, kerabat kesultanan bangkit kembali dan menuntut klarifikasi pemerintah.
Muhammad Idris, Victor Ratu, Sunarto Sastrowardojo
Zaman keemasan Dinasti Bulungan, Tidong kuno atau yang dikalangan masyarakat Eropa lebih dikenal dengan The Ancient Kingdom of Tidong sejak tahun 1076, porak-poranda oleh tindakan membabibuta tentara republik, 24 Juli 1964. Padahal TNI diamanahi untuk menjaga kedaulatan NKRI pasca Bulungan menyatu dengan RI tanpa syarat, pada HUT Proklamasi kelima tahun 1949.
Tak ada catatan pasti yang merunut hingga puncak peristiwa, Jumat, 24 Juli 1964 dengan pembakaran keraton Bulungan. Desas-desus menyebutkan pembantaian itu didalangi PKI. Versi lain menyatakan, TNI di bawah komando seorang perwira berpangkat Mayor Infantri di Kodim 0903 Bulungan yang membumi hanguskan keraton dengan memobilisasi kekuatan masyarakat kelas bawah.
Setidaknya, 87 orang jadi korban, 37 di antaranya dikabarkan tewas dan sebagian lagi hingga kini tidak diketahui nasibnya.
Sampai saat ini, tragedi itu tertutup rapat. Upaya untuk merehabilitasi nama baik bangsawan dan kesultanan terbentur pada persoalan administratif, karena pewaris Kesultanan Bulungan, Datu Maulana Muhammad Al Ma'mun bin Muhammad Djalaludin, berstatus warga negara Malaysia.
Setahun sebelum TNI membumi hanguskan keraton atau tepatnya Jumat, 2 Juli 1963, saat peresmian kantor Polisi Sektor Tanjung Selor, sudah beredar rumor yang menyebutkan, Kesultanan Bulungan dibantu masyarakat Tidung dan Kenyah akan memberontak. Kesultanan yang waktu itu digambarkan sangat berpengaruh karena kemakmurannya diisukan ingin bergabung dengan federasi Malaysia. Bulungan Tidung dan Kenyah inilah yang belakangan oleh masyarakat disebut Bultiken, yaitu daerah yang saat ini memiliki batas tanah daratan dengan Malaysia.
Pada 1963, hubungan antara pemerintah RI dengan dengan Malaysia memanas dengan adanya istilah Presiden Soekarno tentang “Ganyang Malaysia”. Menteri Luar Negeri Indonesia waktu itu, Soebandrio telah mengumumkan sikap resmi pemerintah RI bermusuhan dengan negeri Jiran itu.
Latar belakang situasi politik itu yang diduga membuat tentara mudah tersulut. Ditambah situasi politik dalam negeri di mana komunis memasuki semua sendi pemerintahan dan TNI.
Padahal, saksi-saksi mata peristiwa “Tragedi Bulungan” yang masih hidup tidak ada yang merasakan atau melihat tanda-tanda bahwa Kesultanan Bulungan bakal membelot ke Malaysia. Bahkan ketika hubungan Indonesia-Malaysia memanas, pihak kesultanan tidak terpengaruh. “Sultan hanya berdagang hasil kebun karet ke Malaysia,” cerita Hamzah Usman, seorang aktivis NU (Nahdlatul Ulama) yang waktu itu menjadi Kepala Jawatan Karet Berau-Bulungan yang berkedudukan di Tanjung Selor.
“Waktu itu komoditas karet sangat sulit dijual. Hanya pedagang besar di Samarinda yang mampu membeli getah. Padahal perjalanan ke Samarinda waktu itu butuh berminggu minggu. Nah dalam kondisi sulit itulah Malaysia bisa membeli dalam jumlah besar. Apalagi jaraknya lebih dekat dibanding Samarinda,” kata Hamzah Usman, kepada Sunarto Sastrowardojo, akhir pekan tadi di Samarinda.
Kapal kapal keraton yang mengangkut karet ke Malaysia inilah oleh Raja Muda sering diplesetkan sebagai kapal perang. ”Kapal perang saya berangkat,” kata Hamzah Usman menirukan Sultan Adzimoeddin, waktu itu. Begitu pula ketika kapal itu kembali dan sarat dengan bahan pangan dari Malaysia, sultan juga menyebut; kapal perang saya datang. “Padahal yang diangkut bukan perlengkapan perang, tetapi sembako untuk rakyat Bulungan,” kata Hamzah.
Isu Bultiken memberontak makin santer dibicarakan orang waktu itu. Memasuki Oktober 1963, penangkapan terhadap keluarga bangsawan keraton Bulungan oleh pasukan TNI AL. Dalam salinan : Bahan Tjatatan : Peristiwa Berdarah Bulungan Kaltim yang ditandatangani oleh Datu A. Bestary menyebutkan, malam Jumat, 2 Juli 1964, pasukan tentara dari Brawijaya dipimpin Letnan B Simatupang menggrebek istana dalam keadaan siap tempur (stelling).
Penggerebekan itu dilanjutkan dengan penyitaan massal harta benda milik keraton yang dipimpin langsung oleh Komandan Kodim 0903 Mayor Infanteri Suminta Husein didampingi Jaksa Soejono, Bc dan seorang pembantunya, Jaksa Berlin Godwin, keesokan harinya. Barang barang sitaan ini diangkut dengan kapal dan perahu motor dengan tujuan yang tidak diketahui. (baca juga testimoni Hamzah Usman tentang keterlibatan tentara). #
=================================================================================================
Jumat Berdarah di Bulungan
Aksi pembunuhan keluarga Kesultanan Bulungan, 47 tahun silam, masih membekas. Lebih 37 dinyatakan hilang dan tewas, 80-an dipenjara tanpa diadili.
Empat puluh tujuh tahun silam di Tanjung Selor dan Tanjung Palas Bulungan, situasi mencekam. Tentara yang disebut-sebut mendapat perintah dari Pangdam IX Mulawarman, Brigjen Inf Soeharyo, menangkapi, membakar, membunuh para bangsawan dan orang yang dekat dengan kerabat Kesultanan Bulungan.
"Para Bangsawan Bulungan ingin memberontak terhadap Pemerintah RI yang sah dengan gerakan yang disebut subversive Bultiken dan saat ini Raja Muda telah melarikan diri," begitu isi pidato Mayor Inf Suminta Husein, Komandan Kodim 0903 Bulungan, seperti dikutip Sugeng Arianto, seorang guru sejarah di Bulungan dalam sebuah blog.
Penangkapan dan penculikan kerabat keraton sudah berlangsung sejak pagi, hari Jumat, 3 Juli tahun yang 1964. Penangkapan 37 orang keluarga keraton ini berlangsung sangat cepat. Satu orang, yakni Datu Taruna ditembak mati karena melakukan perlawanan. Sisanya diangkut dengan Kapal Bango menuju penjara Tarakan. Para korban penangkapan ini belakangan diyakini tidak lama berada di penjara Tarakan. Mereka dibantai dan mayatnya dibuang ke Sungai Tuan, salah satu sungai kecil di Bulungan.
Beberapa korban yang sempat diketahui identitasnya dan tidak pernah kembali adalah, Datu Ambung, Datu Paun, Soendjil dan Abdul Wahab. Mereka diambil dari penjara Tarakan, pada 8 Agustus 1964.
Menyusul Datu Alam, Datu Reni, Datu Laksamana, Datu Abdul Madjid, Datu Limbang Alam, Datu Ideham, Datu Hamidi, Datu Masjur, Datu Arsyad, Datu Kiding, Datu Tinggi, Datiu Sjaiful Anwar, Datu Radin, Datu Haji Abdullah Qadi, Udin, M Djagung, Abdullah Madun, Taha, M. Lintjak dan Abdurachman Kapid. Mereka dijemput di Penjara Tarakan, 8 September 1964.
Tanggal 20 November masih ditahun yang sama, tiga orang lagi hilang dari Penjara Tarakan Mereka adalah Adi Raga, Adji Setia dan Umar Maila.
Sehari setelahnya, Datu Idris, Datu Yusuf, Datu Sulaiman, Abdul Gani A Setia, Said Sekar, Midin, Umar Sikol, Ibrahim Ali, Midin Ali, Djauhari Badrun, Usman Husin dan Abdulgani. Sedangkan Datu Mahkota dan Datu Ibrahim ditangkap di Balikpapan dan Datu Abdullah DJ ditangkap di kediamannya, Malang Jatim.
Tentara tak hanya mengejar para bangsawan di Bulungan, tapi juga sampai keturunan mereka di Balikpapan dan Malang. Mereka yang tersisa menyelamatkan diri masuk ke hutan-hutan. Sementara
pewaris tahta Datu Mamun bin Muhammad Djalaludin bersama istri, anak dan kakaknya, saat itu sudah berdomisili di Tawau Malaysia. “Datu Ma’mun waktu peristiwa itu tidak ada di Bulungan,” cerita Datu Hamid, anak dari Datu Bendahara yang sekarang menjabat Pemangku Kesultanan Bulungan.
Aksi bumi hangus dilanjutkan tentara bersama masyarakat yang sudah terprovokasi bahwa kesultanan ingin memisahkan diri dari RI. Istana I dan Istana Adat di tepi Sungai Kayan, Tanjungpalas, diratakan dengan tanah. Dibakar pada pukul 7 pagi, Minggu, 19 Juli 1964. Sultan Adzimoeddin, bergelar Raja Muda ditangkap dua hari kemudian, atau 21 Juli 1964 yang diteruskan dengan pembakaran keraton bertingkat dua, tiga hari kemudian. Pembakaran ini berlangsung dua malam berturut turut hingga Sabtu malam.
Datu Hamid yang waktu itu berusia 15 tahun menyaksikan peristiwa pelanggaran HAM tersebut dengan mata kepala sendiri. “Istana dibakar, yang tersisa hanya tunggul ukuran 20 kali 20, kuburan dan mesjid,” ceritanya.
Jumlah tentara yang datang di Tanjung Selor Bulungan, sangat banyak. Waktu itu memang Presiden Soekarno sudah menyatakan ‘Ganyang Malaysia”, sehingga pasukan-pasukan tentara dari berbagai kesatuan di Indonesia dikonsentrasikan di perbatasan seperti Tarakan, Nunukan dan Tanjung Selor. Menurut Datu Hamid, pasukan yang ikut membumihanguskan keraton Bulungan, selain tentara Kodim dibantu dari kesatuan Brawijaya. “Saya tidak tahu persis dari kesatuan nomor berapa,” ujarnya.
Dalam beberapa tulisan mengenai tragedi itu, disebut-sebut selain nama Komandan Kodim 0903 Mayor Suminta Husein yang menerima perintah dari Pangdam IX Mulawarman Brigjen TNI Soeharyo, ada juga tentara dari Brawijaya dipimpin oleh Letnan B Simatupang.
“Ini peristiwa pelanggaran HAM yang sangat berat, pemerintah dan TNI harusnya memberikan klarifikasi atas tuduhan tidak mendasar kepada kerabat kesultanan Bulungan,” kenang Datu Hamid yang juga pensiunan perwira TNI itu.
Tuduhan yang dialamatkan kepada kalangan bangsawan bertindak subversiv, ingin memisahkan diri dari Indonesia itu sampai saat ini tidak bisa dibuktikan kebenaranya. Tentara maupun pemerintah tidak punya data-data pendukung, sehingga masyarakat di Bulungan berbalik bahwa alasan itu isapan jempol belaka. Masyarakat di Bulungan lebih percaya kalau tentara waktu itu terprovokasi oleh hasutan tokoh-tokoh PKI. #
=================================================================================================
Disetir Komunis
Munculnya isu Bultiken (Bulungan Tidung Kenyah) akan memberontak ke pemerintah RI, menurut saksi hidup Hamzah Usman tidaklah benar. Keluarga Sultan Bulungan merupakan bangsawan yang sangat mencintai rakyat dan negara RI.
Setahun setelah tragedi Bulungan, saat pecah pengkhianatan PKI tahun 1965, baru terungkap, jika komunis merencanakan pembantaian sejumlah tokoh masyarakat, ulama setempat dan keluarga keraton. Bahkan PKI telah menyiapkan lubang-lubang yang telah diberi nama calon korbannya.
Indar Djaya Putra dan Supardjo, kepala Agraria Bulungan, saat itu merupakan tokoh PKI yang paling disegani. Selain memiliki koneksi langsung dengan DN Aidit, Supardjo disebut sebut memiliki hubungan yang kuat dengan TNI AL dan Angkatan Darat. Komandan Kodim 0903 Bulungan Mayor TNI Suminta Husein saat itu dibuat tak berdaya dengan perintah langsung Pangdam Soerharyo untuk membumi hanguskan keraton.
Saat menerima perintah kawat Panglima Kodam IX Mulawarman, Brigjen TNI Soeharyo, Suminta Husein dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Sebagai sahabat komandan Kodim, Hamzah Usman, saat itu menjabat sebagai Kepala Jawatan Karet Berau-Bulungan sempat diajak curhat Suminta. ”Saya kasian sama Husein. Dilaksanakan perintah itu menyalahi hati nurani, tidak dilaksanakan, beliau adalah bawahan yang menjalankan perintah panglima. Beliau bilang : saya benar benar seperti makan buah simalakama,” kata Hamzah Usman, ketika berbincang dengan Bmagazine, akhir pekan tadi di Samarinda, mengenang ucapan Komandan Kodim itu.
Panglima Soerharyo termakan hasutan Indar Djaya Putra dan Soepardjo yang mengatakan Bultiken akan memberontak kepada pemerintah RI yang sah dan akan bergabung dengan Malaysia.
Ini terbukti dengan pernyataan maaf TNI yang disampaikan oleh Jenderal Soemitro pengganti Soeharyo yang melarikan diri ke Moskow, terhadap keluarga keraton dan mengembalikan seluruh benda benda milik kesultanan yang disita, menyusul terungkapnya pemberontakan PKI, setahun setelah tragedi berdarah itu.
Posisi PKI di Bulungan, menurut Abdul Jalil Fatah yang saat ini menjabat anggota DPRD Kalimantan Timur, pasca Pemilu pertama tahun 1955, berada di rangking empat di bawah PNI, Partai Persatuan Anak Daerah (Persada) dan Masyumi. Sedangkan Nahdlatul Ulama, Murba dan Parkindo, masing masing berada di urutan 5,6 dan 7. #
=================================================================
“Saya Nyaris Jadi Korban”
Hamzah Usman, Kepala Jawatan Karet, Berau-Bulungan, saksi hidup tragedi Bulungan 47 tahun silam menyimpulkan, pembantaian keluarga kesultanan merupakan strategi komunis yang tak suka diperintah oleh kaum bangsawan. Berikut testimoninya dituturkan kepada Sunarto Sastrowardojo.
Sebagai Kepala Jawatan Karet, yang membawahi Berau dan Bulungan, saya sangat dekat dengan keluarga keraton. Raja Muda, memiliki kebun karet yang cukup luas. Teknologi pengasapan, menoreh batang agar getah menetes dengan baik, waktu itu kerabat dan pekerjanya kurang memahami.
Makanya saya lebih sering berhubungan, dengan Raja Muda, ketimbang keluarga keraton lain yang mengurusi ladang minyak.
Tragedi Juli 1964, menurut saya tidak sepenuhnya kesalahan tentara. Panglima Soeharyo yang komunis lebih disetir oleh DN. Aidit dari Jakarta, dan tokoh komunis Bulungan, Indar Djaya Putra lebih cerdik memanfaatkan momentum psikologis politik Bulungan yang mulai goyah dengan sistim pemerintahan multi partai pasca Pemilu 1955.
Isu Bultiken memberontak sebenarnya sudah terdengar setahun sebelumnya. Itu sebabnya penguasa militer waktu itu berkonsentrasi mengawasi aktifitas kesultanan Bulungan ekstra ketat. Setahun setelah kejadian, saya menyimpulkan, fitnah yang tersebar luas dikalangan masyarakat Bulungan dilakukan oleh komunis. Tokoh Partai Komunis Indonesia, waktu itu Indar Djaya Putra dan Soepardjo, Kepala Agraria Bulungan.
Penculikan, penangkapan keluarga sultan dan kerabat berlangsung dalam waktu hampir dua tahun, pertengahan 1963 hingga menjelang tragedi 1965. Saya nyaris jadi korban. Ceritanya, saya dalam perjalanan ke Balikpapan, ada keluarga yang meninggal. Di Tarakan, saya menginap di rumah sahabat saya yang orang Tidung, Mistam. Nah malam harinya terjadi penggerebekan. Untungnya saya membawa telegram dari Balikpapan dan Kartu Tanda Anggota NU. Kawan saya itu tidak diketahui nasibnya hingga sekarang.
Pada saat HUT Proklamasi, saya lupa tahunnya, Kodim memamerkan senjata yang katanya, hasil sitaan di keraton. Mungkin tentara ingin membuktikan bahwa Bultiken benar benar ada dan ingin memberontak.
Saya paham benar jenis jenis senjata, karena lima bulan setelah saya menikah, Mei 1963 saya dikirim ke Balikpapan mengikuti Latihan Kemiliteran Pegawai Sipil (LKPS). Salah satu materi latihannya tentang bongkar pasang senjata.
Waktu itu yang jadi obyek latihan kami adalah senjata senjata tercanggih milik TNI, di antaranya jeren dan bren. Ada juga yang jenis kuno, SP dan LE. Nah yang dipamerkan Kodim itu senjata organik milik tentara. Bukan milik keraton, saya berani mengatakan begini, karena tak ada sejengkal pun tempat di keraton yang tidak saya kenal. Soal senjata ini, waktu itu, kita kalah jauh dengan Malaysia. Dulu saya punya pesawat televisi tabung dan bisa nonton siaran Malaysia. Senjata mereka M16.
Setelah pecah gerakan 30 September PKI yang makar dan berhasil ditumpas terbukti, PKI berencana membantai para ulama, tokoh masyarakat hingga keluarga keraton. Bahkan mereka telah membuat lubang lengkap dengan nama nama calon korbannya.
Upaya tentara mendiskreditkan kesultanan Bulungan dengan, salah satunya, pameran senjata dan mengatakan senjata itu milik kesultanan, hingga kini tak pernah diralat. Harusnya setelah tahun 65 terungkap justru PKI yang memberontak, tentara minta maaf karena telah merusak keraton, membunuh keluarga sultan. Terutama TNI AL yang waktu itu memang secara terang terangan pendukung PKI. Memang operasi di bawah komando, pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), namun pihak angkatan laut yang proaktif merazia hingga ke dalam rumah rumah penduduk. Memang Panglima Sumitro sempat menyampaikan permohonan maaf secara lisan, akan tetapi menurut saya, pemerintah secara resmi harus merehabilitasi kesultanan. Penghargaan pemerintah dalam acara tradisi Birau saja belum cukup. Keluarga kesultanan masih sakit, bahkan menderita secara batin sampai saat ini. Rakyat Bulungan terluka dengan ulah tentara, ulah PKI. #
=================================================================================================
Siapa Brigjen Suharyo Padmodiwiryo?
Oleh: Muhammad Zee Zarkasyi
Ada sebuah pepatah yang pernah penulis kenal, “sejarah tidak selalu memihak pada subjeknya”, begitulah yang bisa kita gambarkan mengenai sosok kontroversi yang bernama Brigjen Suharyo Padmodiwiryo (Soeharyo) alias Hario Kecik ini.
Dalam sejarah modern Bulungan, khususnya periode 1960-an ke atas, mantan Pangdam IX Mulawarman ini memang sangat tenar khususnya dikalangan tua masyarakat Bulungan, apalagi kalau bukan mengenai “Insiden 1964”, sebuah peristiwa bersejarah yang pahit bagi masyarakat Bulungan, dalam peristiwa pahit tersebut Istana Kesultanan Bulungan dibakar dan tak kurang dari 50 orang bangsawan dan para cerdik pandai Bulungan diculik hingga kini tidak diketahui lagi di mana keberadaan mereka.
Para sesepuh di Bulungan bahkan tidak sedikit yang menuding bahwa Brigjen Suharyo Padmodiwiryo alias Haryo Kecik inilah sebagai dalang dalam peristiwa berdarah tersebut. Namanya tercatat dengan jelas dalam buku-buku mengenai sejarah Bulungan, sebagai sosok yang dapat dikatakan tidak mendapat simpati di hati sebagian masyarakat Bulungan kala itu, kalau memang tidak ingin dikatakan dibenci.
Terlepas dari hal tersebut, penulis mencoba untuk menggali sejarah mengenai sosok kontroversial ini, tidak mudah memang untuk melakukan hal itu apa lagi jika kurangnya bahan pustakanya. Syukurlah penulis mendapatkan beberapa buah buku memoir orang-orang yang cukup mengenal cukup dekat sepak terjang Brigjen Suharyo Padmodiwiryo, khususnya pada tahun 1960-an. Siapa Brigjen Suharyo Padmodiwiryo alias Harjo Kecik ini? itulah pertanyaan besar yang coba kita gali, setidaknya sebagai study awal.
Dalam memoarnya, mantan Pangdam IX Mulawarman, Brigjen Soemitro, pengganti Suharyo- menceritakan mengenai Suharyo yang ia kenal, Suharyo sering disapa oleh beliau dengan sebutan “Cik” atau “Kecik”, mereka berdua dizaman gerilya dulu memang saling kenal, seperti yang dipaparkan oleh Soemitro:
“Waktu zaman gerilya dulu, saya komandan batalion di Malang dan dia (Suharyo) komandan Korps Mahasisiwa. Saya tetap ingat, pada tahun 1958 saya ketemu dengan dia di Ford Benning (Infantry Cantre). Dia selesai sekolah Regular Officer Advance Course bersama Panggabean (Jendral), Brotosewoyo, Priatna, Kris Sudono dan Muskita. Saya baru masuk bersama Willy Sudjono, Iskandar Ranu. Suharyo tinggal karena ikut Airborne Course dan kakinya, kalau tidak salah, keseleo (verzwikt) dan di-gips”.
Hubungan keduanya nampaknya sempat agak tegang justru ketika Brigjen Soemitro ditugaskan Jendral Ahmad Yani untuk menggantikan Suharyo. Jendral Ahmad Yani nampaknya paham sepak terjang Suharyo di Kaltim, ia juga dianggap dekat dengan Presiden Soekarno yang saat itu menjabat sebagai Pangti (Panglima tertinggi) sekaligus Presiden. Mungkinkah Presiden Soekarno mengatahui sepak terjang Suharyo di Kaltim? apakah Soekarno mengetahui Istana Kesultanan Bulungan dibakar? Apakah Suharyo benar sebagai dalang utama atau justru hanya sebagai pelaksana di lapangan? Sejauh mana hubungan Suharyo dan Soekarno? Pertanyaan-pertanyaan ini tentunya perlu studi yang dalam untuk menjawab dan menemukan benang merahnya. Di luar dari itu, Brigjen Soemitro menceritakan mengenai sebab mengapa Suharyo oleh para petinggi di AD, nampaknya tidak begitu disenangi, Soemitro mengatakan:
“Saya mengerti mengapa pimpinan AD mau menarik Brigjen Suharyo. Memang sudah lama kami di Jakarta mendengar, bahwa Bahwa Brigjen Suharyo yang jadi Panglima di Kalimantan Timur itu terlalu dekat dengan PKI. Saya mendengar, bahwa setiap kali Haryo ke Jakarta, dia keluar masuk Istana tanpa diketahui seizin Jendral Yani. Ini artinya, dia sangat dekat dengan Bung Karno, Sekali ia pernah kepergok oleh Jendral (Ahmad) Yani di Istana”.
Banyak hal yang menarik diceritakan Brigjen Soemitro dalam memoarnya tersebut, antara lain suasana Kota Balikpapan menjelang kepergian Suharyo, saat itu sambutan organisasi onderbownya PKI terhadap dirinya sangat dingin, belum apa-apa saat baru menginjakkan kaki di bandara Sepinggan, ia sudah diteror dengan spanduk bertuliskan; “Selamat Jalan Bapak Brigadir Jendral Suharyo”, lalu dibelakangnya ada sepanduk “Selamat datang saudara Brigadir Jendral Soemitro”. Brigjen Soemitro jelas berang dibuatnya; Wah, kok ini ada “bapak” dan ada “saudara’! Waktu itu tersentak hati saya sejenak, tersinggung. Tapi saya diam saja sementara saya berfikir: “apa-apaan ini!” Massa sepertinya sudah dihasut untuk membedakan Suharyo dengan saya”.
Pada malam harinya, Kodam mengadakan acara perpisahan untuk Brigjen Suharyo dan memperkenalkan Brigjen Soemitro di gedung bioskop. Suharyo berpidato tidak kurang empat jam, telinga Brigjen Soemitro dibuat berdiri ketika Suharyo mengatakan “Sebenarnya saya masih senang di sini, masih mau lebih lama di sini. Tapi orang Jakarta tidak mengerti Revolusi”.
Jelas saja Soemitro dibuat tidak senang, apa lagi kemudian muncul istilah yang ditujukan kepada Brigjen Soemitro; “Jendral kanan yang nggak tahu Revolusi”. Hal ini sempat pula dipertanyakan Brigjen Soemitro pada Suharyo pada keesokan harinya, saat mereka bertemu di Sheel Guest House. Bagi Soemitro, Suharyolah yang berada di balik kejadian-kejadian teror poster tersebut, Suharyo sendiri tidak mengakui hal itu. Di situlah kekesalan Soemitro tidak bisa dibendung, seperti yang tertulis dalam memoarnya:
“Jangan Bohong,” kata saya. “Kamu di belakangnya. Kamu ngaku senang diganti oleh kawan sendiri. Kamu pidato empat jam. Enggak kurang lama kamu pidato di sana Berapa tahun kamu disini? Njeplak seenakmu sendiri! Urusan apa kamu sebut Jakarta tidak mengeri revolusi. Kamu masih tentara atau tidak? Saya tahu, Cik, Kamu pandai menembak. Tapi kamu tidak pernah perang, Cik, Kamu tidak pernah perang”.
Begitulah kekesalan Brigjen Soemitro tumpah sambil menuding Suharyo dengan telunjuknya. Namun karena mereka berkawan, masalahnya hari itu juga selesai.
Beberapa hari setelah kepergian Suharyo, Brigjen Soemitro kemudian “menggulung” PKI dan onderbownya, macam SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Gerwani, Pemuda Rakyat dan Perbum. Menariknya selain dari sipil diketahui beberapa oknum militer juga ditahan karena diketahui “dekat” dengan PKI.
Brigjen Soemitro sendiri menyayangkan sikap Suharyo yang dianggapnya berlebihan, seperti yang ia tulis: “Yang saya sayangkan adalah bekas-bekas Kesultanan Tenggarong dan Kutai sangat dirusak secara berlebih-lebihan oleh pendahulu saya. Sok Revolusioner!”.
Ya wajar saja Brigjen Soemitro menyayangkan hal itu, karena bagaimanapun hal itu akan menimbulkan trauma yang berkepanjangan bagi masyarakat. Jika Istana Kesultanan Kutai saja dirusak, walaupun begitu oleh Moeis Hassan sempat diselamatkan dengan cara disegel, bukan hal yang musthil, Istana Kesultanan Bulungan jauh di utara, jauh dari pemberitaan media, dirusak atas komando orang yang sama kala itu. Hanya Allah yang tahu.
Apakah Brigjen Suharyo punya kedekatan yang “mesra” dengan PKI? itu bukan hal yang mudah untuk dijawab, walaupun demikian, memoar Brigjen Soemitro memberikan gambaran bagaimana sikap PKI yang berbeda dengan Suharyo dan Soemitro. Brigjen Soemitro sendiri nampaknya kurang yakin kalau Suharyo dekat dengan PKI, ia tidak begitu percaya hal itu, seperti yang ia tulis sendiri:
“Sebenarnya, seingat saya, Haryo bukan terlalu dekat dengan PKI seperti yang diduga oleh banyak orang. Dia, saya kira, dulu-dulu dekat dengan PSI. Saya yakin dia bukan PKI. Bagaimana ia bisa dikatakan PKI! hidupnya di Ft. Benning mewah. Di samping punya used car saya dengar ia punya kendaraan baru”.
Apakah penyataan Brigjen Soemitro itu hanya sebagai bentuk ketidak percayaan karena Brigjen Suharyo dapat dikatakan berkehidupan mewah, karena memang saat itu PKI justru menjauhi hal-hal tersebut atau mungkin karena nalurinya sebagai kawan lama. Namun jangan pula kita lupakan informasi yang penting. Datuk Iskandar Zulkarnaen memberikan informasi dalam bukunya, saat terjadi insiden 1964 tersebut, Brigjen Suharyo memerintahkan seluruh harta benda di Istana Bulungan sebelum dibakar, dikeluarkan dan menjarahnya. Suharyo bahkan dikabarkan membutukan dua kapal, masing-masing KM Renteh dan KM Merah untuk membawa harta jarahannya ke Surabaya. (Datuk Iskandar Zulkarnaen:82:2008). Apakah ada benang merah kejadian penjarahan tersebut dengan kepemilikan barang mewah seperti yang disampaikan Brigjen Soemitro? tentunya perlu studi lebih dalam mengenai masalah tersebut, karena sampai hari inipun “National Treasure” dari Kesultanan Bulungan itu tidak ada kabarnya, seperti hilang ditelan bumi.
Lain Brigjen Soemitro, lain pula Moeis Hassan. Dalam memoarnya, ia tidak ingin terlalu berseberangan dengan Suharyo, Gubernur Moeis Hassan kala itu hanya menyinggung hal-hal yang “positif” saja. Sebagian masyarakat menilai Brigjen Suharyo terlalu banyak mencampuri urusan pemerintahan daerah khususnya semasa berlakunya SOB (Staat van Oorlog en Beleg). Di mata Moeis Hassan, Suharyo digambarkan orang yang periang, suka goyon tapi bisa keras dalam tindakan. Ia kadang terlalu cepat mengambil keputusan tanpa menyadari bahwa tindakannya akan merugikan orang lain. Dia tidak segan-segan menggunakan tangannya, bila perlu. (Moeis Hassan: 166: 1994).
Nasib Brigjen Suharyo sendiri, digambarkan tidak begitu beruntung, khususnya setelah Pak Harto menjadi President. Saat ia melangsungkan College War di Moskow Rusia, Indonesia telah berganti kepemimpinan. Brigjen Suharyo memilih untuk tidak pulang ke indonesia, barulah tahun 1977 ia pulang ke Indonesia dan sempat di tahan. Setelah reformasi nama Suharyo muncul lagi ke publik, sebagai penulis novel produktif, diantaranya, Si Pemburu, Badak Terakhir dan Lesti. #
Sumber pustaka:
Ramadhan K. H. 1994. “Soemitro; Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib”. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Hassan, H. A. Moeis, 1994. “Ikut Mengukir Sejarah”. Jakarta: Yayasan Bina Ruhui Rahayu.
Ali Amin Bilfaqih, H. Said. 2006. “Sekilas Sejarah Kesultanan Bulungan dari Masa ke Masa”. Tarakan : CV. Eka Jaya Mandiri.
Dali, H Yusuf. 1995. “Pesona Dan Tantangan Bulungan”. Jakarta : LKBN Antara.
Iskandar Zulkarnaen, Datuk. 2008. “Hikayat Datoe Lancang dan Putri Kayan”. Cet-1. Samarinda : Pustaka Spirit.
Http: // Mas-Sugeng.blogspot.com
Http://isandri.blogspot.com
Http://anusapati.blogdetik.com
Menolak Disebut Makar
Dukungan Kesultanan Bulungan terhadap NKRI dan obligasi yang diserahkan ke pemerintah pusat membuktikan rasa kebangsaan kerabat keraton, tapi air susu dibalas air tuba.
Tidak cukup alasan bagi pemerintah pusat untuk menuding kesultanan Bulungan memberontak dan memisahkan diri dari NKRI. “Keluarga keraton mendukung NKRI, bahkan menyerahkan surat obligasi, ngutangi pemerintah pusat yang sedang kekurangan dana mempertahankan kemerdekaan. Kami urunan hingga lima miliar rupiah ditanggung renteng oleh kesultanan nusantara, termasuk Ternate dan Aceh. Sampai sekarang belum dibayar, koq kami dibilang makar,” kata salah seorang keturunan kerabat Keraton Bulungan, Datu Muhammad Abduh.
Memang ada pengakuan lisan dari Jenderal Soemitro yang menggantikan Panglima Kodam IX Mulawarman tentang predikat memberontak, akan tetapi kata Muhammad Abduh itu belum cukup. “Itu, kan pengakuan lisan panglima yang tak dapat dijadikan acuan hukum dan terbukti hingga sekarang tak ada pengakuan resmi dari pemerintah pusat, bahwa tragedi 64 itu pelanggaran HAM oleh tentara,” katanya.
Di era keterbukaan dan reformasi seperti sekarang, harusnya pemerintah pusat berani mengakui dan secara resmi merehabilitasi nama baik Kesultanan Bulungan. Kata Abduh, tragedi Juli 1964 di Bulungan meninggalkan bekas hingga sekarang. Alasan subversif yang dituduhkan terhadap bangsawan keraton tak pernah disidangkan. Pembantaian dan pembakaran keraton itu menandakan kesewenangan pemerintah pusat dengan latar belakang yang tak jelas.
“Harusnya, Jumat berdarah itu dibuka kembali, dijelaskan kepada publik. Jika perlu dilakukan penelusuran fakta. Jika terjadi pelanggaran HAM yang diakui,” kata Datu Muhammad Abduh, ketika berbincang di Balikpapan.
Menurut Abduh memulihkan kembali Kerajaan Bulungan atau mengembalikan kedaulatan Kesultanan Bulungan merupakan upaya yang nyaris tak mungkin, karena sistim pemerintahan kita sudah berubah. “Setidaknya ada upaya-upaya pemerintah pusat untuk memperbaiki hubungan dengan Bulungan, setidaknya melakukan restorasi keraton dan menetapkan sebagai situs dan cagar budaya,” katanya.
Rakyat Bulungan, masyarakat pemaaf sepanjang dijelaskan dengan niat tulus kapan terjadinya, siapa pelakunya, dan mengapa Kesultanan Bulungan dibakar dalam versi pemerintah, rakyat Bulungan dengan lapang dada akan menerima maaf.
Selama ini cerita yang beredar di tengah masyarakat, pembakaran dilakukan oleh Satuan Tentara dari Brawijaya di bawah koordinator Letnan B. Simatupang dengan memobilisasi penduduk setempat. Bagi penduduk yang tidak turut serta membakar istana dianggap pengikut Raja Muda, dan mereka ditangkap. Raja Muda dituduh sebagai pemberontak sebagaimana tersirat dalam pidato Mayor Suminta Husain (Komandan KODIM 0903 Bulungan di Tanjung Selor pada waktu itu. Para Bangsawan Bulungan memberontak terhadap Pemerintah RI yang sah. “Dalam tragedi itu 37 orang hilang dan dinyatakan tewas, 80-an lainnya dipejarakan tanpa melalui proses persidangan. Kami hanya meminta agar pemerintah menjelaskan kronologis dan merestorasi eks Kesultanan Bulungan sebagai museum cagar budaya,” tegas Abduh. #
Kami Masih Marah
Saksi hidup Kerajaan Bulungan itu sendiri yang saat ini masih ada, sebut saja salah satunya adalah Andi Zam Pattalolo. “Kalau merunut sejarah Bulungan yang tersisa buat kami adalah rasa marah atas perlakuan sewenang-wenang pemerintah pusat,” kata Ketua Kadin Bulungan ini.
Betapa tidak, katanya. Saat penyatuan RI pasca kemerdekaan, Kerajaan Bulungan dengan suka rela mendukung NKRI, akan tetapi akibat keserakahan pemerintah pusat, Bulungan dicaplok dan dihilangkan hak haknya sebagai negara berdaulat. ”Keraton dibakar, bangsawan Bulungan dituduh makar, dieksekusi tanpa lewat proses persidangan,” katanya, ketika berbincang dengan Muhammad Idris, beberapa waktu lalu di Samarinda.
Akibat potensi minyak yang ada di Bulungan yang waktu itu belum dipecah pecah, pemerintah pusat serakah dan merancang sebab untuk dapat menguasai Bulungan yang kaya minyak di Pulau Bunyu dan Tarakan.
Andi Zam dan segenap kerabat keraton, jika sekarang memperbincangkan nasib Bulungan yang tertinggal dalam banyak hal, maka disebut “gila”. Apalagi oleh orang orang baru yang tak mengerti pahit getirnya sejarah Bulungan. “Setelah Bulungan dipecah menjadi beberapa kabupaten dan Kota Tarakan, daerah ini tertinggal”.
Saat ini, Kabupaten Bulungan dengan 13 kecamatan dan jumlah penduduk sekitar 200 ribuan jiwa berada di urutan ke 9 dalam hal kemiskinan. “Masih 27 persen masyarakat penyandang predikat miskin. Padahal di masa lalu Bulungan gemah ripah loh jinawi, makmur dengan potensi Migasnya. ”Itu sebabnya, kawasan minyak di Bulungan jadi perhatian besar Belanda, setelah Balikpapan dan Kutai Kartanegara. Saat ini, Bulungan miskin dan terkebelakang,” kata Andi Zam.
Andi Zam dan kerabat keraton menduga sejumlah kekayaan Bulungan yang tersimpan di berbagai bank luar negeri yang berasal dari royalti minyak masih sangat besar dan tak dapat diambil akibat politik tingkat tinggi yang tidak tersentuh oleh pemerintah Indonesia.
“Banyak memang, keinginan untuk menuntut ke pemerintah pusat agar kami diperhatikan. Tidak perlu otonomi khusus atau merdeka dan menjadi negara ferderal. Cukup, lah kami diperhatikan diberi porsi yang agak besar agar kami bisa membangun Bulungan,” katanya.
Seluruh potensi dan aset kerajaan Bulungan waktu itu diserahkan kepada pemerintah RI dengan imbalan daerah istimewa. “Imbalannya, sultan merangkap sebagai bupati, lima tahun setelah proklamasi atau pada 17 Agustus 1949 dampak dari Konfrensi Meja Bundar,” kata Andi Zam.
Namun belakangan, status Daerah Istimewa Bulungan dicabut hingga sekarang dan hak hak Bulungan untuk mengelola sumberdaya alam diambil alih pemerintah pusat.”Celakanya lagi kami ditinggalkan dalam keadaan miskin. Apa salah kalau rakyat Bulungan, saat ini merasa sakit hati kepada pemerintah RI,” kata keponakan bupati pertama Bulungan Andi Caco ini.
Andi Zam mengatakan kalau Bulungan ingin mengembalikan kedaulatannya sebagai negara dan atau meminta otonomi khusus mengalami kesulitan karena pewaris yang sah atas dinasti Bulungan merupakan warga negara asing. ”Beliau tinggal dan jadi warga negara Malaysia. Ini yang jadi dalih pemerintah RI mengapa tuntutan perbaikan kesejahteraan Bulungan versi kesultanan ditolak. Padahal beliau ke Malaysia, karena di Indonesia saudara-saudaranya dibunuh,” katanya.#
=================================================================================================
Harus Diungkap
Presiden SBY diharapkan tampil ke depan merehabilitasi nama baik Kesultanan Bulungan yang pernah dibantai antek PKI lewat tangan TNI.
___________
Tragedi berdarah di Kesultanan Bulungan, 23-24 Juli 1964 silam, ternyata hingga kini masih menyisakan kenangan pahit bagi para keluarga korban. Penjarahan dan pembakaran keraton hingga pembunuhan itu, harus diungkap ke publik. Salah satu tokoh Masyarakat Bulungan Datu’ Kuning yang ditemui media ini Jumat (29/7) lalu, mengakui tragedi berdarah tersebut benar terjadi sehingga mengakibatkan puluhan orang dibunuh dan puluhan orang lainnya hilang akibat ulah dari antek-antek Partai Komunis Indonesia (PKI) di bawah pimpinan Panglima Kodam Mulawarman yang waktu itu dijabat oleh Brigjen TNI Soeharyo.
“Tragedi saat itu sangat memilukan, jika saat itu masyarakat serta kerabat dan keluarga kesultanan Bulungan dituding telah melakukan perbuatan makar atau memberontak, mengapa saat itu tidak melalui proses pengadilan sehingga puluhan kerabat keraton diculik dan dibunuh dibuang ke laut di perairan Tarakan,” jelas Datu Kuning.
Datu Kuning yang menjadi saksi hidup menceritakan, saat itu eksekusi dilakukan oleh Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dengan cara menangkap siapa saja dianggap dekat dengan keluarga keraton. Bahkan kemudian harta benda bersejarah milik keraton dijarah.
“Motif penangkapan waktu itu, katanya, Kesultanan Bulungan dianggap menganut feodalis namun benar atau tidaknya tudingan seperti itu yang jelas perlakukan eksekusi waktu itu sudah melanggar HAM, “ tambah Datu Kuning yang kehilangan ayah kandungnya Datu Reni dan kakeknya yang diculik dan dibunuh.
Sejak pemerintahan Soekarno, Soeharto dan pemerintahan yang sekarang, menurut Datu Kuning belum ada yang beritikad baik merehabilitasi nama keluarga keraton. “Kami berharap SBY bisa melakukan itu dan mengembalikan nama baik kami, para keluarga korban,” katanya, seraya menambahkan pihak keluarga keraton hingga kini tidak mengetahui, kemana akan meminta keadilan atas tragedi itu.
“Secara tegas saya katakan kami dari pihak keluarga mendukung jika ada langkah-langkah yang ingin dilakukan untuk mengungkap dan mengangkat kembali tragedi tersebut ke permukaan guna mencari kebenarannya dan kami siap untuk menjadi saksi atas tragedi berdarah tersebut. Apalagi ini saksi hidup masih ada,” tegas Datu Kuning. #
==================================================================================================
Datu Hamid, Tolak Federal
Satu lagi yang membuktikan Kesultanan Bulungan tak pernah makar. Datu Hamid, Pemangku Adat Kesultanan menolak negara federal dan lebih mendukung upaya mensejahterakan masyarakat lewat pemekaran propinsi Kalimantan Timur.
___________________
Keluarga Kesultanan Bulungan memilih mendukung pembentukan Kaltara, ketimbang menuntut kedaulatan Negara Federal.”Kami sebenarnya meminta otonomi khusus, karena hal itu setara dengan pemburukan citra yang dilakukan oleh tentara di tahun 60-an,” kata Datu Hamid, salah seorang keturunan Kesultanan Bulungan, kepada Victor Ratu beberapa waktu lalu.
Rencana pemekaran di wilayah Utara Kalimantan Timur menjadi sebuah provinsi baru yakni Kaltara terus mendapat dukungan dari masyarakat di Utara Kaltim termasuk pihak Kesultanan Bulungan sebab hanya melalui pemekaran wilayah di utara menjadi sebuah provinsi baru maka pembangunan di utara Kaltim bisa di laksanakan secara merata.
Datu’ Abdul Hamid kerabat Kesultanan Bulungan ketika berbincang dengan Bmagazine di Museum Kesultanan Bulungan di Tanjung Palas beberapa waktu lalu menuturkan bahwa Kabupaten Bulungan sebelum dimekarkan menjadi 3 Kabupaten yakni Nunukan, Malinau, Tana Tidung dan satu Kotamadya yakni Kota Tarakan awalnya Kabupaten Bulungan lebih maju dari daerah tersebut namun setelah dimekarkan menjadi tiga kabupaten dan satu kota, kini kondisi Bulungan jauh tertinggal di banding daerah yang telah dimekarkan tersebut.
Sebelumnya Kesultanan Bulungan ini memiliki nilai historis terutama dalam mendukung perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia dengan mengutus menteri pertamanya yakni Datu Bendahara Paduka Raja ke berbagai pertemuan dalam memperjuangkan kepentingan RI di antaranya Jogyakarta, Malino di Makassar dan Bali memperjuangkan kemerdekaan.
Pertama kalinya Sultan Maulana Djalaluddin mengibarkan bendera merah putih pada 17 Agustus 1949. Sayangnya penyatuan sukarela ini dikhianati oleh pemerintah dengan membumi hanguskan kesultanan dan membunuh sejumlah kerabat keraton tanpa sebab yang jelas.
Menurut Datu Hamid di tahun 1950 melalui surat Keputusan Gubernur Kalimantan No.186/ORB/92/14/1950 status kedudukan Kesultanan Bulungan ditetapkan menjadi wilayah Swapraja yang kemudian surat keputusan tersebut di sahkan menjadi UU darurat RI No.3/1953,setelah itu berdasarkan UU No.22 tahun 1955 status wilayah Kesultanan Bulungan di rubah menjadi daerah Istimewa dan Sultan Maulana Djalaluddin menjadi kepala daerah Bulungan yang pertama hingga tahun 1958.
“Setelah itu di tahun 1959 status Daerah Istimewa diubah menjadi daerah tingkat II Kabupaten Bulungan dengan Bupati pertama sebagai kepala daerah waktu itu di jabat oleh Andi Tjatjo Datuk Wiharja,adik ipar Sultan Maulana Djalaluddin yang kemudian pusat pemerintahan dipindahkan dari Tanjung Palas ke Tanjung Selor,” ungkap Datu’ Abdul Jalil.
Datu’ Abdul Hamid menegaskan dari perjalanan sejarah pemerintahan Kesultanan yang kemudian berubah menjadi sistem pemerintahan daerah kabupaten Bulungan sudah sepantasnya lah pemekaran wilayah di utara ini dimekarkan menjadi daerah otonom provinsi Kaltara.
“Menyangkut wacana status daerah otonomi khusus, langkah tersebut justru lebih baik lagi namun pihak Kesultanan lebih terfokus terlebih dahulu dengan wacana pembentukan Provinsi Kaltara sedangkan mengenai Negara Federal sejak dulu pihak kesultanan tidak menyetujui sebab sejarah menunjukkan bahwa pada waktu itu pihak Kesultanan Bulungan telah berjuang untuk bergabung dalam NKRI dan menolak rencana Belanda mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat,” tegas Datu Abdul Hamid. #
Transisi Pemerintahan Bulungan
Perubahan sistim pemerintahan dari monarki ke republik parlementer di Bulungan mengubah sistim budaya pemerintahan, namun karisma keraton tak menurun, Sultan Bulungan tetap jadi panutan rakyatnya.
Periode tahun 1949 ke 1964 merupakan masa transisi yang sulit bagi kesultanan Bulungan, kendati demikian, keraton sangat terbuka dan konsisten pasca penggabungan dengan pemerintah RI. “Ekses sosial yang muncul adalah munculnya kecemburuan sosial yang dipicu oleh kaum proletar komunis,” kata Abdul Jalil Fatah, tokoh Bulungan yang juga anggota DPRD Kaltim ini. Mungkin ini yang mendorong sebagian rakyat Bulungan, ketika dimobilisasi oleh tentara bersedia ikut membumihanguskan keraton Kesultanan Bulungan.
Padahal sikap terbuka dan kecintaan keluarga sultan kepada rakyatnya dibuktikan dengan menentang pemerintah kolonial lewat sistim pendidikan. “Untuk menyaingi agitasi Belanda lewat pendidikan, sultan membuka pesantren yang menerapkan pendidikan Islami lewat Pesantren Al-Chairat, jauh sebelum bergabungnya Bulungan dengan pemerintah RI,” tambah Jalil.
Tatakrama kesultanan tetap berlangsung, kendati waktu itu, Bulungan sudah menyatukan diri dengan pemerintah RI dan etika ketatanegaraan sudah berubah ke pemerintahan republik parlementer. Hingga pecah tragedi Juli 1964, belum ditemukan catatan, keluarga kesultanan berpolitik praktis.”Setahu saya keluarga kesultanan tidak ada yang terlibat partai politik,”
Hingga priode 60-an itu rakyat Bulungan masih menganggap sistim pemerintahan keraton.”Memang aktifitas Parpol tidak seterbuka sekarang, tapi hal itu tidak mengurangi iklim demokratis di Bulungan,” katanya.
Kendati kehidupan sosial, ekonomi dan religi, Bulungan merupakan mayoritas Islam, sultan sangat terbuka. Ini terbukti dengan tumbuh suburnya partai berhaluan nasionalis. “Bahkan Partai Persatuan Anak Daerah, Persada dan PKI tumbuh,” katanya. #
==
Jejak Jejak Dukungan Bulungan
Penyerahan Jepang atas Sekutu, berdampak pada kemerdekaan RI yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Namun di daerah daerah, utamanya di Kalimantan Timur Jepang masih bertahan terhadap gempuran sekutu bahkan masih menguasai kawasan pesisir. Baru pada akhir tahun, pembesar sipil dan militer Jepang di Tanjung Selor mengadakan pesta perpisahan dengan keluarga keraton.
Pembesar Keraton Bulungan yang nampak hadir saat itu Menteri Pertama Keradjaan Bulungan jakni Datu Muhammad Gelar Datu Bendahara Paduka Radja, mewakili Sultan yang berhalangan hadir. Pidato mengharukan, adalah pernyataan komandan tentara Jepang yang pamit dan meminta bantuan bahan pangan kepada sultan untuk bekal melanjutkan perjalanan hingga ke hulu Bulungan dan ke Samarinda.
Kepergian tentara Jepang tidak serta merta membuat raja Bulungan lega. Datu Bendahara Paduka Radja yang melaporkan ke sultan soal pesta perpisahan itu menerima penugasan baru untuk segera menyusun kekuatan untuk menghadapi kemungkinan Belanda masuk kembali di tanah air.
Ternyata benar, tahun 1946 Belanda, NICA berniat mencengkeram kembali Kalimantan Timur, di antaranya Bulungan yang memiliki aset dan sumur minyak di Pulau Bunyu dan Tarakan.
Meskipun demikian hasrat merdeka dan ingin bergabung dengan pemerintah Republik Indonesia yang waktu itu dipindah sementarakan di Yogyakarta, tetap menyala, sehingga dalam setiap konfrensi Kesultanan Bulungan selalu menyuarakan Indonesia Merdeka dan bergabung dengan pemerintah RI yang sah.
Untuk mewujudkan keinginan bergabung dengan pemerintah RI, sultan mengutus Datu Bendahara Paduka Radja dan seorang penasehat kerajaan Bulungan, Dr Senduk ke konferensi Denpasar dan harus menembus blokade Belanda untuk sampai ke Yogyakarta, menyerahkan mandat Kesultanan Bulungan dan Berau. Menurut keterangan, saat itu, mandat diterima langsung oleh Perdana Menteri, Sutan Sjahrir.
Belanda yang mengetahui, Bulungan bergabung dengan RI, segera mengirimkan utusan dan menyusun siasat, yakni mengangkat sultan sebagai kolonel tituler yang akan segera dilantik langsung oleh ratu Belanda. Sultan atas saran Datu Bendahara, menerima tawaran kolonel tituler kerajaan Belanda agar jalur transportasi dari dan pusat pemerintahan di tanah Jawa tidak diblokir Balanda.
Hingga pada pertengahan 1949, perjuangan kemerdekaan oleh rakyat Bulungan sampai puncaknya.
Pada tanggal 16 Agustus jam sembilan malam, sultan dan Datu Bendahara memeriksa sendiri persiapan upacara HUT proklamasi kelima. Bahkan seluruh pasukan kesultanan diperintahkan menjaga tiang bendera hingga pelaksanaan upacara keesokan harinya. Perintahnya tegas. Jangan sampai disabotase oleh Nica.
Keesokan harinya, 17 Agustus 1949 seluruh rakyat Bulungan, orang tua, anak anak laki perempuan memenuhi halaman istana, termasuk Nica yang lengkap dengan seragam KNIL-nya yang sengaja diundang untuk menyaksikan peringatan HUT Kemerdekaan sekaligus menyatakan penggabungan Bulungan dengan pemerintah RI.
Nica sempat risau, karena hingga tiga hari bendera RI terus berkibar dan memerintahkan agar segera diturunkan, karena peringatan HUT proklamasi telah selesai. Sultan dan Datu Bendahara bahkan berkeras dengan perintah yang mencengangkan pihak Belanda. Sang Saka Merah Putih harus berkibar siang dan malam. #
Sumber:
Tulisan Datuk Abd. Samad gelar Datuk Bestari, Datuk Muhammad gelar Datuk Bendahara Paduka Radja Menteri ke I (De Eerste Landsgroote van Bulungan) dari Kerajaan Bulungan dan Tidung. Dalam “Sejarah Masuknya Islam di Kabupaten Bulungan”, oleh H.E. Mohd. Hassan, ddk. Tanjung Selor 26 November 1981.
Petrik Matanasi (2007), KNIL; Bom Waktu Tinggalan Belanda, Jakarta, PT. Buku Kita.
//////////////
Kerajaan yang Hidup oleh Mitos
Tidak dapat membaca dan menulis ternyata salah satu penyebab hilangnya peradaban. Kesultanan Bulungan runtuh dan tidak tercatat dalam sejarah, kecuali dongeng dan mitos yang dibangun oleh penjajah.
___________
Kesultanan Bulungan atau Bulongan adalah kesultanan yang pernah menguasai wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Malinau, Nunukan dan Kota Tarakan sekarang. Kesultanan ini berdiri pada 1731 dengan raja pertama Wira Amir bergelar Amiril Mukminin. Wira memerintah selama 46 tahun sejak berdiri. Raja terakhirnya atau raka ke 13 adalah Datu Tiras dan bergelar Sultan Maulana Muhammad Jalaludin yang memerintah dari tahun 1931 hingga 1958.
Berdirinya Kerajaan Bulungan tidak dapat dipisahkan dengan mitos ataupun legenda yang hidup secara turun-temurun dalam masyarakat. Legenda bersifat lisan dan merupakan cerita rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang benar-benar terjadi. Walau mitos ini dibangun berdasarkan persepsi Belanda, namun diyakini sebagai epik sejarah dan hingga kini dijadikan acuan ketika berbicara soal sejarah kesultanan yang sempat bergolak di tahun 1964 itu.
Bulungan, berasal dari perkataan Bulu Tengon yang artinya bambu betulan. Karena adanya perubahan dialek bahasa Melayu maka berubah menjadi Bulungan. Dari sbatang bambu itulah terlahir seorang calon pemimpin yang diberi nama Jauwiru. Dan dalam perjalanan sejarah keturunan, lahirlah kesultanan Bulungan. Setelah Kuwanyi wafat maka Jauwiru menggantikan kedudukan sebagai ketua suku bangsa Dayak (Hupan). Kemudian Jauwiru mempunyai seorang putera bernama Paran Anyi.
Paran Anyi tidak mempunyai seorang putera, tetapi mempunyai seorang puteri yang bernama Lahai Bara yang kemudian kawin dengan seorang laki-laki bernama Wan Paren, yang menggantikan kedudukannya.
Dari perkawinan Lahai Bara dan Wan Paren lahir seorang putera bernama Si Barau dan seorang puteri bernama Simun Luwan. Pada masa akhir hidupnya, Lahai Bara mengamanatkan kepada anak-anaknya supaya Lungun atau peti matinya diletakkan di sebelah hilir Sungai Kipah. Lahai Bara mewariskan tiga macam benda pusaka, yaitu ani-ani (kerkapan). Kedabang, sejenis tutup kepala dan sebuah dayung (bersairuk). Tiga jenis barang warisan ini menimbulkan perselisihan antara Si Barau dan saudaranya, Simun Luwan. Akhirnya Simun Luwan berhasil mengambil dayung dan pergi membawa serta peti mati Lahai Bara.
Karena kesaktian yang dimiliki oleh Simun Luwan, hanya dengan menggoreskan ujung dayung pada sebuah tanjung dari Sungai Payang, maka tanjung itu terputus dan hanyut ke hilir sampai ke tepi Sungai Kayan, yang sekarang terletak di Kampung Long Pelban.
Di Hulu kampung Long Pelban inilah peti mati Lahai Bara dikuburkan. Menurut kepercayaan seluruh keturunan Lahai Bara, terutama keturunan raja-raja Bulungan, dahulu tidak ada seorangpun yang berani melintasi kuburan Lahai Bara ini, karena takut kutukan Si Barau ketika bertengkar dengan Simun Luwan.
Bahwa siapa saja dari keturunan Lahai Bara bila melewati peti matinya niscaya tidak akan selamat. Tanjung hanyut itu sampai sekarang oleh suku-suku bangsa Dayak Kayan dinamakan Busang Mayun, artinya Pulau Hanyut.
Kepergian Simun Luwan disebabkan oleh perselisihan dengan saudaranya sendiri, saat itu merupakan permulaan perpindahan suku-suku bangsa Kayan, meninggalkan tempat asal nenek moyang mereka di Sungai Payang menuju Sungai Kayan, dan menetap tidak jauh dari Tanjung Selor Suku bangsa Kayan hingga sekarang masih terdapat di beberapa perkampungan di sepanjang Sungai Kayan, di hulu Tanjung Selor, di Kampung Long Mara, Antutan dan Pimping. Simun Luwan mempunyai suami bernama Sadang, dan dari perkawinan mereka lahir seorang anak perempuan bernama Asung Luwan. Asung Luwan kawin dengan seorang bangsawan dari Brunai Darussalam bernama Datuk Mencang.
Sejak pemerintahan Datuk Mencang inilah timbulnuya Kerajaan Bulungan. Datuk Mencang adalah salah seorang putera Raja Brunei di Kalimantan Utara yang telah mempunyai bentuk pemerintahan teratur.
Datuk Mencang berlabuh di muara Sungai Kayan Karena kehabisan persediaan air minum. Dengan sebuah perahu kecil Datuk Mencang dan Datuk Tantalani menyusuri Sungai Kayan mencari air tawar, tetapi suku bangsa Kayan sudah siap menghadang kedatangan mereka. Mujur pihak Datuk Mencang dan Datuk Tantalani cukup bijaksana dapat mengatasi keadaan dan berhasil mengadakan perdamaian dengan penduduk asli Sungai Kayan. Dari hasil perdamaian ini akhirnya Datuk Mencang kawin dengan Asung Luwan, salah seorang puteri keturunan Jauwiru.
Menurut legenda, lamaran Datuk Mencang atas Asung Luwan ditolak, kecuali Pangeran dari Brunei itu sanggup mempersembahkan mas kawin berupa kepala Sumbang Lawing, pembunuh Sadang, kakaknya. Melalui perjuangan, ketangkasan dan kecerdasan, akhirnya Datuk Mencang dapat mengalahkan Sumbang Lawing. Perang tanding dilakukan dengan uji ketangkasan membelah jeruk yang bergerak dengan senjata. Datuk Mencang lebih unggul dan memenangkan uji ketangkasan tersebut.
Setelah Asung Luwan menikah dengan datuk Mencang 1555-1594 berakhirlah masa pemerintahan di daerah Bulungan yang dipimpin oleh Kepala Adat, karena sejak Datuk Mencang memimpin daerah Bulungan, pemimpinnya disebut sebagai Kesatria atau Wira.
Periode berikut, perjalanan sejarah Bulungan adalah ketika Belanda menaklukkan Berau pada tahun 1834 dan Bulungan di bawah kedaulatan Belanda terhadap Kutai pada tahun 1848, dan penandatanganan kontrak politik dengan Sultan Bulungan pada tahun 1850. Disebut sebut salah satu persyaratan yang disetujui kesultanan adalah Belanda bersedia memerangi pembajakan dan perdagangan budak.
Sampai tahun 1850, Bulungan di bawah Kesultanan Sulu. Selama periode ini, kapal Sulu pergi ke Tarakan dan kemudian di Bulungan untuk perdagangan langsung dengan Tidung. Pengaruh ini berakhir pada 1878 dengan penandatanganan perjanjian antara Inggris dan Spanyol yang dirancang untuk Sulu.
Pada 1881, Perusahaan Kalimantan Utara Chartered dibentuk, yang merupakan Borneo utara di bawah yurisdiksi Inggris, tetapi Belanda mulai menolak. Kesultanan itu akhirnya dimasukkan dalam kerajaan Hindia Belanda pada tahun 1880an. Belanda menginstal sebuah pos pemerintah di Tanjung Selor pada tahun 1893 Pada tahun 1900-an, seperti banyak negara-negara kerajaan lain di kepulauan ini, Sultan terpaksa menandatangani Korte verklaring, pernyataan singkat oleh yang menjual sebagian besar kekuasaannya atas tanah hulu.
Penemuan minyak di BPM (Bataafse Petroleum Maatschappij) di Pulau Bunyu dan Tarakan akan memberikan sangat penting bagi Bulungan untuk orang Belanda, karena Tarakan ibukota daerah.
Setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan Belanda, wilayah menerima status Wilayah Swapraja Bulungan atau "wilayah otonom" di Republik Indonesia pada tahun 1950, maka Wilayah Istimewa atau wilayah khusus pada tahun 1955. Sultan terakhir, Jalaluddin, meninggal pada tahun 1958. kesultanan itu dihapuskan pada tahun 1959 dan wilayah itu menjadi kabupaten yang sederhana dBuku Sekilas Sejarah Kesultanan Bulungan: Dari Masa ke Masa ditulis oleh HS Ali Amin Bilfaqih, S.Ip menyebutkan akhir mengenaskan dari Kesultanan Bulungan pada tahun 1964.
Sultan Muhammad Djalaluddin pernah diberi anugerah gelar Letnan Kolonel Tituler oleh Ratu Wilhelmina dari Negeri Belanda. Meskipun tidak diceritakan bagaimana reaksi Sultan ketika menerima gelar, apakah senang, bangga, menerima atau menolak namun selanjutnya dilaksanakan pesta Birau pertama selama 40 hari 40 malam.
Dijelaskan bahwa Sultan tidak mau hadir dalam undangan pada setiap pertemuan yang diadakan oleh Ratu Wilhelmina. Sultan bahkan dalam menghadiri setiap pertemuan mengutus Menteri Pertama Datu Bendahara Paduka Raja untuk kepentingan Pemerintah Republik Indonesia baik di Jakarta maupun di Yogyakarta. Keberadaan Sultan dalam Konferensi Meja Bundar di Malino menunjukkan sikap Sultan yang peduli dan mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bukti dukungan yang nyata lainnya Kesultanan Bulungan adalah seperti tampak pada gambar foto Bendera Merah Putih dikibarkan Untuk pertama kalinya di depan istana dalam upacara resmi pada tanggal 17 Agustus 1949 pukul 07.00 dipimpin langsung oleh Sultan, sedang bertindak sebagai pengerek bendera pada saat itu adalah PJ. Pelupessi Asisten Wedana Tanjung Palas.
Ini terjadi sebelum peristiwa pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat oleh Pemerintah Kerajaan Belanda (tanggal 27 Desember 1949). Hingga akhir hayat Sultan (wafat tanggal 21 Desember 1958), Bulungan masih merupakan daerah istimewa namun pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, wilayah Daerah Istimewa Bulungan memasuki babak baru karena status Daerah Istimewa diganti menjadi Kabupaten berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 tahun 1959 dengan pimpinan wilayah disebut Bupati. Bupati pertama adalah Andi Tjatjo gelar Datu Wihardja yang merupakan adik ipar Sultan Muhammad Djalaluddin. (diolah dari berbagai sumber). #
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar