Senin, 26 Maret 2012

Sarung Samarinda, Simpul Perekat Budaya Yang Terancam

Samarinda - Siapa tak kenal kain Sarung Samarinda atau "Tajong Samarinda". Populeritas kain bermotif indah dan sangat nyaman dikenakan karena kelembutannya itu bahkan sampai ke negeri jiran, khususnya Brunei Darussalam, Malaysia dan negara-negara di Timur Tengah.

Di balik keindahan mahakarya budaya itu, Tajong Samarinda menjadi terkenal karena juga menjadi simpul pengikat "kebhinekaan" atau keanekaragaman budaya pendatang dengan budaya lokal, terkait fakta sejarah, serta cermin keteguhan generasi untuk melestarikan budaya daerahnya.

Padahal para perajin Tajong Samarinda menghadapi tantangan zaman tidak ringan, sebut saja persaingan dagang (menjamurnya industri tekstil yang mampu memproduksi barang berkualitas serta volume besar), kurangnya minat generasi muda menjadi penenun, dan persoalan keterbatasan modal usaha.

Tantangan terberat adalah keberadaan Sarung Samarinda secara formal belum diakui atau belum dipatenkan sesuai UU No. 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten.

Padahal, nasib Tajong Samarinda kembali membaik dengan ditetapkan lokasi di Gang Karya Muharam, Kelurahan Masjid dan Baqa, Kecamatan Samarinda Seberang, Kaltim dijadikan salah satu tujuan wisata nasional.

Sentra para penenun itu dijadikan salah satu tempat tujuan wisata nasional sebagai implikasi dari hasil penandatanganan nota kesepakatan bersama (MoU) tentang "Pencanangan Kampung Perajin" antara Hj Okke Hatta Rajasa sebagai Ketua Harian Dekranas dengan Hj Puji Setyowati, Ketua Dekranasda Kota Samarinda Samarinda.

Okke dalam sambutannya memaparkan bahwa salah satu implikasi dengan ditetapkan Samarinda Seberang sebagai Kampung Perajin maka daerah itu masuk dalam tujuan wisata nasional.

"Maka dengan dicanangkan Samarinda Seberang sebagai percontohan kKmpung Perajin maka Samarinda akan menjadi tujuan wisata nasional. Mereka akan berwisata dengan melihat langsung proses pembuatan tenun Sarung Samarinda, sambil membeli sarungnya sebagai buah tangan dan juga sekalian berwisata di sungai Mahakam," ujar isteri Menteri Perekonomian itu.

Harapan lain, setelah menjadi tujuan wisata nasional maka Kampung Perajin di Samarinda itu akan kian terkenal di mancanegara.

Okke optimistis hal itu bisa terealisasi pasalnya kain Sarung Samarinda mempunyai khas sendiri, dan selalu dibawa jemaah haji. Di sinilah sarung Samarinda semakin dikenal di mancananegara.

Sebenarnya, sejak dahulu Sarung Samarinda sudah diekspor ke beberapa negara, khususnya Brunei Darussalam, Malaysia dan sejumlah negara di kawasan Timur Tengah.Namun, kegiatan perdagangan ke luar negeri itu tidak bisa berkembang akibat keterbatasan volume barang. Para perajin kain Sarung Samarinda itu dalam beberapa periode bahkan sempat jatuh-bangun, termasuk terpuruk saat krisis moneter 1998 melanda Indonesia, pasalnya sebagian bahan untuk pembuatan kain, seperti benang sutra harus diimpor.

Kain Sarung Samarinda juga harus bersaing ketat dengan perusahaan tekstil seperti yang ada di Gresik, Jawa Timur. Perusahaan ini mampu memproduksi kain Sarung Samarinda yang secara kuantitas tentu dengan volume sangat besar serta kualitas yang bersaing ketat.


Simpul "Kebhinekaan"


Sarung Samarinda tidak terlepas dari peristiwa sejarah, berawal dari kedatangan rombongan orang Bugis Wajo yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado) hijrah dari tanah Kesultanan Gowa ke Kesultanan Kutai 1668.

Warga Bugis Wajo hijrah sampai ke wilayah Kesultanan Kutai karena mereka tidak mau tunduk dan patuh terhadap Perjanjian Bongaya setelah Kesultanan Gowa kalah akibat diserang oleh pasukan Belanda. Mereka minta suaka dan diterima baik oleh Kesultanan Kutai.

Atas kesepakatan dan perjanjian, sultan Kutai Kutai memberikan mereka lahan untuk pertanian dan tempat tinggal. Mereka juga tunduk dan siap membela Raja Kutai yang kala itu wilayah pesisirnya sering menjadi sasaran bajak laut dari Filipina.

Perkampungan yang landai serta kemungkinan amanah sultan Kutai agar penduduk yang tinggal di daerah itu cukup beragam namun derajatnya sama baik pendatang maupun warga lokal sehingga disebut "sama rendah".

Warga Bugis Wajo itu dalam perantauannya tetap melestarikan budaya leluhur untuk menenun kain secara tradisional --kini diistilahkan "Alat Tenun Bukan Mesin" atau ATBM-- oleh warga Samarinda Seberang disebut Gedokan.

Keahlian membuat kain tradisional terus bertahan beberapa generasi selama ratusan tahun sementara itu daerah dulunya dikenal sebagai kampung "Sama Rendah" kemudian telah berubah menjadi "Samarinda".

Dalam perkembangannya, kain Sarung Samarinda terus mengalami inovasi hasil kreatifitas buah dari adanya "kebhinekaan" atau keanekaragaman budaya antara warga pendatang dan warga lokal.

Hal itu tercermin dalam motif kain Tajong Samarinda. Kelembutan sutra Tajong Samarinda kini dipadukan dengan khas budaya lokal, misalnya keanggunan kain Tajong Samarinda terlihat karena dipadukan dengan motif Kutai atau menjadi indah dengan warna-warni ceria berkat perpaduan dengan motif Dayak.

Bukan sekedar menjadi simpul perekat keanekaragaman budaya, selembar kain Tajong Samarinda bisa "bercerita" tentang sebuah tonggak sejarah bangsa, yakni kunjungan pertama kali wakil presiden dan salah satu Proklamator Kemerdekaan RI, yakni Bung Hatta atau Mohammad Hatta.

Kain Sarung Samarinda memiliki penamaan sesuai motif. Salah satu motif Tajong Samarinda adalah perpaduan warna kotak hitam-merah disebut “Hatama Hassara” (Hatama Hassara dalam bahasa Bugis Wajo berarti hitam-merah).

Kini, kain sarung bermotif kotak hitam-merah tidak lagi dikenal sebagai "Hatama Hassara" namun "Belang Hatta". Penyebutan nama salah satu Proklamator Kemerdekaan RI sebagai tanda kehormatan warga Samarinda terhadap Wakil Presiden pada masa Pemerintahan Bung Karno. Bung Hatta saat berkunjung ke Samarinda 1950-an memilih motif "Hatama Hassara" ketika disodorkan kain Tanjong Samarinda sebagai tanda penghormatan warga "Kota Sama Rendah" itu.


Terancam


Kain Samarinda selama ini menghadapi tantangan "klasik", misalnya kurangnya minat generasi muda untuk jadi penenun, keterbatasan permodalan usaha, dan ketergantungan terhadap ketersediaan benang sutra impor sehingga pengaruh ekonomi global (fluktuasi mata uang) berdampak langsung bagi usaha kecil itu.

Perkembangan terakhir, tantangan bagi perajin Tajong Samarinda adalah hadirnya sejumlah perusahaan modern pengolahan kain.

Misalnya, kain Sarung Samarinda hasil produksi sebuah perusahaan industri di Gresik, Jawa Timur. Selain mampu memproduksi kain sarung yang motifnya sama, bahkan secara kualitas dan kuantitas (volume) tentu lebih baik karena hasil olahan mesin modern.

Mungkin, salah satu yang tidak bisa diproduksi oleh perusahaan tekstil itu adalah jika ada konsumen meminta kain sarung Tajong Samarinda sesuai motif yang dibuat secara selera individu.

Sebaliknya, para perajin kain Sarung Samarinda akan bersedia menenun kain sesuai motif yang diminta secara khusus oleh konsumen meskipun harus bersabar karena minimal selesai 15 hari.

"Pemerintah daerah harus serius terlibat dalam mendapatkan hak paten Sarung Samarinda karena akan berdampak langsung dalam menumbuhkan usaha kecil di Kampung Perajin," kata salah seorang tokoh warga Bugis Samarinda, Nasir Balfas.

Hal lain, katanya adalah dukungan Pemkot Samarinda dalam memberikan bantuan modal usaha, agar para perajin mampu meningkatkan volume produksinya.

Peningkatan ketrampilan perajin juga dinilainya penting agar para mereka memiliki kreatifitas dan inovasi untuk menghadapi persaingan.

Pemkot Samarinda sebenarnya pernah mengajukan Hak Paten Sarung Samarinda ke Kementerian Hukum dan HAN namun sampai kini belum ada beritanya.


Jika Tajong Samarinda dianggap tidak berhak berlebel hak paten, maka dipastikan "Gedokan" atau "Alat Tenun Bukan Mesin" itu akan remuk tergilas mesin-mesin modern milik perusahaan tekstil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar