Sabtu, 31 Maret 2012

Mengapa Ketahanan Pangan Kian Jauh Dari Harapan ?

Samarinda
- Pemerintah RI melalui Menteri Keuangan, Agus Martowardjojo awal pekan ini (6/2) di Jakarta mengumumkan bahwa Indonesia menyiapkan anggaran 4 Miliar Dolar AS atau setara dengan Rp35,9 triliun demi menjaga ketahanan pangan nasional. Dari sisi ekonomi, politik dan sosial, kebijakan Pemerintah RI itu sangat strategis, yakni masalah perekonomian rakyat --ketersediaan pangan-- adalah hal yang sangat sensitif karena jika tidak mendapat penanganan yang tepat bisa menimbuilkan gejolak sosial dan politik sehingga bisa mengganggu stabilitas nasional. pemerintah harus sejak awal mengantisipasi masalah sensitif itu meskipun anggaran yang disiapkan adalah dalam bentuk dana kontigensi atau dana pinjaman. Dana pinjaman tersebut merupakan kerjasama Indonesia dengan agensi multilateral maupun negara lain. Menteri menjelaskan bahwa gejolak harga pangan tersebut belum lama ini diakibatkan dari perubahan iklim yang terjadi. Selain mengantisipasi perubahan iklim, maka jelas kebijakan Pemerintah RI itu menunjukan bahwa program swasembada beras/pangan nasional sampai kini masih jauh dari harapan. Bisa dilihat dari data BPS (Bira Pusat Statistik), 2010 yang mencatat bahwa Indonesia ternyata harus mengeluarkan dana 5 Miliar Dolar AS per tahun untuk impor pangan. Diperkirakan bahwa salah satu faktor penyebab sehingga Indonesia perlu impor pangan akibat persoalan luasnya konversi tanah pertanian pangan ke non pertanian yang telah mencapai 60.000 ha per tahun juga sesuai data BPS, 2010 itu. Padahal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mencanangkan program ketahanan pangan, sementara itu, dari sisi suprastruktur, DPR-RI periode 2004-2009 diakhiri masa bhaktinya, pada 16 September 2009 mengesahkan UU No. 41 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLPPB). Namun, upaya Pemerintah RI menggapai swasembada beras masih jauh dari harapan padahal ketika UU PLPPB diberlakukan, timbul optiomistis baik pemerintah maupun berbagai pihak terkait bahwa adanya UU itu bukan saja swasembada beras bisa terealisasi namun Indonesia akan mampu ekspor pangan. Harapan itu tidak berlebihan jika melihat pasal-pasal dalam UU itu. UU mengatur tentang implementasi terkait, perencanaan dan penetapan LPPB dalam sebuah zonasi (kawasan) yang disesuaikan dengan rencana tata ruang daerah. Penetapan kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LPPB) itu kelak akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Kedua, pemanfaatan, pembinaan (intensifikasi) dan pengembangan (ekstensifikasi) LPPB yang dilakukan oleh petani dan perusahaan pertanian pangan, oleh pemerintah akan diberikan berbagai insentif dan disinsentif kepada mereka seperti kemudahan sertifikasi tanah dan keringanan pajak. Ketiga, UU mengatur bahwa alih fungsi LPPB hanya dapat dilakukan dengan menyediakan lahan pengganti yang besarannya diatur dan ancaman pidana jika ketentuan ini dilanggar. Keempat, guna mendukung keseluruhan hal-hal diatas akan diadakan Sistem Informasi LPPB. Kenyataanya, keberadaan UU No 41 Tahun 2009 belum mampu memacu keberhasilan Indonesia untuk swasembada beras, malah ironisnya lahan pertanian tanaman pangan potensial baik di Pulau Jawa maupun daerah lain di Indonesia terus berkurang akibat alih fungsi lahan. Kondisi Daerah Ancaman terus berkurangnya lahan pertanian potensial akibat alih fungsi lahan terjadi di berbagai daerah, termasuk Kalimantan Timur. Ancaman terbesar bagi kelestarian lahan pertanian pangan di Kaltim saat ini terkait alih fungsi untuk sektor perkebunan (sawit) dan sektor perttambangan (batu bara). Tingginya permintaan pasar domestik dan dunia terhadap CPO (crude palm oil) serta batu bara yang didukung potensi besar di Kaltim menjadi alasan utama alih fungsi lahan pertanian pangan. Petani dengan mudah tergiur oleh tawaran perusahaan batu bara yang bersedia membeli lahan mereka dengan harga tinggi. Ironisnya, sebagian petani yang menjual lahan pertanian pangan potensial itu adalah warga eks-transmigran yang sebelumnya harus mengorbankan segalanya untuk mengikuti program transmigasi ke Pulau Kalimantan. Seperti kasus alih fungsi lahan pertanian milik warga eks-transmigran di Desa Teluk Dalam, Kutai Kartanegara. Padahal dilokasi itu, pemerintah pada 1993 melalui dana APBN telah mengeluarkan dana Rp11 miliar dan APBD sekitar Rp3 miliar untuk membangun bendungan serta menjalankan irigasi pompanisasi. Tak heran, kawasan itu sempat menjadi "lumbung beras" Kalimantan Timur sehingga pada awal 1994-an, penguasan Pemerintahan Orde Baru, HM. Soeharto berkenan hadir di Teluk Dalam saat panen raya. Tergiur oleh tawaran pengusaha tambang, maka sebagian besar dari 200 KK petani eks-transmigran asal Pulau Jawa dan Pulau Bali itu menjual lahannya. Kini, kawasan yang dulu adalah hamparan hijau telah berubah menjadi kolam-kolam raksasa dari kegiatan mengupas perut bumi untuk mendapatkan bongkahan emas hitam. Waduk irigasi pompanisasi yang sudah tidak berfungsi dan dimanfaatkan kini bak jadi monumen tentang kegagalan pemerintah dalam melestarikan lahan pertanian tanaman pangan. Para petani yang menjual lahannya, sebagian kembali ke daerah asal dan sebagian terpaksa pulang ke Teluk Dalam meskipun harus alih profesi dan tingal di rumah keluarga atau ngontrak. Umumnya, mereka kini jadi tukang ojek, tukang sol sepatu dan buruh harian karena sudah tidak memiliki lahan pertanian seluas 2 hektar per KK. KOndisi itu juga terjadi di berbagai kabupaten dan kota se-Kaltim. Data Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kaltim menyebutkan bahwa produksi Gabah Kering Giling (GKG) tahun 2009 lalu mengalami defisit. Dari target produksi 615.372 ton GKG namun realisasinya hanya mencapai 606.955 ton. Itu artinya terjadi defisit 8.417 ton GKG. Pada 2010, lagi-lagi kasus alih fungsi lahan yang menghambat swasembada beras dan ketahanan pangan. Pada 2010, Kaltim kekurangan beras hingga 62.000 ton yang harus dipasok dari Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Produksi beras di Kaltim baru bisa memenuhi kebutuhan pangan sekitar 84,3 persen dari 3,5 juta penduduk Kaltim. Data BPS Kaltim menunjukkan bahwa hasil panen padi di Kaltim mencapai 588.111 ton gabah kering giling (GKG). Padahal, Kaltim agar bisa memenuhi swasembada pangan Kaltim setidaknya harus dapat memproduksi 784.000 ton GKG. Untuk itu, setidaknya lahan pertanian di Kaltim harus dapat memproduksi sekitar 196.000 ton GKG atau setara dengan 62.000 ton beras. Dengan asumsi, tiap penduduk di Kaltim mengonsumsi 113 kilogram beras per tahun. Lagi-lagi, masalah alih fungs lahan menjadi penyebab Kaltim gagal swasembada beras. Tercatat dalam empat tahun terakhir di Kaltim terjadi alih fungsi lahan pertanian pangan mencapai 10.421 Ha. Optimistis Ketua Masyarakat Agribisnis Indonesia (MAI) Kaltim, Aji Sofyan Alex menyatakan bahwa dirinya tetap optimistis bahwa Indonesia bisa swasembada beras dan pangan asalkan pemerintah benar-benar serius menjalankan program yang tepat sasaran. "Kalau saya menilai bahwa kebijakan pemerintah terkait pengembangan sektor pertanian belum berpihak kepada petani, hal ini yang menjadi faktor utama yang menyebabkan lahirnya berbagai hambatan bagi program swasembada pangan dan ketahanan pangan nasional," ujar Sofyan Alex yang juga Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPRD Kaltim itu. Ia menjelaskan bahwa data terbaru dari Departemen Pertanian menyebutkan bahwa sekitar 45 juta Ha lahan pertanian di Pulau Jawa telah dialihfungsikan untuk berbagai sektor termasuk pembangunan jalan tol dan perumahan. "Artinya, pengembangan sektor pertanian harus diarahkan ke luar Pulau Jawa, misalnya ke Pulau Kalimantan dan Pulau Papua," kata mantan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kaltim itu. Kebijakan lain yang harus dilakukan pemerintah dalam menjalankan program ketahanan pangan nasional dan swasembada beras/pangan adalah menerapkan mekanisasi. "Program mekanisasi ini sudah tentu harus didukung dengan program pemberian bantuan pupuk, benih serta kredit usaha kecil. Kondisi sekarang, petani sulit mendapat bantuan pupuk, benih serta kredit usaha, jadi wajar jika mereka mudah tergoda untuk menjual lahannya," papar Sofyan Alex. Ia juga menyarankan agar pemerintah kembali mengaktifkan peran PPL (penyuluh pertanian lapangan) karena petani tetap membutuhkan bantuan teknis agar produksi mereka bisa optimal. "Presiden HM Soeharto menerima penghargaan dari organisasi pangan dan pertanian dunia atau FAO pada 1986 terkait keberhasilan Indonesia yang semula pengimpor beras namun bisa swasembada beras. Momen penting yang membanggakan bangsa Indonesia itu tercapai berkat program bantuan benih, pupuk, kredit serta kehadiran PPL itu," papar Sofyan Alex. Jadi, sebenarnya pemerintah sekarang tidak perlu membuat program muluk-muluk, sekaligus menjadi pembelajaran bahwa tidak semuanya peninggalan Orde Baru harus ditinggalkan. Terbukti, setelah kepemimpinan HM. Soeharto program swasembada beras/pangan kian jauh dari harapan sehingga pantaskah bangsa Indonesia mengaku sebagai negara agraris ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar