Selasa, 03 April 2012
Si Mario Kian Terjebak
Samarinda
- Kondisi orangutan (Pongo pygmaues Mario) di Kalimantan Timur kini benar-benar memprihatinkan selain "rumah" (habitatnya) kian menyempit, ternyata pengembangan berbagai sektor lain serta kebijakan pemerintah hanya menambah sengsara nasib primata ini.
Khabar dibantainya puluhan orangutan (Pongo pygmaues Mario) di Desa Puan Cepak, Kecamatan Muara Kaman (diperkirakan mulai terjadi pada 2009 hingga 2010 namun baru terungkap baru-baru) membuktikan tentang dampak negatif pengembangan sektor lain (pembukaan lahan sawit) serta kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak "pro-ekologi" (memikirkan dampak lingkungan dari
pemberian izin pembukaan lahan).
Pembantaian orangutan itu kini ditangani oleh Polres Kutai Kartanegara. Diduga dilakukan secara sengaja dan sistematis oleh sebuah perusahaan sawit yang membuka lahan di kawasan itu karena primata tercerdas setelah simpanse dan gorilla itu dianggap sebagai hama.
Selain itu, diduga pembantaian itu untuk merampas anak orangutan. Artinya, untuk mendapatkan satu anak orangutan, maka satu induk primata ini juga dibantai. Anak orangutan ini cukup mahal dijual kepada orang yang gemar memelihara satwa langka, bahkan harganya di pasar gelap luar negeri jika berhasil diselundupkan bisa mencapai 10 kali lipat lagi.
"Benar sekali kondisi orangutan kini kian terdesak, hal ini terkait sekali dengan kerusakan habitatnya, apalagi deforestration (laju kerusakan hutan) Kaltim cukup tinggi, yakni 350.000 Ha per tahun, ini sesuai data Pemprov Kaltim," kata Direktur Ekskutif Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), Isal Wardhana.
Isal menambahkan bahwa jika data itu benar maka luas lahan dan hutan di Kaltim kini kerusakannya antara 40-50 persen dari total mencapai 16 juta hektar.
Keberadaan primata ini juga menjadi indikator tentang masih bagusnya kondisi hutan, yakni masih tersedia berbagai bahan pangan orangutan. Kenyataannya, beberapa kawasan yang menjadi "rumah" orangutan, seperti Taman Nasional Kutai (TNK) misalnya sudah jarang terlihat ini menandakan kondisi lingkungan di daerah itu sudah rusak.
"Laju kerusakan itu akibat berbagai faktor, misalnya kebakaran hutan dan lahan, perlandangan, pembukaan lahan untuk program transmigrasi, pertambangan dan perkebunan," papar dia.
Namun, katanya, dari beberapa faktor itu, maka sektor yang memberikan kontribusi terbesar bagi kerusakan lingkungan di Kaltim adalah pembukaan lahan tambang dan perkebunan.
"Lihat saja kini semua daerah seperti berlomba-lomba untuk membuka lahan sawit dan mengeksploitasi batu bara," ujar dia.
Ia menjelaskan bahwa melalui kewenangan bupati dan wali kota yang menerbitkan izin KP (kuasa penambangan) maka diduga terdapat puluhan izin yang telah terbit dan dimanfaatkan investor dalam melaksanakan aktifitasnya.
"Memang kewenangan bupati mengeluarkan KP sudah dicabut akan tetapi aktifitas perusahaan memanfaatkan izin itu sampai kini masih berlangsung. Saran kami agar kerusakan lingkungan ini kian parah, maka tidak cukup mencabut kewenangan kepala daerah dalam mengeluarkan KP namun juga segera mencabut izin yang telah diberikan," paparnya.
Belum lagi, kata Isal menambahkan, pembukaan lahan untuk perkebunan sawit juga kian membuat orangutan terdesak karena semua daerah di Kalimantan Timur kini berlomba-lomba mengembangkan bidang agribisnis ini.
Kebakaran Hutan
Berbagai aktifitas dalam pembukaan lahan dan hutan menyebabkan hutan hujan tropis di Kalimantan Timur kian rentan terhadap bahaya api. Hal itu akibat berkurangnya kelembaban lantai hutan sehingga saat musim kemarau akibat gesekan batang kayu atau puntung rokok bisa menjadi sumber petaka terhadap hutan.
Terbukti, setiap musim kemarau kebakaran/hutan dan lahan pasti terjadi meskipun tercatat musibah terparah pada 1982-1983, 1992, 1995 dan 1998, 2005 dan 2007 saat terjadi anamoli alam "El Nino" (Anak Tuhan, istilah nelayan Peru terhadap arus panas yang terlihat pada setiap tahun sekitar Natal).
Misalnya, saja, berdasarkan foto udara dari "National Oceanic and Atmospheric Administration/NOAA, National Environmental Satellite, Data, and Information Service Satellite" seperti dilaporkan IFFM (Integreted Fire Forest Management) GTZ (sebuah lembaga hasil kerja sama dengan pemerintah Jerman) melaporkan sedikitnya 5,1 juta hektar hutan dan lahan rusak akibat amukan api selama kemarau 1998.
Sejak kebakaran hutan terparah pada 1982 dan 1983 di beberapa lokasi di Kaltim, seperti TNK kerusakan hutannya mencapai sekitar 70-an Ha, begitu jugakawasan Bukit Soeharto. Bukit Soeharto yang sebagian kawasannya adalah hutan penelitian Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, maka setidaknya sepuluh kali kawasan konservasi yang seluas 61.000 Ha itu mengalami nasib serupa meskipun terparah 1998 saat terjadi kemarau panjang selama delapan bulan.
Kebakaran hutan pada 1998 akhirnya membuka mata semua orang bahwa bencana tersebut benar-benar membawa kerugian yang sulit diukur dengan uang. Dari sektor perhubungan kerugian mencapai ratusan miliar rupiah dari terhambatnya aktifitas perhubungan udara, darat, laut, sungai dan danau.
Dari sektor ekonomis kayu, kerugian akibat hangusnya areal seluas 5,1 juta hektar (data IFFM). Menurut perhitungan Walhi kerugian itu mencapai Rp 10,25 triliun.
Sedangkan taksiran WWF berkisar 4,4 miliar Dolar AS. Itu pun belum termasuk kerugian kesehatan, transportasi, dan biaya pemulihan kembali hutan. Ketika kebakaran merebak, Departemen Kehutanan mengumumkan ada 176 perusahaan di Sumatra dan Kalimantan yang diduga sebagai pelaku pembakaran hutan.
Waktu itu, sang musim, yakni El Nino--penyebab kemarau panjang--sempat dituding sebagai biang keladinya.
Tapi, para pengamat kehutanan selalu mengingatkan bawa El Nino tidak memiliki "pemitik api" namun manusialah faktor dominan penyebab kebakaran. Ternyata, cara peladang berpindah yang membakar hutan untuk pembukaan lahan usaha ditiru pengusaha hutan tanaman industri, pemegang hak pengusahaan hutan, dan penyedia lahan transmigrasi dan perkebunan.
Ketimbang peladang berpindah, maka ulah perusahaan perkebunan dan HTI, serta pembukaan lahan untuk program transmigrasi lebih parah, sayangnya para perusahaan itu tidak tersentuh hukum. Kalaupun ada perusaaan yang diseret ke meja hijau hanya beberapa
perusahaan serta mendapat saksi sangat ringan.
Dari sisi ekologis, kerugian akibat kerusakan bio-diversity itu luar biasa akibat kerusakan ekosistem. Misalnya saja, butuh waktu sedikitnya 50 tahun untuk memulihkan kondisi hutan sekunder sedangkan untuk hutan alam butuh waktu sekitar 100 tahun.
Bahkan, berdasarkan laporan pengkajian dari pihak Fakultas Kehutanan, kebakaran hutan sudah mengganggu kestabilan ekosistem karena indeks serangga di Bukit Soeharto menurun drastis. Padahal, serangga adalah makanan berbagai jenis burung di kawasan konservasi itu.
Pada bencana 1998 itu, bukan hanya orang biasa atau petani dan peladang yang meradang akibat lahan pertaniannya jadi makanan empuk lidah api namun juga sangat "meresahkan" orangutan.
Puluhan petugas Pusat Rehabilitasi Orangutan Wanariset Semboja kalang-kabut berupaya menyelamatkan 70 ekor orangutan yang kabur saat kebakaran kian mendekati kawasan hutan "sekolah" (tempat meliarkan kembali) satwa langka itu.
Masalah lain, para petugas Wanariset kewalahan karena hampir setiap hari menerima orangutan yang lari dari hutan akibat amukan api yang meluluhlantakan habitatnya serta ditangkap warga.
Tidak Mudah
Salah seorang peneliti orangutan di Kaltim, Anne Russon dari York University mengaku bahwa upaya pihaknya dalam meningkatkan populasi orangutan di provinsi itu tidak mudah.
Peneliti asing yang memfokuskan penelitiannya terhadap orangutan di Stasiun Penelitian Orangutan di Camp Bendili Mentoko, Kutai Timur, Taman Nasional Kutai (TNK) mengaku bahwa selain kondisi habitat terus menyempit, ternyata butuh perlakuan khusus dalam upaya pelestarian primata ini.
Ternyata spesies Orangutan Kalimantan dan Orangutan Sumatera memiliki jenis berbeda sehingga orangutan yang mampu berkembang di Kaltim hanya jenis Orangutan Kalimantan Timur (Pongo pygmaues Mario). Orangutan TNK merupakan bagian dari populasi subspesies orangutan Borneo Timur. Morio ini hanya ada di Kaltim, meskipun termasuk sub-spesies yang kuat karena kondisi lingkungan yang buruk.
Di sisi lain, ia mengakui bahwa sub-spesies orangutan Kaltim (si Morio Kaltim) rentan terhadap kepunahan mengingat populasi Morio hanya berkisar 5.250 ekor di Kaltim. Sementara TNK yang menjadi "benteng terakhir perlindungan morio Kaltim" itu kondisinya kini terus menyempit oleh berbagai aktifitas manusia.
Populasi Si Mario ini di TNK diperkirakan tinggal 600 ekor sehingga upaya pelestarian habitatnya (mencegah terus terjadinya pembukaan lahan dan hutan) sangat penting dilakukan.
Melihat kondisi seperti itu, tampaknya semua pihak, khususnya pemerintah pusat dan daerah perlu mencabut izin, merevisi serta membuat berbagai kebijakan yang lebih berpihak kepada sektor ekologis.
Terkait masalah lingkungan dan upaya pelestarian hutan, pemerintah telah merevisi serta melahirkan UU namun masih lemah dalam penerapannya, misalnya UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Dan yang terpenting dalam upaya penyelamatan orangutan ini adalah penerapan berbagai kebijakan yang telah dibuat, mengingat upaya pelestarian alam sudah banyak hanya penerapannya yang sering tidak konsiten," ujar Isal Wardhana.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar