Rabu, 04 April 2012
Wehea, Heaven is left in the East Kutai
By Datu Iskandar Zulkarnaen (Datiz) -
Hamparan hijau Hutan Wehea (Kutai Timur) bak sepenggal surga yang masih tersisa di Bumi Kalimantan Timur karena kondisi hutan hujan tropis yang masih sangat terjaga.
Bayangkan, dari 17 juta hektar lahan dan hutan Kalimantan Timur, sektar 6,8 juta hektar dalam kondisi kritis sedangkan sisanya mengalami penurunan kualitas yang cepat.
Lahan kritis 6,8 juta hektar itu berarti hampir sama dengan luas Provinsi Jawa Tengah mencapai 3,25 hektar digabung dengan Provinsi Jawa Barat 3,7 juta hektar.
Melihat Hutan Wehea seperti menyaksikan sebuah drama kehidupan masyarakat lokal, Dayak yang memainkan peran begitu apik dalam menjaga keseimbangan alam yang menyatu dengan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat pedalaman.
Sering timbul pertanyaan, bagaimana masyarakat Dayak Wehea mampu menjaga kelestarian alam sekitarnya, khususnya ketika mampu menghalau dari kilauan rupiah yang ditawarkan para cukong kayu seperti musnahnya kearifan lokal pada beberapa kawasan di Kaltim.
"Petkuq Mehuey...." adalah sepotong kalimat Dayak Wehea yang menjadi mantra menyelamatkan kawasan yang menyimpan keanekagaraman hayati (bio-diversity) luar biasa itu.
"Petkuq Mehuey" bermakna "menjaga bersama" atau sebuah ajakan penuh keyakinan untuk bersama menjaga keseimbangan alam, bentuk penyatuan manusia dengan alam semesta.
Dengan sepotong kalimat saksi itu, maka kelestarian hutan seluas 38.000 hektar yang terletak di Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur dapat terjaga.
Hutan tersebut menjadi rumah bagi warga Dayak Wehea, di sana terdapat ruang "lumbung pangan" dengan tersedianya madu, buah-buah hutan serta babi hutan serta "bilik" untuk obat-obatan, yakni kawasan "apotik hidup".
Kerja sama Pemkab Kutai Timur dengan LSM asing, The Natural Conservacy (TNC) membuktikan bahwa berbagai upaya kelestarian kawasan tersebut sangat strategis karena memiliki keanekaragaman hayati luar biasa, lihat saja di sana terdapat 12 hewan pengerat, 9 spesies primata, 19 mamalia, 114 jenis burung, dan 59 spesies pohon bernilai.
Menakjubkan lagi, ketika ancaman kian tinggi terhadap kelestarian orangutan (Pongo pygmaues) ternyata di kawasan Hutan Wehewa menjadi habitat 760 ekor primata tercerdas setelah gorilla dan simpanse itu.
Di tengah hamparan Hutan Wehea juga terdapat jenis tumbuhan langka, yakni taman anggrek hitam.
Menelisik ke tengah jantung Hutan Wehea maka akan terdengar suara satwa langka lainnya, seperti Uwauwa, beruang madu, macan dahan, dan lutung merah.
Guna memperkuat upaya pelestarian maka masyarakat adat Dayak Wehea membuat sebuah keputusan adat. Dipimpin oleh Kepala Adat Dayak Wehea Desa Nehas Liah Bing, Ledjie Taq maka mereka sepakat mengeluarkan surat mengikat untuk melindungi kawasan itu, yakni Surat Keputusan Lembaga Adat Desa nomor 001/LAD-NLB/X/ 2005 yang selanjutnya dituangkan melalui SK Adat nomor 002/LAD-NLB/2005.
Melalui surat keputusan itu, resmilah "penobatan" pasukan pasukan pengawal Hutan Wehea oleh warga Dayak setempat. Pasukan pengawal itu terdiri dari 40 orang yang semua berasal dari suku lokal setempat.
Kearifan lokal masyarakat dalam menjaga kelestarian itu ternyata mendapat sorotan internasional, terbukti merebut juara III (tiga) dalam penghargaan "Schooner Prize Award 2008" di Vancouver, Kanada.
Penghargaan berhadiah 1.000 dollar Amerika Serikat itu sebagai bentuk pengakuan bahwa model pengelolaan konservasi hutan Wehea dinilai sangat adaptif dan sesuai perkembangan zaman.
Dalam event tersebut empat juri, Konrad Von Ritter dari Bank Dunia (Word Bank), Stefan Nachuk dari Rockefeller Foundation, Randy Curtis dari TNC, dan Cynthia Ryan dari Schooner Foundation, menetapkan Taman Laut Masyarakat Arnavon di Pulau Solomon meraih juara I, Proyek II Bolivia Forest di Bolivia juara II, Pengelolaan Hutan Wehea juara III, dan Masyarakat Pengelola Hutan Berkelanjutan oleh Suku Maya (Meksiko) juara IV. Kejuaraan berlangsung di Vancouver, Kanada.
Kawasan Wehea menjadi strategis selain karena memiliki keanekaragaman hayati sekitarnya terdapat kawasan konservasi lain, seperti Hutan Lindung Lesan dan Kelay. Hutan ini bekas kawasan hak pemanfaatan hutan yang dipegang PT Gruti III. Pada 1995 digabung dengan PT Inhutani II menjadi PT Loka Dwihutani. Tahun 2003, hutan dievaluasi Pemprov Kaltim dan kondisinya dinilai masih baik. Di daerah itu ada tiga sungai, yaitu Sungai Melinyiu, Sekung, dan Seleq—semua bermuara ke Sungai Mahakam.
Kearifan lokal itu juga mendapat penghargaan langsung dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara pada 5 Juni 2009. Trofi Kalpataru yang tersimpan rapi pada salah satu ruang di rumah Kepala Adat Wehea merupakan bentuk penghargaan pemerintah pada 2009 kepada warga setempat yang diwaliki Ledjie Taq.
Ledjie Taq adalah tokoh masyarakat Dayak asal Desa Neheas Leah Bing, Kecamatan Muara Wahau. Ledjie Taq berjasa saat menyelamatkan hutan Wehea (Wahau) dari kebakaran hutan meskipun rumah dan beberapa rumah warga ikut hangus dilalap api.
Tampaknya kearifan lokal warga pedalaman itu seperti "ikan dan air" yang tak mungkin terpisahkan, menyatu dalam keseimbangan alam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar