Minggu, 05 Oktober 2014

KALTARA, RAKSASA YANG KIAN MENGGELIAT

"Sekarang terbelakang, nanti terdepan". Kalimat yang melengkapi sebuah lukisan di wilayah perbatasan itu terasa menyentuh rasa kebangsaan, meskipun bukan sebuah pekik heroik. Melengkapi kalimat itu, tampak gambar tiga orang bocah bercelana pendek tanpa alas kaki yang berjingkat seperti berlomba menggapai kain bendera Merah-Putih yang berkibar. Di bagian atas lukisan tangan itu terdapat gambar setengah badan Pj Gubernur Kalimantan Utara Irianto Lambrie berbaju resmi kepala daerah (baju dan topi putih) yang tersenyum melihat tiga anak tersebut. Dari tema tulisan dan lukisan pada sebuah tembok di salah satu sudut kota perbatasan di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara itu, bisa dipastikan bahwa karya tersebut dibuat untuk memperingati HUT RI 2014 beberapa waktu lalu. HUT RI 2014 tampaknya memiliki arti khusus bagi Provinsi Kalimantan Utara, yakni belum genap berusia dua tahun saat merayakan Hari Kemerdekaan RI sejak menjadi daerah otonom hasil pemekaran dari Provinsi Kalimantan Timur. Momentum yang bersejarah, di antaranya pada akhir Oktober 2012 karena Ibu Pertiwi melahirkan anak termudanya, yakni Kalimantan Utara, yang resmi menjadi provinsi ke-34. DPR RI mengesahkan Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) pada 25 Oktober 2012 yang meliputi lima daerah, yakni Kabupaten Bulungan (Ibu Kota Provinsi Kaltara), Kota Tarakan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, dan Kabupaten Tana Tidung (KTT). Pada 22 April 2013, akhirnya Kalimantan Utara memiliki pemimpin --meskipun belum definitif-- dengan ditunjuknya Dr Ir H Irianto Lambrie MM yang sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Provinsi Kalimantan Timur, menjadi Pj (pejabat) Gubernur Kaltara. Berkat berbagai prestasinya dalam membangun Kaltara, maka pemerintah melalui Surat Keputusan (SK) Presiden RI nomor 29/P tahun 2014 tertanggal 14 April 2014, kembali memberikan amanahnya kepada Irianto Lambrie sebagai Penjabat Gubernur Kalimantan Utara. SK Presiden diserahkan oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Prof Dr H Djohermansyah Djohan MA atas nama Presiden RI dan Menteri Dalam Negeri di Kantor Kementerian Dalam Negeri di Jakarta, April 2014. Tertinggal Sebagai provinsi baru maka kondisi Kalimantan Utara cukup tertinggal ketimbang induknya, Provinsi Kalimantan Timur. Salah satu alasan untuk pemekaran wilayah pun akibat disparitas pembangunan antara wilayah utara dengan wilayah selatan dan tengah (Kota Bontang, Kota Samarinda, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kota Samarinda dan Kota Balikpapan). Banyak orang meragukan jika Kaltara mampu mengejar ketertinggalannya, terutama jika disejajarkan dengan kondisi kakak kandungnya (Kalimantan Timur). Kaltara memang punya potensi Migas, batu bara, emas, dan berbagai potensi alam seperti yang ada di Kaltim namun karena keterbatasan infrastruktur sehingga pemanfaatannya juga relatif tertinggal ketimbang kegiatan ekploitasi di Bontang, Kutai Kartanegara. Samarinda dan Balikpapan. Dari sisi infrastruktur, Kaltara jauh tertinggal, khususnya pada sektor perhubungan darat, udara dan laut ketimbang Kalimantan Timur sehingga banyak yang pesimistis jika provinsi termuda itu mampu mengejar ketertinggalannya dalam waktu singkat. Namun, secara mengejutkan sikap pesimistis itu kini langsung sirna berganti dengan sangat optimistis berkat kejelian Pemprov Kaltara dalam menangkap peluang emas. Ternyata tanpa terlalu mendapat sorotan mata media, Pemprov Kalimantan Utara melakukan kerja sama dengan berbagai pihak, serta membuka diri sebesar-besarnya untuk dunia investasi. Pada akhirnya, berhasil menggaet investor Tiongkok untuk menanamkan modalnya di sana. Dari sejumlah investasi asing itu, yang paling strategis dan bisa menjadi pilar perekonomian bukan hanya untuk Kalimantan Utara tetapi nasional adalah pengembangan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) kapasitas 6.080 MW dengan investasi Rp175 triliun selama 30 tahun. Dengan kapasitas itu, maka Kaltara akan tercatat sebagai penghasil PLTA terbesar nasional. Awal tahun ini, kegiatan secara resmi dilakukan oleh Wamen ESDM RI Susilo Siswoutomo disaksikan antara lain Panglima TNI Jendral Moeldoko, Kepala BKPM RI Mahendra, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak dan Pj Gubernur Kaltara Irianto Lambrie. Peresmian ditandai dengan peletakan batu pertama pada Tugu Pembangunan PLTA Kayan. Dengan kapasitas sebesar itu. maka bukan hanya mampu melayani wilayah Kaltara namun juga provinsi lain seperti Kaltim karena kebutuhan tiga daerah terpadat di Kalimantan Timur (Kutai Kartanegara, Samarinda dan Balikpapan) hanya 300 MW. "Ke depan, jika PLTA itu sudah bisa beroperasi secara penuh maka sasarannya memang bukan hanya provinsi di Indonesia akan tetapi negara tetangga, yakni Malaysia," kata Pj Gubernur Kaltara Irianto Lambrie. Bahkan, jika pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Kayan Kecamatan Peso, Bulungan, Kalimantan Utara (Kaltara) 6.080 MW tuntas dan mulai beroperasi. bahka bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah mengatasi krisis energi nasional. "Pasalnya, selama ini tidak diperkirakan bahwa dalam mengatasi masalah energi nasional bisa terpecahkan melalui PLTA. Sebelumnya, pemerintah hanya sebatas pada solusi sumber energi konvensional, misalnya melalui Migas dan uap (batu bara)," kata Kepala Biro Ekonomi dan Pembangunan Pemprov Kaltara Risdianto. Tidak Ragu Alasan untuk menjual listrik itu, menjadi faktor utama sehingga investor dari Negeri Tirai Bambu itu tidak ragu menginvestasikan dananya untuk membendung sungai terbesar di Kalimantan Utara itu. Selain Sungai Mahakam (Kaltim) dan Sungai Barito (Kalsel), maka Sungai Kayan adalah salah satu sungai terbesar di Borneo dengan panjang sekitar 460 km dengan lebar 200-300 meter. "Persoalannya, selama ini pemerintah pusat dan BUMN terkait energi masih berkutat dengan kebijakan mengatasi masalah krisis energi dengan sumber-sumber yang konvensional, jadi jika PLTA ini mulai beroperasi maka rencana besar mengatasi masalah kelistrikan akan berubah," papar dia. Pemprov Kalimantan Utara. ujar Risdianto berhasil menggaet investor asing melalui PT Hidro City Kalimantan untuk membangun pembangkit listrik air terbesar di Indonesia dengan nilai investasi sekitar 25 Miliar Dolar AS. Sementara itu, Pj Gubernur Kaltara Irianto Lambrie menilai perlu sebuah perencanaan strategis yang komprehensif mengantisipasi "booming" sumber energi itu. Ketersediaan sumber energi akan menjadi magnit untuk menarik sektor perdagangan dan industri ke Kaltara. Saat ini, berbagai proses perizinan (pembebasan lahan, izin lokasi dan analisis dampak lingkungan sebagian sudah tuntas) sehingga diharapkan dalam waktu dekat akan memasuki tahap kegiatan pembangunan konstruksi. Pemprov Kaltara dalam mendukung investasi asing tersebut membentuk Tim Percepatan Izin PLTA. Sekiranya tidak ada hambatan yang berarti, maka dalam beberapa tahun mendatang, mulai dari tahap 10 tahun pertama, kedua dan ketiga maka Kalimantan Utara mampu mengatasi salah satu persoalan paling krusial di tanah air, yakni krisis sumber energi kelistrikan. Keberhasilan itu sangat vital karena bisa mengatasi ketergantungan nasional yang sangat tinggi terhadap sumber daya yang tidak bisa diperbaharui, yakni migas dan batu bara. Geliat itu kini kian terasa, tinggal bagaimana semua pihak bisa menjaga agar terbangunnya "raksasa" itu dari tidur panjang tak terganggu oleh masalah-masalah klasik yang sering merusak dunia investasi, antara lain buruknya birokrasi (perebutan kewenangan pusat-daerah), suasana politik yang berimbas ke iklim investasi, serta masalah keamanan (aksi demo menuntut ganti rugi). Geliat raksasa itu baru satu bidang investasi, padahal Kaltara memiliki potensi Migas yang belum tergaraf optimal. Mengapa Malaysia begitu ngotot mengklaim wilayah perairan Ambalat sebagai wilayah teritrorialnya, itu karena potensi Migas. Padahal potensi Migas di Ambalat adalah bagian hilirnya, sedangkan hulu berada di kawasan perairan Bulungan. Sehingga ada pengamat ekonomi menilai bahwa jika berbagai potensi tersebut tergaraf dengan baik, maksudnya kontribusi benar-benar dirasakan oleh bangsa Indonesia dan rakyat Kaltara --bukan sematas kata optimal-- maka pegerakan ekonomi wilayah utara Kalimantan Timur itu mampu melebihi beberapa daerah kaya di Indonesia, termasuk Kutai Kartanegara, apalagi berbagai potensi alam yang tidak bisa diperbaharui kian menitis serta pengelolaannya selama ini belum sepenuhnya dinikmati oleh warga Kaltim. Gajah Mini Borneo yang terdapat di Kecamatan Sebuku, Nunukan, Kaltara