Selasa, 28 Desember 2010

Realitas Di Balik Kamera

Fotografi Jurnalistik: "MENGEKSKUSI REALITAS DARI BALIK KAMERA"
Oleh Iskandar Zulkarnaen

SEJARAH

Awalnya, foto-jurnalistik atau jurnalistik foto hanyalah sebagai foto pendukung pada sebuah perusahaan penerbitan.
Pada akhirnya, Fotojurnalistik bukan sekedar pelangkap namun berkembang pesat dan mampu menjadi sebuah foto berita secara  mandiri yang bisa menggonyang dunia.

Di dunia sejarah penggunaan teknik fotografi dalam media cetak baru terjadi pada akhir abad 19. Pada edisi tanggal 4 Maret  1877, surat kabar New York Daily Graphic di Amerika Serikat memunculkan foto buah karya Henry J. Newton. Foto hitam putih  yang menggambarkan pesona tambang pengeboran itu adalah foto perdana di dunia yang diterbitkan pada suatu media cetak.  Sejak itu penggunaan foto sering kali menjadi pelengkap berita di dalam koran.

Di Indonesia foto jurnalistik pertama oleh Alex Mendur (1907-1984) yang bekerja sebagai kepala foto kantor berita Jepang  Domei, dan adiknya Frans Soemarto Mendur (1913-1971), mengabadikan peristiwa pembacaan teks Proklamasi kemerdekaan republik  Indonesia dengan kamera Leica. Pada saat itulah pada pukul 10.00 WIB pagi tanggal 17 Agustus 1945 saat dilaksanakan upacara  pengibaran bendiri di Pegangsaan Timur, Jakarta foto jurnalis Indonesia lahir. Sejak reformasi tahun 1998, fotojurnalistik  di Indonesia terus tumbuh, seiring kebebasan pers Indonesia.

Nama-nama jurnalis foto ternama antara lain, Robert Capa, Henry Cartier-Bresson, dan W. Eugene Smith. Bagi pencinta  fotografi jurnalistik, nama James Nachtwey sangat populer karena secara spesifik, dia menjadi fotografer perang yang  antiperang.
Karya-karya spektakulernya mengilhami banyak fotografer muda untuk mengikuti jejaknya. Karyanya berbicara tentang manusia  dengan penderitaan hingga kepedihan di garis depan dan belakang. Dia menghabiskan 25 tahun dalam wilayah perang dan konflik  di seluruh dunia. Kesederhanaan dan sikap santunnya memberi inspirasi bagi semua orang.


BATASAN

Pengertian mendasar sebuah karya foto, seperti karya tulis yang ditampilkan karena ada sesuatu maksud atau pesan yang ingin  disampaikan.

Hal ini sesuai arti fotografi dari bahasa latin, "photo" yang artinya cahaya, "graphoo" menulis atau/melukis. Jadi,  fotografi punya kepentingan dan maksud.

Jurnalistik foto merupakan sebagian dari ilmu jurnalistik (komunikasi). Jurnalistik foto adalah "ilmunya", sedangkan foto  jurnalistik adalah "hasilnya".

Foto jurnalistik adalah karya foto "biasa" tetapi memilki nilai berita atau pesan yang "layak" untuk diketahui orang banyak  dan disebarluaskan lewat media massa.

Ada beragam definisi tentang foto jurnalistik (Inggris : photo journalism) yang disampaikan para pakar komunikasi dan  praktisi jurnalistik. Namun secara garis besar, menurut Guru Besar Universitas Missouri, AS, Cliff Edom, foto jurnalistik  adalah paduan antara gambar (foto) dan kata.

Jadi, selain fotonya, foto jurnalistik juga harus didukung dengan kata-kata yang terangkum dalam kalimat yang disebut  dengan teks foto / caption foto, dengan tujuan untuk menjelaskan gambar dan mengungkapkan pesan atau berita yang akan  disampaikan ke publik. Jika tanpa teks foto maka sebuah foto hanyalah gambar yang bisa dilihat tanpa bisa diketahui apa  informasi dibaliknya.

foto jurnalistik adalah sebuah karya dalam bentuk visual/foto yang berisi informasi atau mempunyai nilai berita serta  disebarluaskan secara umum kepada khalayak melalui media massa.

Seorang fotografer yang bekerja untuk Majalah Time, John Stanmeyer berpendapat, “fotojurnalistik adalah fotografi  kebenaran, yang merupakan fotografi berkekuatan lebih besar yang bisa saya bayangkan atau yang saya buat,”.

Wilson Hick redaktur senior majalah ‘Life’ (1937-1950) dalam buku World and Pictures (new York, Harper and Brothers, Arno  Press 1952, 1972), foto jurnalistik adalah media komunikasi verbal dan visual yang hadir bersamaan.

Henri Cartier-Bresson, salah satu pendiri agen foto terkemuka di dunia Magnum yuang terkenal dengan teori ‘Decisive Moment’  — menjabarkan, “foto jurnalistik adalah berkisah dengan sebuah gambar, melaporkannya dengan sebuah kamera, merekamnya dalam  waktu, yang seluruhnya berlangsung seketika saat suatu citra tersembut mengungkap sebuah cerita.”

Menurut fotografer senior Perum LKBN ANTARA Oscar Motuloh "Fotojurnalistik adalah suatu medium sajian informasi untuk  menyampaikan beragam bukti visual atas berbagai peristiwa kepada masyarakat seluas-luasnnya secara cepat".

Dalam buku serial Photojournalistic yang diterbitkan oleh Time Life diungkapkan bahwa; Sementara foto-foto yang dihasilkan  oleh para wartawan foto seperti yang kita lihat di media massa adalah pers foto (foto berita) yang penekanannya pada  perekaman fakta otentik.

Misalnya foto yang menggambarkan kebakaran, kecelakaan, pengusuran dsb. Foto-foto itu, ingin menceritakan sesuatu yang pada  gilirannya akan membuat orang tersebut bertindak (feedback). Foto jurnalistik ini disiplinnya lebih banyak membicarakan  hal-hal yang berkaitan dengan pengaruh imaji tersebut bagi pemerhatinya.

Jadi, dari berbagai difinisi di atas, menurut persepsi saya maka foto jurnalistik adalah "mengekskusi peristiwa di balik  kamare yang dilengkapi dengan keterangan/caption".


FOTO JURNALISTIK, FOTO DOKUMENTASI DAN FOTO ARSTISTIK

Penjelasan foto dokumentasi dalam kategori fotografi memiliki pengertian sendiri yang ruang lingkupnya lebih sempit atau  bersifat personal. Misalnya, kegiatan pribadi dan keluarga. Namun, foto dokumentasi dalam konteks yang luas memiliki  pengertian bahwa semua foto yang merekam fakta dan menjadi bagian sejarah pada akhirnya juga merupakan foto dokumentasi.
Sebab, semua foto akan menjadi dokumen. Pemahaman tersebut membuat foto dokumentasi memiliki batasan yang lebih luas. Foto  dokumentasi tidak merujuk pada foto acara atau kepentingan pribadi. Jadi, foto jurnalistik pun menjadi bagian dari foto  dokumentasi.

Dalam foto jurnalistik, ada dua macam peristiwa yang menjadi fokus pengambilan gambar. Pertama, peristiwa yang terjadi  tanpa diduga. Kedua, foto terencana. Foto terencana bagi jurnalis foto profesional menimbulkan keharusan untuk melakukan  riset terhadap subjek atau fenomena yang akan difoto. Mereka harus menentukan faktor potensial sebagai bahan penunjang.

Foto jurnalistik tidak hanya bisa dilakukan wartawan foto. Siapa pun punya kesempatan yang sama untuk membuat foto  jurnalistik. Peristiwa besar yang terjadi secara tak sengaja, kadang, bisa dipotret oleh fotografer amatir atau seorang  yang kebetulan membawa kamera. Apalagi, foto jurnalistik yang bersifat daily life atau general news.

Contohnya, kejadian besar, seperti kebakaran pesawat. Saat itu, fotografer amatir kebetulan berada di tempat kejadian tanpa  kehadiran jurnalis foto. Ketika fotografer tersebut menyerahkan hasil foto ke media, foto itu menjadi foto jurnalistik.  Jika dia hanya menyimpan karya foto yang sarat dengan kaidah jurnalistik tersebut dan tidak mengirimkan ke media, foto itu  menjadi foto dokumen pribadi.

Hal tersebut tampak pada fotografer amatir bernama Virginia Schau di California, AS. Dia bisa mendapatkan hadiah Pulitzer.  Ketika berekreasi dengan beberapa temannya, dia menyaksikan sebuah truk besar yang mengalami kecelakaan di sebuah jembatan.  Seorang temannya memberi pertolongan kepada sang sopir yang akan masuk ke jurang. Sementara itu, dia menjepretkan kamera  saku Kodak Brown. Foto berjudul Keajaiban tersebut menjadikan Schau sebagai wanita pertama yang meraih hadiah Pulitzer  untuk kategori foto.

Kasus Tsunami di Aceh bisa menjelaskan bahwa hasil foto seorang amatir sangat bernilai ketika ia mengambil gambar dalam  kepanikan orang menyelamatkan diri.

Foto jurnalistik memang membuka wawasan dengan melihat kehidupan dunia dalam berbagai sisi. Tidak hanya terlihat indah  seperti halnya foto seni yang dibuat fotografer piktorialis. Sebab, bagi fotografer, foto dokumenter, khususnya  jurnalistik, menangkap kehidupan yang beragam. Orang bisa dihadirkan dalam tawa atau tangis dan gembira atau sedih. Sebuah  foto bisa bercerita tentang manusia, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam.

Jadi tidak cukup hanya menguasai teknik fotografi namun juga kemampuan visual artistik.

Fotografer juga harus menerjemahkan makna dalam konteks substansi sebuah foto. Tujuannya, foto itu tidak hanya menyenangkan  mata yang memandang. Sebab, warna dan bentuk geometrisnya menarik. Tapi, foto itu juga punya makna yang menyentuh hati dan  perasaan orang yang melihat.

Clifton Edom dalam karyanya "Photojornalism, Principles and Practices" menyebutkan, seorang pewarta foto pertama-tama  adalah seorang wartawan. Mereka harus memotret langsung di jantung peristiwa yang tengah panas-panasnya, mereka tidak bisa  menciptakan suatu foto dengan hanya mengangkat telepon. Mereka adalah mata dunia dan selalu harus bisa melihat dari dekat  apa yang terjadi dan melaporkannya.

Kesimpulan Edom diperkuat oleh pendapat dari penyunting artistik senior di Fittburg Press, Bruce Baumann, yang menyebutkan  hal terpenting bagi seorang pewarta foto adalah berpikir bahwa dia adalah seorang wartawan, yang kedua baru dia bertindak  sebagai seorang fotografer.

Dalam buku "Photojournalism, The Visual Approach" karya Frank P Hoy menyebutkan ada tiga jenjang yang baik sebagai basis  seseorang yang akan memilih berkecimpung menjadi wartawan foto.
Pertama, snapshot (pemotretan sekejap), adalah pemotretan yang dilakukan dengan cepat karena melihat suatu momen atau aspek  menarik. Pemotretan ini dilaukan dengan spontan dan reflek yang kuat. Jenjang pertama ini masih menyangkut pendekatan yang  lebih pribadi.

Kedua, fotografi sebagai hobi. Dalam tahapan ini fotografer mulai menekankan faktor eksperimen dalam pemotretannya, tidak  hanya sekedar melakukan snapshot saja. Dalam tahap ini biasanya fotografer mulai tertarik lebih jauh pada hal-hal yang  menyangkut fotografi.

Tahap berikutnya, art photography (fotografi seni), suatu jenjang yang lebih serius. Berbagai subyek pemotretan dilihat  dengan interpretasi yang luas. Ekspresi subyektif terlihat dalam karya-karya pada tahapan ini. Kejelian, improvisasi,  kreasi dan kepekaan terhadap subyek menjadi basis pada jenjang ini.
Akhirnya, photojournalism (pewarta foto) berada pada tahap selanjutnya. Artinya dalam mengemban profesi tersebut, maka  seorang pewarta foto dianjurkan menguasai dengan fasih ketiga jenjang yang telah disebut tadi.


SYARAT FOTO JURNALISTIK

Foto jurnalistik pada dasarnya adalah bercerita atau melaporkan suatu kejadian atau kenyataan dengan menggunakan medium  foto. Seperti juga pelaporan dalam bentuk tulisan, maka pada foto pun berlaku bahwa yang kita sampaikan lewat foto haruslah  jelas dan mudah dimengerti.


Jadi rumus "5W + 1H"  wajib menjadi syarat dalam setiap melakukan pemotretan,

- What … Apa

- Who …. Siapa

- Why …. Mengapa

- Where.. Dimana

- When …Kapan

- How.. Bagaimana

Foto tanpa keterangan yang lengkap bisa menjadikan foto itu tidak mempunyai arti apa-apa. Untuk sebuah foto jurnalistik  ,foto yang baik dan mempunyai isi, lebih menarik dari sekedar foto yang indah. Foto digunakan untuk mengkomunikasikan apa  yang dilihat, dicatat, dan dirasakan dan ingin dikomentari oleh pewarta foto kepada pembaca jadi syarat untuk membuat foto  berita adalah:


Aktual
Sesuai dengan prasyarat umumnya sebuah berita, subyeknya bukan merupakan hal basi, sehingga betapapun suksesnya pengambilan  sebuah foto bila tidak secepatnya dipublikasikan, sebuah foto belumlah memiliki nilai berita.

Faktual
Subyek foto tidak dibuat-buat atau dalam pengertian diatur sedemikian rupa. Rekaman peristiwa terjadi spontan sesuai dengan  kenyataan yang sesungguhnya, karena ini berkaitan dengan suatu kejujuran.

Informatif
Foto mampu tampil dan dalam lebatan yang dapat ditangkap apa yang ingin diceritakan di situ, tanpa harus dibebani oleh  sekeranjang kata. Pengertian informatif bagi tiap foto perlu ukuran khas. Sedikit berbeda dengan sebuah penulisan yang  menuntut unsur 5W + 1H dalam suatu paket yang kompak, maka dalam sebuah foto jurnalistik minimal unsur who (siapa), why  (mengapa) jika itu menyangkut tokoh dalam sebuah peristiwa. Dan keterangan selanjutnya untuk melengkapi unsur 5W + 1H  (sebagai pelengkap informasi) ditulis pada keterangan foto (caption).

Misi
Sasaran esensial yang ingin dicapai oleh penyajian foto berita dalam penerbitan, mengandung misi kemanusian – merangsang  publik untuk menghargai apa yang patut dihargai atau sebaliknya menggugah kesadaran mereka untuk memperbaiki apa yang  dianggap brengsek.

Kedekatan
Gema adalah sejauh mana topik berita berita menjadi pengetahuan umum, dan punya pengaruh terhadap kehidupan sehari-hari  dalam skala tertentu. Apakah satu peristiwa atau kejadian cuma bersifat lokal, nasional, regional atau internasional.

Aktraktif
Menyangkut sosok grafis foto itu sendiri yang mampu tampil secara mengigit atau mencekam, baik karena komposisi garis atau  warna yang begitu terampil maupun ekspresif dari subyek utamanya yang amat dramatis.


KARAKTERISTIK

Oscar Motuloh dalam "Fotojurnalistik Suatu Pendekatan Visual Dengan Suara Hati" mengungkapkan karakteristik fotojurnalistik  di antaranya:


1. Dasar fotojurnalistik adalah gabungan antara gambar dan kata. Keseimbangan tertulis pada teks gambar (teks foto) adalah  mutlak. Caption atau teks foto membantu melengkapi informasi dan memahami sebuah imaji (gambar, foto) yang dibagi di  tengah-tengah masyarakat.

Sehingga keduanya antara gambar (foto) dan berita (teks) memiliki keterikatan yang tak bisa dipisahkan. Sebuah foto mampu  memberikan informasi selengkap berita apabila dilengkapi teks foto.
Berdasarkan standar IPTC International Press Telecomunication Council) teks foto harus selalu melekat di dalam foto itu  sendiri. Penulisan teks foto bisa dilakukan pengeditan gambar di dalam photoshops, dengan menuliskannya di dalam file info  yang telah tersdia.

2. Mediun fotojurnalistik biasanya disajikan dalam bentuk cetak baik itu surat kabar, tabloid, media internal, brosur  maupun kantor berita. Bahkan saat ini media online telah masuk dalam kategori ini, mengingat perkembangan multimedia yang  terus tumbuh. Selain itu penyajian fotojurnalistik juga disajikan secara jujur, bagaimana adanya, tanpa ada rekayasa dalam  penyajiannya.

3. Lingkup fotojurnalistik adalah manusia. Itu sebabnya seorang jurnalisfoto mempunyai kepentingan mutlak pada manusia.  Posisinya pada puncak piramida sajian dan pesan visual. Menurut

Dinny Soutworth menyimpulkan merangkul manusia adalah pendekatan prioritas bagi seorang fotojurnalis, karena kerja dengan  sobyek yang bernama manusia adalah segala-galanya dalam profesi tersebut.

4. Bentuk liputan fotojurnalitik adalah suatu upaya yang muncul dari bakat dan kemampuan seseorang fotojurnalis yang  bertujuan melaporkan beberapa aspek dari berita. Menurut Chick Harrity yang telah lama bergabung dengan kantor berita  Associated Press (AP), USA dan US News&World Report mengatakan, tugas seorang jurnalisfoto adalah melaporkan berita  sehingga bisa memberi kesan pada pembacanya seolah-olah mereka hadir dalam peristiwa yang disiarkan itu.
Tugas fotojunalis adalah melaporkan apa yang dilihat oleh mata kemudian merekam dalam sebuah gambar yang kemudian  disampaikan secara luas melalui media massa. Yang memberi kesan bawa pembaca (masyarakat) seolah-olah berada dilokasi  peristiwa itu.
Itu sebabnya bagi seorang fotojurnalis sangat penting memiliki kemampuan dalam melakukan perekaman yang dituangkan dalam  sebuah gambar yang dengan mudah dipahami oleh orang awam (masyarakat luas).

5. Fotojurnalistik adalah fotografi komonukasi, dimana dalam penyajiannya bisa diekspresikan seorang fotojurnalis terhadap  obyeknya. Obyek pemotretan hendaknya mampu dibuat berperan aktif dalam gambar yang dihasilkan, sehingga lebih pantas  menjadi obyek aktif.
Namun dalam perkembangannya kini fotojurnalistik juga merupakan media ekspresi seorang fotojurnalis terhadap hasil karya- karyanya setelah melakukan peliputan. Sehingga tak heran jika dalam sebuah media menyiapkan halamannya secara khusus untuk  memajang berbagai macam foto-foto hasil liputan karya fotojurnalisnya.

6. Pesan yang disampaikan dari suatu hasil visual fotojurnalistik harus jelas dan segera bisa dipahami, oleh seluruh  lapisan masyarakat. Pendapat sendiri atau pengertian sendiri tidak dianjurkan dalam fotojurnalistik, apalagi melakukan  rekayasa.
Gaya pemotretan yang khas dengan polesan rasa seni, tidak menjadi batasan dalam berkarya. Yang penting pesan yang  disampaikan dapat dikomunikasikan di tengah-tengah masyarakat.

7. Fotojurnalistik membutuhkan tenaga penyunting yang handal, berwawasan visual yang luas, jeli, arif dan bermoral dalam  menilai foto-foto yang dihasilkan oleh fotojurnalis. Seorang penyunting (editor foto) juga harus mampu membantu mematangkan  ide-ide dan konsep fotojurnalis yang melakukan liputan terhasap sebuah peristiwa. Penyunting foto juga harus mampu memberi  masukan, memilih foto agar tidak monoton, hingga melakukan pemotretan ulang terhadap foto-foto yang akan disiarkan.


8. Karena fotojurnalistik menyajikan informasi yang berakurasi tinggi, seorang jurnalis secara langsung merekam peristiwa  yang terjadi dilokasi tanpa merekayasa. Praktis karya-karya yang dihasilkan dari hasil peliputan fotojurnalis tak bisa  terbantahkan oleh kata-kata. Pada setiap event seperti bentrokan, caos, aksi demo, dsb, seorang fotojurnalis selalu berada  di garda paling depan, guna mengabadikan fakta-fakta yang terjadi melalui kameranya.


CIRI-CIRI

Selain itu fotojurnalistik juga dapat didefinisi dengan menyimpulkan ciri-ciri yang melekat pada gambar (foto) yang  dihasilkan, antara lain:

- Memiliki nilai berita atau menjadi berita itu sendiri.
- Melengkapi suatu berita/artikel.
- Dimuat dalam suatu media (cetak, online).
- Disajikan secara jujur.



KATAGORI

Menurut World Press Photo Foundation, penyelenggara lomba tahunan tentang fotojurnalistik di tingkat dunia mengelompOkkan  fotojurnalistik menjadi beberapa kategori di antaranya adalah:

Spot news
Foto-foto insidential/tanpa perencanaan sebelumnya, (contohnya: foto bencana, kerusuhan, teror bom, pembunuhan, tabrakan  kereta api, perkelahian dll).

General news
Foto yang telah terjadwal sebelumnya (contoh: Sidang Umum MPR, Piala dunia, PON, Presiden meremikan bendungan, pembukaan  pameran perumahan dll. Dalam penyajiannya lebih luas mencakup Politik, ekonomi, pertahanan, humor dsb.

People in the News
Adalah sebuah sajian foto tentang manusia (orang) yang menjadi sorotan di sebuah berita. Kecenderungan yang disajikan lebih  ke profil atau sosok seseorang . Bisa karena kelucuannya, ketokohannya, atau justru salah satu dari korban aksi teror,  kurban bom dsb.

Daily life
Tentang segala aktifitas manusia yang mampu menggugah perasaan dalam kesehariannya, lebih ke human interest. Contohnya:  seorang tua yang sedang menggendong beban yang berat, pedagang makanan dll.

Sosial & Environment
Foto yang menggambarkan tentang sosial kehidupan masyarakat dengan lingkungan hidupnya.

Art and Culture
Foto yang dibuat menyangkut seni dan budaya secara luas, seperti pertunjukkan balet, pertunjukan yang terkait dengan  masalah budaya dan musik dsb.

Science & Technology
Foto yang menyangkut perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan di muka bumi. Misalnya penemuan situs purbakala, klonning  domba, pemotretan organ tubuh, proses operasi seorang pasien dsb.

Portraiture
Foto yang menggambarkan sosok wajah seseorang baik secara clouse up maupu secama medium shot. Foto ditampilkan karena  kekhasan pada wajah yang dimilikinya.Sport : Foto-foto yang dibuat dari peristiwa olahraga dari seluruh cabang olehraga apa  saja. Baik olahraga tradisional maupun olahraga yang telah banyak dikenal oleh awam.
Dari berbagai kategori yang telah disebutkan di atas World Press Photo Foundation selalu membagi dengan jenis foto single  (foto tunggal) foto stories (foto bercerita). Seorang fotojurnalis (fotografer) diberikan keleluasaan yang lebih luas untuk  dapat memnyampaikan isu-isu yang sedang berkembang di seluruh dunia, melalui karya foto. dodo hawe, berbagai sumber.


FOTO YANG SUKSES

Batasan sukses atau tidaknya sebuah foto jurnalistik tergantung pada persiapan yang matang dan kerja keras bukan pada  keberuntungan.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada foto yang merupakan hasil dari "being in the right place at the right time". Tetapi  seorang jurnalis profesional adalah seorang jurnalis yang melakukan riset terhadap subjek,mampu menetukan peristiwa  potensial dan foto seperti apa yang akan mendukungnya (antisipasi). Itu semua sangat penting mengingat suatu moment yang  baik hanya berlangsung sekian detik dan mustahil untuk diulang kembali.

Etika, empati, nurani merupakan hal yang amat penting dan sebuah nilai lebih yang ada dalam diri jurnalis foto.

Seorang jurnalis foto harus bisa menggambarkan kejadian sesungguhnya lewat karya fotonya, intinya foto yang dihasilkan  harus bisa bercerita sehingga tanpa harus menjelaskan orang sudah mengerti isi dari foto tersebut dan tanpa memanipulasi  foto tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar