Kamis, 27 September 2012

PON 2012: Antara Prestasi, Prestise dan Frustasi

Pekanbaru - Pekan Olahraga Nasional XVIII di Riau telah ditutup secara resmi oleh Wapres Boediono, Kamis malam (20/9), namun agaknya masih menyisakan sejumlah persoalan serius bagi bangsa ini. Persoalan krusial tersebut, antara lain terkait dengan tindak pidana korupsi yang diduga melibatkan sejumlah pejabat dan anggota dewan di daerah dan pusat, termasuk di dalamnya Ketua Panitia PON yang juga Gubernur Riau, Rusli Zainal. Entah informasi dari mana, namun di kalangan masyarakat Riau sudah menyebar khabar bahwa satu bulan atau dua bulan usai PON, maka sejumlah pejabat dimaksud akan dijadikan tersangka oleh KPK. Pernyataan seperti itu kadang-kadang dikemukakan oleh para sopir, Satpam ataupun pegewai pemerintah di Riau, tanpa ditanya jika menyinggung tentang PON. Masalah krusial lain terkait munculnya "gugatan untuk menghapus PON". Gugatan ini lahir akibat besarnya dana untuk pelaksanaan pesta olahraga 'multievent' itu. Terjadinya berbagai penyimpangan (korupsi, kolusi dan nefotisme/KKN) dianggap karena pelaksaan PON membutuhkan dana tidak sedikit. Sementara sistem pengawasan masih lemah, serta belum didukung oleh suprastruktur (peraturan teknis) yang efektif dalam mencegah penyimpangan itu. Dana begitu besar untuk pelaksaan PON bisa dilihat dari dua kali Pekan Olahraga Nasional itu dalam tahun-tahun terakhir ini. Misalnya, PON XVII-2008 Kaltim, dana yang dikeluarkan sekitar Rp4,6 triliun, sedangkan PON XVIII-2012 Riau adalah Rp2,2 triliun. Dana mencapai Rp4,6 triliun (PON 2008 Kaltim) itu misalnya, melebihi APBD yang dimiliki belasan provinsi di Indonesia, sebut saja APBD Nusa Tenggara Timur 2012 hanya Rp2,2 triliun atau setara dengan biaya PON XVIII-2012 Riau. Artinya, biaya untuk melaksanakan PON 2012 di Riau, setara dengan biaya untuk membangun berbagai fasilitas serta roda pemerintahan di NTT selama satu tahun. Tidak heran, Wakil Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Utut Adianto di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, belum lama ini meminta agar pemerintah mempertimbangkan untuk menghapus PON. Alasannya, penyelenggaraan PON selama ini dianggap selalu memberatkan APBD yang menjadi tuan rumah. "Yang paling krusial, setelah PON gedungnya tidak bisa dipelihara oleh daerah mana pun," kata Utut Adianto sambil menuturkan bahwa kini tidak ada negara selain Indonesia yang menggelar 'event' seperti PON. Negara yang terakhir menggelar 'event' seperti PON adalah Uni Soviet pada 1984. Pernyataan "Frustrasi" Pernyataan "frustrasi" Utut terhadap masa depan PON sebenarnya tidak perlu diutarakan, jika Indonesia tidak terkotak-kotak oleh kepentingan para pejabat itu sendiri yang sering melemparkan tanggung jawab karena ada istilah "pemerintah pusat" dan "pemerintah daerah". Sudah jelas PON merupakan agenda nasional yang seharusnya jadi tanggung jawab bersama (baik pemerintah pusat maupun daerah). Kenyataannya, daerah yang menyatakan siap jadi tuan rumah akan menanggung sendiri semua pembiayaannya, kalaupun ada dukungan pusat maka tidak proporsional, misalnya perlu peraturan yang mengatur komposisi 60 persen biaya daerah (APBD) dan 40 persen tanggungan pusat (APBN). Yang terjadi, hampir 100 biaya persiapan (termasuk membangun venues) ditanggung daerah, pusat hanya menangani urusan paling ringan, yakni terkait urusan teknis operasional pada pelaksaan PON. Bagi daerah "kaya" seperti Kaltim dan Riau, maka kepercayaan menjadikan daerah itu sebagai tuan rumah tidak semata-mata untuk mengejar prestasi, namun juga prestise. Lihat saja pada PON 2008. Kaltim dengan "sombong" membebaskan berbagai biaya bagi para tamu PON, mulai dari transportasi di daerah (dalam kota) dan akomodasi, termasuk bebas biaya tiket masuk pembukaan maupun penutupan PON. "Biar rugi asal terpuji, biar tekor asal kesohor". Motto mantan Ketua DPRD Kaltim Herlan Agussalim yang berduet dengan H. Suwarna (mantan gubernur Kaltim) yang menjadi pemegang kunci sukses PON 2008 itu dapat melukiskan semangat prestise Kalimantan Timur kala itu. Tokoh olahraga Kalimantan Timur Bahrid Buseng tidak sependapat dengan Utut Adianto karena menilai keberadaan PON harus terus dipertahankan karena sangat strategis bagi upaya memajukan dunia olahraga di tanah air ketimbang 'single event', seperti kejuaraan nasional. "Sudah jelas PON merupakan jenjang kita menuju 'event' lebih tinggi, misalnya SEA Games, Asian Games dan Olimpiade. Persiapan, pelaksaan serta arti strategis PON tentu tidak bisa disamakan dengan 'single event'," ujar Bahrid yang juga politisi dari Golkar Kaltim itu. "Saya pikir, pernyataan seperti itu hanya sikap frustrasi, harusnya sistem pelaksaan PON yang harus ditinjau ulang, khususnya pola pendanaannya, namun bukan menghapus kegiatan 'multievent' ini," ujar anggota DPRD Kaltim itu. Sesuai dengan semangat awal PON, maka 'event' ini tidak sekedar mengejar prestasi, namun juga bertujuan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa. "Ingat, kita jangan sampai melupakan sejarah serta tujuan luhur dari PON itu sendiri," ujar tokoh olahraga Kaltim yang lain, yakni H. Ajie Sofyan Alex yang sependapat bahwa PON masih dibutuhkan. Multiefek PON Hal lain yang sering terlupakan dari pelaksaan PON, khususnya bagi daerah pelaksana atau tuan rumah adalah multiefek berbagai bidang, khususnya bagi kemajuan daerah serta dampak sosial dan ekonomi. "Misalnya, PON XVII-2008 Kaltim memang mahal, tapi pernahkan kita terpikir dari multiefek kegiatan ini. Kita cenderung berhitung secara matematis nilai dana yang dikeluarkan untuk pembangunan venues namun kita sering lupa multiefek dari bidang pembangunan, sosial dan ekonomi kegiatan ini," kata Bahrid Ia mencontohkan bahwa banyak orang menilai pembangunan Stadion Utama Palaran --senilai 90 juta dolar AS atau sekitar Rp800 miliar yang setara dengan stadion-stadion kelas menengah di klub-klub Liga Eropa-- sebagai langkah sia-sia karena usai PON cenderung menjadi "monumen". "Stadion Utama mungkin bisa saja jadi monumen jika tidak dikelola dengan benar namun keberadaan bangunan ini telah memberikan nilai luar biasa terhadap perkembangan ekonomi rakyat sekitarnya karena terbukanya akses bagi lahan yang dulu terlantar, harga tanah di sekitar ini melonjak tajam, serta perekonomian rakyat berjalan baik dengan mulusnya jalan di sekitar stadion. Padahal tadinya daerah ini hanya merupakan lahan-lahan kritis yang terlantar," ujar dia. Kondisi serupa terjadi pada lima daerah lain di Kaltim yang ditunjuk menjadi kota penyelenggara PON XVII-2012 Kaltim. "Penetapan sejumlah daerah menjadi kota penyelenggara PON ternyata berdampak sangat positif bagi kemajun pembangunan kota dan perekonomian rakyat setempat. Nilai rupiah untuk pelaksaan PON ternyata tidak sebanding dengan dampak positif atau multiefek dari penetapan suatu daerah sebagai tuan rumah PON," ujar Sofyan Alex. Tampaknya, PON masih sangat dibutuhkan bangsa Indonesia, khususnya dalam upaya pemerataan pembangunan tidak hanya tersentralisasi di Jakarta atau Pulau Jawa, mengingat pada masa lalu, PON hanya digilir di Jakarta dan wilayah-wilayah di Pulau Jawa. Dari pandangan ini jelas bahwa arti strategis PON bukan sekedar mengejar prestasi di bidang olahraga, namun juga prestasi di bidang pemerataan pembangunan. Kunci sukses 'multievent' ini sebenarnya sederhana, yakni pusat juga harus bertanggung jawab penuh dalam persiapan dan pelaksaan PON. Bukan menyerahkan semua tanggung jawab pendanaan bagi daerah (APBD) mengingat lebel 'even't ini memang "nasional", bukan POD (Pekan Olahraga Daerah). (Datiz)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar