Sabtu, 22 Desember 2012

Kaltara, Asa Mensejajarkan Diri

AKHIR
Oktober 2012 menjadi hari bersejarah bagi NKRI karena Ibu Pertiwi melahirkan anak termudanya, yakni Kalimantan Utara, yang resmi menjadi provinsi ke-34. DPR RI mengesahkan Provinsi Kaltara (Kalimantan Utara) pada 25 Oktober 2012 yang meliputi lima daerah, yakni Kabupaten Bulungan (Ibu Kota Provinsi Kaltara), Kota Tarakan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, dan Kabupaten Tana Tidung (KTT). Berbeda dengan daerah lain (tingkat provinsi) yang masih belum disetujui untuk dimekarkan, maka Provinsi Kaltara memiliki arti strategis. Paling utama, daerah tersebut berbatasan langsung dengan Sabah dan Serawak (Malaysia bagian timur) sehingga banyak kalangan berpendapat wajar pemerintah dan DPR RI memprioritaskan Kaltara menjadi daerah otonomi baru yang terpisah dari Provinsi Kalimantan Timur. Menengok ke belakang, maka lahir Kaltara bisa diartikan sebagai jawaban dari janji Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sejak awal kepemimpinannya sudah berulang kali bertekad mengatasi berbagai masalah wilayah perbatasan. Janji SBY itu, di antaranya disampaikan dalam pidato kenegaraan 15 Agustus 2008. Dalam pidato panjang itu, Presiden SBY memang hanya menyinggung wilayah perbatasan dalam dua alenia meskipun dengan nada berapi-api serta menekankan pendekatan aspek ekonomi (kesejahteraan rakyat) serta pendekatan aspek keamanan. SBY dalam pidato itu memaparkan bahwa, "Dalam menegakkan kedaulatan negara, kebijakan pertahanan negara kita arahkan pada peningkatan profesionalisme dan kemampuan TNI. Kemampuan pertahanan negara, juga terus kita tingkatkan, antara lain dengan pemeliharaan kekuatan pokok minimum (minimum essential force), kesiapan alutsista, dan terselenggaranya latihan secara teratur. Pada bulan Juli lalu, telah dilaksanakan Latihan Gabungan TNI yang pertama sejak tahun 1996. Latihan gabungan ini, harus dilakukan secara berkala, agar Prajurit dan Satuan TNI tetap siaga, profesional, dan berkemampuan tinggi, untuk mempertahankan setiap jengkal wilayah kedaulatan NKRI". "Khusus pembangunan wilayah perbatasan, kita lakukan melalui pendekatan beberapa aspek, terutama aspek demarkasi dan delimitasi garis batas Negara, disamping melalui pendekatan pembangunan kesejahteraan, politik, hukum, dan keamanan. Prinsipnya adalah, wilayah perbatasan kita harus dianggap sebagai beranda depan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan bukannya halaman belakang negara kita," ujar SBY. Dari sisi kebijakan, maka arah pembangunan wilayah perbatasan pada Pemerintahan Presiden SBY tampaknya sudah tepat, yakni tidak hanya pada pendekatan keamanan, namun juga pendekatan ekonomi. Belajar dari pengalaman pada Pemerintahan Presiden HM. Soeharto, pembangunan dan perekonomian wilayah perbatasan sangat tertinggal selama 32 tahun --meskipun memiliki potensi ekonomi dari sumber daya alam serta letak yang strategis-- diduga karena Pemerintahan Orde Baru hanya menggunakan pendekatan dengan aspek keamanan. Dalam aplikasinya, kebijakan Pemerintahan SBY itu yang tidak berjalan sesuai harapan meskipun ia mengamanahkan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal untuk menangani langsung wilayah perbatasan. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal sudah memprogramkan prioritas pembangunan 27 kabupaten yang berbatasan dengan negara lain, termasuk daerah di utara Kaltim. Kenyataannya, program itu tidak berjalan baik sehingga kondisi wilayah perbatasan tetap tidak berubah meskipun di Indonesia sudah lima kali ganti kepala negara. "Di balik berbagai kelemahan dalam mengatasi masalah perbatasan, maka sikap pemerintahan sekarang yang sangat mendukung terbentuk Kaltara adalah cerminan 'political will' (kemauan politik) SBY untuk memenuhi komitmennya," kata Wakil Ketua DPRD Kalimantan Timur H. Ajie Sofyan Alex. ======================Arti Strategis Kaltara===================================== Langkah Presiden SBY yang sangat mendukung terbentuknya Kaltara sejalan dengan keinginan warga utara Kalimantan Timur dalam mengatasi berbagai masalah di wilayah perbatasan. Selama ini, kondisi pembangunan wilayah perbatasan sangat tertinggal ketimbang daerah lain di Kalimantan Timur. Pada gilirannya, wilayah yang minim dengan infrastruktur perhubungan dan komunikasi itu menjadi kawasan empuk bagi pelaku tindak kejahatan yang diperkirakan merugikan negara hingga triliunan rupiah per tahun. Tindak kejahatan yang secara ekonomis sangat merugikan negara antara lain dari kegiatan pembalakan liar, penambangan tanpa izin, pencurian ikan, penyelundupan, peredaran narkoba dan TKI ilegal. Selain kasus tersebut, ketertinggalan pembangunan perbatasan melahirkan dua bentuk kejahatan lain yang sangat merugikan bagi Indonesia, yakni kawasan perbatasan diduga menjadi pintu gerbang keluar masuk teroris serta ancaman kehilangan wilayah teritorial. Khusus ancaman bagi kedaulatan negara NKRI ini, Indonesia sudah pernah mengalami pengalaman pahit saat Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di perairan utara Kalimantan Timur hilang dari pangkuan Ibu Pertiwi akibat Pemerintah Indonesia kalah berperkara melawan Pemerintah Diraja Malaysia melalui Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda pada 2002. Setelah kasus ini, ancaman bagi kedaulatan RI masih terjadi, yakni terkait klaim sepihak Malaysia terhadap blok Migas di Perairan Ambalat atau kawasan Karang Unarang, perairan utara Kalimantan Timur. Kasus teritorial itu, bukan hanya pada kawasan perairan namun seperti pernah dilaporkan oleh Kodam VI/Tanjungpura --kini Kodam VI Mulawarman-- bahwa patok perbatasan sempat bergeser beberapa kilometer diduga akibat aktivitas pembalakan liar oleh cukong dari negeri jiran yang menggunakan alat berat. Pengamat perbatasan dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Prof Sarosa Hamongpranoto, SH Mhum dan Wakil Ketua DPRD Kaltim H. Ajie Sofyan Alex sepakat bahwa keberadaan Provinsi Kalimantan Utara sangat strategis dalam mengatasi berbagai persoalan wilayah perbatasan di utara Kaltim. "Berbagai kasus di kawasan perbatasan, seperti 'illegal logging', 'illegal fishing', 'illegal mining', penyelundupan dan masalah tenaga kerja ilegal marak terjadi akibat lemahnya pengawasan. Pengawasan itu lemah akibat wilayah Kalimantan Timur terlalu luas," kata Sarosa. Kalimantan Timur yang luas wilayah 1,5 kali Pulau Jawa plus Pulau Madura memiliki garis perbatasan darat yang harus mendapat pengawasan ketat mencapai 1.038 Km dengan kondisi jalan sangat memprihatinkan. Kondisi tersebut menyebabkan prajurit TNI tidak bisa optimal mengawasi perbatasan darat di wilayah utara Kaltim meskipun terdapat sekitar 20 pos pengawasan perbatasan. "Tidak hanya gagal dalam pendekatan dengan aspek keamanan namun pendekatan dengan aspek ekonomi juga tidak membuahkan hasil. Pada gilirannya, berbagai aksi kejahatan di wilayah perbatasan justru melibatkan warga kita, alasan utamanya tentu terkait urusan ekonomi," kata Sarosa. Kenyataannya memang demikian, berbagai aksi kejahatan yang merugikan negara yang diperkirakan hingga triliuan rupiah per tahun melibatkan warga Indonesia, bahkan bukan hanya warga biasa akan tetapi juga oknum aparat. Misalnya, aksi pencurian ikan di perairan Sebatik, Kabupaten Nunukan hampir semuanya merupakan nelayan warga Indonesia akan tetapi kegiatan mereka dimodali oleh cukong dari Tawau, Sabah. Demikian juga pada kasus pembalakan liar (illegal logging) dan penyelundupan, hampir semua pelakunya WNI akan tetapi pemodalnya dari Malaysia. "Harapan kita, dengan terbetuknya Provinsi Kaltara maka pengawasan di wilayah perbatasan akan lebih ketat, yakni dengan terbentuknya sebuah provinsi, maka akan dibentuk pula berbagai lembaga, badan dan instansi setingkat provinsi. Misalnya, pembentukan Polisi Daerah (Polda), Komando Resort Milite (Korem), Kantor Bea Cukai dan lembaga lain yang terkait masalah pengawasan dan percepatan pembangunan kawasan itu," ujar Sarosa. Senada dengan hal itu, Sofyan Alex, politisi dari PDI Perjuangan Kaltim menilai bahwa keberadaan Kaltara sangat strategis baik dalam mengatasi masalah keamanan maupun percepatan pembangunan serta pengembangan perekonomian kawasan perbatasan. "Wilayah utara Kalimantan Timur yang sebagian wilayahnya berbatasan dengan Malaysia sebenarnya memiliki potensi sumber daya alam dan ekonomi sangat besar, tidak kalah dengan Kaltim namun selama ini pemanfaatannya belum optimal sehingga dengan status sekarang (Kaltara), diharapkan pengelolaannya bisa lebih maksimal," ujar Sofyan Alex. Hal itu, katanya, karena sesuai dengan tujuan pembentukan daerah otonomi baru, yakni memperpendek birokrasi, mendekatkan pelayanan serta mengintensifkan pembangunan. =============================Dukungan Teknis================================== "Posisi Provinsi Kaltara yang strategis karena berbatasan langsung dengan Malaysia harus bisa dioptimalkan. Contohnya, perdagangan antarnegara di utara Kalimantan Timur tersebut, selama ini berjalan secara tradisional. Namun, diharapkan nantinya bisa berjalan sesuai standar perdagangan global sehingga bermanfaat besar bagi devisa negara," kata Sofyan Alex. "Agar sasaran pembentukan Provinsi Kaltara ini bisa optimal dalam mengatasi masalah perbatasan, maka sebaiknya Pemerintahan Presiden SBY tidak sebatas memberikan dukungan politik namun juga teknis," ujar Sofyan Alex. "Dukungan politik sudah semestinya, mengingat kewenangan dalam menjaga wilayah kesatuan RI adalah tanggung jawab pusat, misalnya dukungan dana dan sumber daya (pengerahan pasukan TNI) bagi pengamanan wilayah perbatasan karena menyangkut kedaulatan kita," ujarnya. Sementara dukungan teknis, ujar Alex, yakni Presiden SBY diharapkan mengeluarkan kebijakan untuk mempertegas arah pembangunan kawasan itu, misalnya dituangkan dalam Perpres (peraturan presiden) terkait percepatan pembangunan. "Percepatan pembangunan kawasan perbatasan memang mendesak. Kondisi sekarang, kita seperti melihat langit dan bumi, disparitas pembangunan begitu tajam antara wilayah Indonesia di Sebatik, Nunukan dan Kutai Barat ketimbang kemajuan di Tawau, Sabah maupun Serawak," ujarnya. Sofyan Alex optimistis berbagai tindak kejahatan akan berkurang dengan sendirinya jika optimalisasi potensi ekonomi serta percepatan pembangunan berjalan baik. "Warga kita masih tergiur menjadi TKI karena gaji di Malaysia lebih tinggi namun orang enggan ke negeri jiran jika gaji yang ditawarkan di sini nilainya kurang lebih dengan Malaysia. Padahal, potensi perkebunan di wilayah utara Kaltim lebih luas dari Tawau atau Sabah namun belum dimanfaatkan secara optimal," ujarnya. Begitu pula potensi perikanan dan kelautan yang justru dimanfaatkan para cukong Malaysia akibat nelayan Indonesia mengalami keterbatasan fasilitas dan permodalan. Para nelayan tersebut terpaksa menjual hasil tangkapannya ke wilayah Malaysia karena dimodali oleh cukong ikan Malaysia. Tampaknya, masih banyak "PR" bagi Presiden SBY dalam mengatasi berbagai masalah di kawasan perbatasan, khususnya di utara Kalimantan Timur meskipun Provinsi Kaltara sudah terbentuk. Harapan warga utara Kalimantan Timur, agar Presiden SBY memanfaatkan dua tahun sisa kepemimpinannya sebagai momentum untuk mengentaskan masalah-masalah klasik di kawasan paling ujung negeri itu, bukan sebatas rotika membangun beranda negara pada setiap pidato kenegaraan.

Sabtu, 24 November 2012

Asa Teluk Balikpapan

Keberadaan Teluk Balikpapan bagi kebanyakan orang tidaklah terlihat istimewa. Sama seperti di daerah lain pada kawasan pesisir Kalimantan. Sepanjang mata memandang hanya terlihat hamparan hijau pohon mangrove, garis pantai berlumpur serta kehidupan benih ikan, udang dan kepiting dalam kedangkalan air payau di antara akar-akar pohon "Rhizophoraceae" sehingga seperti box bayi bagi biota laut itu. Namun, jangan salah sangka, ekologi hutan mangrove di pesisir Kalimantan Timur itu bisa menghadirkan "cerita misteri" namun juga bisa membuka tirainya untuk pertunjukan "drama kehidupan liar satwa langka yang eksotis dan mencenangkan". Cerita misteri maupun pertunjukan drama itu seperti kian meningkatkan "kasta" Teluk Balikpapan dalam sektor ekologis, khususnya kekayaan "bio diversity" (keanekaragaman hayati) luar biasa di kawasan pesisir Kalimantan Timur bagian selatan tersebut. Contohnya, misteri kehidupan Duyung (Dugong Dugon) di Teluk Balikpapan, yakni pada 1996 telah diusulkan bahwa "si Putri Duyung" telah punah di Bumi Kalimantan. Tapi, empat tahun kemudian atau 2000, Yayasan RASI (Rare Aquatic Species Indonesia) menemukan denyut kehidupan liar mamalia itu di Teluk Balikpapan. Populasi Duyung memang tidak hanya di Teluk Balikpapan namun pada beberapa daerah di perairan Indonesia kondisinya nyaris sama sehingga satwa ini dianggap mamalia langka perairan yang benar-benar terancam punah. Pada belahan dunia di lain kawasan, Duyung terdapat pula di Madagaskar, Afrika Timur, India dan Australia. Data pasti populasi satwa ini di perairan Indonesia belum ada meskipun beberapa ilmuwan memperkirakan hanya tinggal 1.000 sampai 10.000 ekor. Para ilmuwan hanya sepakat bahwa populasinya memang kian menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir. Di Indonesia hanya terdapat di Teluk Balikpapan, Kotawaringin, Pulau Karimata, Teluk Kumai dan Kepulauan Derawan. Banyak orang salah mengartikan jika Duyung adalah ikan, mengingat satwa itu tidak bernafas dengan insang namun paru-paru serta berkembang-biak dengan menyusui anaknya. Meskipun sama-sama satwa mamalia namun Duyung tidak sama dengan jenis lumba-lumba. Anatomi duyung lebih mirip dengan gajah. Perbedaan lain, jika lumba-lumba makan ikan sedangkan Duyung termasuk jenis herbivora. Dulunya, Si Putri Duyung itu diburu oleh para nelayan karena ada anggapan bahwa mamalia ini jika ditangkap akan mengeluarkan air mata. Para nelayan akan mengambil dan menyimpan ke dalam botol kecil air mata si putri karena dipercaya bisa menjadi bahan untuk minyak pelet. Tulang-tulang mamalia ini juga diambil untuk campuran obat-obatan tradisional yang belum pernah dibuktikan secara medis dan ilmu pengetahuan. Kini, kondisi Si Putri Duyung di Teluk Balikpapan ternyata setiap hari kian terancam. Ancaman utama terkait ulah manusia yang merusak habitatnya di Teluk Balikpapan. Kerusakan padang lamun kini menjadi ancaman serius mamalia langka itu karena merupakan pakan utama duyung. Lamun menghilang akibat berbagai aktivitas manusia sehingga terjadi sedimentasi dan polusi kimia. Teluk Balikpapan memiliki luas daerah aliran sungai (DAS) 211.456 hektar dan perairan seluas 16.000 hektar. Ancaman Teluk Balikpapan "Misteri" lain yang tersembunyi di balik selimut hijau mangrove Teluk Balikpapan yang baru-baru ini terungkap, yakni tentang arti strategis hutan dataran rendah itu adalah sebagai Rumah (habitat) dari 1.400 ekor Bekantan atau monyet hidung panjang. Ternyata dengan populasi itu, maka Bekatan di Teluk Balikpapan menjadi sangat penting karena menjadi lokasi terbanyak di dunia monyet hidung panjang yang masih bertahan di habitatnya, atau mewakili lima persen primata berbulu kuning itu di seluruh dunia. Kerusakan lingkungan pada hutan mangrove yang menjadi habitatnya berarti mengancam langsung kelestarian Bekantan di seluruh dunia. Misteri berikutnya yang selama ini seperti menjadi "harta karun" (potensi keanekaragaman hayati) yang tersimpan dalam perairan Teluk Balikpapan adalah ditemukan kawasan Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris). Awalnya, para peneliti memperkirakan satwa mamalia air itu adalah lumba-lumba namun setelah diteliti lebih mendalam ternyata Pesut. Pasalnya, selain Pesut selama ini dianggap hanya ada di Sungai Mahakam, juga ekosistem Teluk Balikpapan adalah air payau (asin) bukan air tawar seperti habitat Pesut yang selama ini diketahui masyarakat. Para ilmuwan memperkirakan bahwa populasi Pesut di Teluk Balikpapan sekitar 60-140 ekor. Muara Tempadung merupakan habitat yang sangat penting bagi pesut, sebagai daerah pencarian ikan dan migrasi. Teluk Balikpapan masih banyak hutan primer, hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Habitat satwa liar juga banyak, seperti bekantan sekitar 1.400 ekor, pesut laut 60-140 ekor, 300 jenis burung, 100 mamalia, lebih dari 1.000 pohon. Kawasan ini juga menjadi habitat beruang madu, macan dahan, duyung, buaya muara dan penyu hijau. Mangrove di kawasan ini ada sekitar 40 jenis, separuh dari yang ada di Asia, dengan ketinggian pohon ada mencapai lebih dari 20 meter. Ada beberapa kawasan pesisir kawasan itu yang masih terjaga seperti di Sungai Wain yang menjadi habitat Orangutan (Pongo pygmaues). Ancaman utama bagi kelestarian Teluk Balikpapan justru timbul oleh kegiatan pembangunan sektor lain, khususnya sektor industri, perkebunan, pertambangan dan infrastruktur jalan dan jembatan. Bidang industri misalnya, maka pembabatan hutan terjadi karena daerah itu dijadikan Kawasan Industri Kariangau (KIK) sesuai usulan Kapet Sasamba (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu, Samarinda-Sangasanga-Muara Jawa-Balikpapan) --selaku konsultan Pemprov Kaltim-- maka mencapai 2.189 hektar meliputi Teluk Kariangau sampai Teluk Waru (Penajam Paser Utara). Malah, Dinas Pekerjaan Umum Kaltim membuat usulan baru agar KIK diperluas menjadi 5.130 hektar dari arah Hulu sampai Pulau Balang. Celakanya, usulan ini kemudian diakomodir dalam usulan revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Balikpapan 2011-2031. Kian padat aktifitas baik di darat maupun di perairan Teluk Balikpapan, antara lain kehadiran kapal nelayan yang terus bertambah, pembangunan pelabuhan perusahaan batu bara serta pengeboran Migas membuat berbagai satwa langka di kawasan itu makin terdesak. Pengeboran minyak misalnya, menjadi ancaman sangat serius bagi kelestarian Pesut laut di Teluk Balikpapan karena merusak sistem dalam mencari makanan (ikan) atau echolocation (sonar). Tidak jauh berbeda dengan Pesut, Si Putri Duyung juga terancam akibat kepadatan lalu lintas kapal di Teluk Balikpapan yang terus meningkat. Ditambah dengan banyak kasus pencemaran seperti pembuangan oli, pengecatan serta pembersihan kapal ketika berada di pelabuhan. Kondisi itu menjadi sumber polutan yang membunuh rumput laut dan bisa dapat menyebabkan keracunan pada duyung. Bagi pemerintah daerah, menghadapi posisi dilematis menghadapi persoalan itu, yakni benturan antara program pembangunan Jembatan Pulau Balang dan jalan penghubungnya karena telah menelan ratusan miliar rupiah dengan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Jika berbagai infrastruktur telah terbangun dan dimanfaatkan, baik kawasan industri, jalan dan jembatan maka di depan mata sudah jelas terjadi perambahan besar-besaran. Kondisi itu pada gilirannya akan menimbulkan deforestasi dan degradasi ekosistem sehingga merusak integritas ekologi seluruh Teluk Balikpapan. Secercah Harapan Salah satu penggiat lingkungan yang selama ini meneliti berbagai kehidupan liar berbagai satwa langka di Teluk Balikpapan, yakni Stanislav Lhota termasuk orang yang masih optimistis bahwa kelestarian kawasan itu masih bisa diselamatkan. Lhota yang juga seorang peneliti dari Departemen Zoologi, Universitas South Bohemia Republik Chechnya mengaku sudah menyampaikan berbagai hal, termasuk pemikiran dan solusi untuk menjaga kelestarian Teluk Balikpapan kepada pemerintah daerah setempat (Pemkot Balikpapan, Pemkab PPU dan Pemprov Kaltim) namun belum mendapat respon positif. Tetapi, Hal itu tidak melemahkan semangatnya untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati Teluk Balikpapan. Bahkan, akhirnya kampanye internasional melalui berbagai media dalam upaya penyelamatan keanekaragaman hayati Teluk Balikpapan, Kaltim kini berdampak positif. Tanggapan itu, misalnya beberapa perusahaan yang selama ini dituding mengabaikan sektor lingkungan kini mulai menghentikan kegiatan yang dianggap keliru itu. Ia menambahkan bahwa itu berita penting terkait kampanye untuk menyelamatkan Teluk Balikpapan dari ancaman ekspansi industri, tampaknya bahwa komunitas internasional kebangkitan pada akhirnya. "Kegiatan perusahaan di sana telah mulai menghancurkan hutan mangrove dan meracunkan air laut di sepanjang pantai Teluk Balikpapan," ujar dia. Ada dua perusahaan yang ia sebutkan, yakni PT. Mekar Bumi Andalas (anak perusahaan Wilmar Group) dan PT. Dermaga Kencana Indonesia (anak perusahaan dari Kencana Agri Ltd Group) yang sedang melakukan kegiatan di kawasan itu. "Ada kemungkinan besar bahwa perusahaan-perusahaan besar akan peduli dengan hilangnya reputasi yang baik dan memburuknya hubungan masyarakat. Memang, Wilmar sudah menanggapi kampanye dan menganggap serius menghentikan setiap pengembangan lebih lanjut di Teluk Balikpapan," ujar Lhota. Lhota menilai bahwa memang butuh dukungan semua pihak baik warga sekitar, swasta, dewan dan pemerintah daerah dalam penyelamatan lingkungan Teluk Balikpapan. Setidaknya, sementara ini, melalui kampanye internasional itu terlihat secercah harapan bagi kelestarian berbagai satwa langka yang selama ini menjadikan Teluk Balikpapan sebagai rumahnya, termasuk si Putri Duyung, mamalia langka yang paling terancam punah di perairan Indonesia.

Senin, 05 November 2012

Hendarji: PON berarti strategis Bentuk Kakarter Bangsa

Samarinda - Mantan Wakil Ketua I (Bidang Pembinaan Prestasi Olahraga) KONI Pusat Hendardji Soepandji menilai bahwa apapun alasannya maka tidak ada dalih pembenaran yang tepat untuk menghapus Pekan Olah Raga Nasional (PON). "Tidak ada 'event' skala nasional yang begitu banyak melibatkan orang, juga bisa mempertemukan dan mempersatukan berbagai suku, berbagai bahasa bahasa daerah, berbagai golongan, berbagai agama seperti PON," kata kata mantan salah satu kandidat gubernur DKI Jakarta 2012-2017 itu di Samarinda, akhir pekan ini. Hal itu diungkapkannya Ketua Umum Organisasi induk karate se-Indonesia (Forki) tersebut menanggapi pernyataan Wakil Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Utut Adianto di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, belum lama ini yang meminta agar pemerintah mempertimbangkan untuk menghapus PON. Alasan Utut, penyelenggaraan PON selama ini dianggap selalu memberatkan APBD yang menjadi tuan rumah. persoalan paling krusial, imbuh Utut adalah setelah PON gedungnya tidak bisa dipelihara oleh daerah mana pun. Utut menambahkan bahwa kini tidak ada negara selain Indonesia yang menggelar event seperti PON. Negara yang terakhir menggelar "event" seperti PON adalah Uni Soviet pada 1984. "Semua orang yang hadir dalam acara PON, baik atlet, pelatih, ofesial dan penggembira tidak ada yang mempersoalkan suku, golongan dan agama, semuanya menggunakan bahasa satu, yakni upaya bangsa Indonesia menunjukan sportifitasnya dan bersaing secara jujur dan bermartabat," ujar Mayjen TNI Purnawiran Hendardji yang pernah menjadi Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) 2006 juga Asisten Pengamanan Kepala Staf Angkatan Darat pada 2008. "Hanya olaraga yang bersih dari persaingan yang tidak sehat karena sekali berbuat curang maka akan mendapat hukuman, dan yang terberat adalah sanksi sosial sehingga peran PON sangat strategis dalam membentuk karakter bangsa Indonesia," ujar lulusan Akademi Angkatan Bersenjata RI 1974 itu. "Apalagi, dari sejarahnya PON dibentuk untuk pemersatu bangsa Indonesia sehingga jika ingin menjadi bangsa besar, maka jangan sekali-sekali melupakan sejarah, " imbuh Mayjen TNI Purnawirawan itu mengutip kalimat Sang Praklamator Bung Karno. "Memang benar, seperti kita lihat selama 18 kali penyelenggaraannya, yakni terakhir PON 2012 di Riau belum lama ini banyak kelemahan di sana-sini namun seharusnya masalah itu yang diperbaiki agar kualitasnya terus meningkat, bukan meniadakan PON,¿ katanya menegaskan. Kunci Sukses Kaltim Menyinggung kunci sukses prestasi Kaltim dalam dua PON terakhir, ia menilai bahwa kunci utama sukses Kalimantan Timur pada dua kali Pekan Olahraga Nasional (PON) karena spirit juang luar biasa. "Spirit juang luar biasa ini yang saya lihat sebagai salah satu kunci sukses Kaltim pada dua PON terakhir ini," katanya. Selain itu dana pembinaan yang besar, ditambah program yang bagus akan kurang berarti jika tampa didukung oleh mental juang baik saat berlatih pada tahap bersiapan maupun saat tanding. Kaltim di PON XVIII-2008 Kaltim pada posisi tiga besar, dan PON XVIII-2012 Riau peringkat lima. Kaltim juga berhasil membina beberapa cabang olahraga yang didominasi oleh atlet lokal dengan prestasi sangat luar biasa, misalnya gulat yang cuma ditargetkan 10 emas namun dari 21 yang diperebutkan, 14 emas diraih atlet Kaltim. Bahkan, sepak bola berhasil mengukir sejarah karena selama ini tidak pernah masuk final ternyata meraih satu emas. "Salah satu upaya Kaltim dalam mendorong spirit atletnya, yakni dengan memberikan bonus besar," imbuhnya. Kaltim termasuk daerah terbesar memberikan bonus, yakni pada PON 2008 mencapai Rp150 juta dan PON 2012 sebesar Rp250 juta per medali emas.

Kamis, 27 September 2012

PON 2012: Antara Prestasi, Prestise dan Frustasi

Pekanbaru - Pekan Olahraga Nasional XVIII di Riau telah ditutup secara resmi oleh Wapres Boediono, Kamis malam (20/9), namun agaknya masih menyisakan sejumlah persoalan serius bagi bangsa ini. Persoalan krusial tersebut, antara lain terkait dengan tindak pidana korupsi yang diduga melibatkan sejumlah pejabat dan anggota dewan di daerah dan pusat, termasuk di dalamnya Ketua Panitia PON yang juga Gubernur Riau, Rusli Zainal. Entah informasi dari mana, namun di kalangan masyarakat Riau sudah menyebar khabar bahwa satu bulan atau dua bulan usai PON, maka sejumlah pejabat dimaksud akan dijadikan tersangka oleh KPK. Pernyataan seperti itu kadang-kadang dikemukakan oleh para sopir, Satpam ataupun pegewai pemerintah di Riau, tanpa ditanya jika menyinggung tentang PON. Masalah krusial lain terkait munculnya "gugatan untuk menghapus PON". Gugatan ini lahir akibat besarnya dana untuk pelaksanaan pesta olahraga 'multievent' itu. Terjadinya berbagai penyimpangan (korupsi, kolusi dan nefotisme/KKN) dianggap karena pelaksaan PON membutuhkan dana tidak sedikit. Sementara sistem pengawasan masih lemah, serta belum didukung oleh suprastruktur (peraturan teknis) yang efektif dalam mencegah penyimpangan itu. Dana begitu besar untuk pelaksaan PON bisa dilihat dari dua kali Pekan Olahraga Nasional itu dalam tahun-tahun terakhir ini. Misalnya, PON XVII-2008 Kaltim, dana yang dikeluarkan sekitar Rp4,6 triliun, sedangkan PON XVIII-2012 Riau adalah Rp2,2 triliun. Dana mencapai Rp4,6 triliun (PON 2008 Kaltim) itu misalnya, melebihi APBD yang dimiliki belasan provinsi di Indonesia, sebut saja APBD Nusa Tenggara Timur 2012 hanya Rp2,2 triliun atau setara dengan biaya PON XVIII-2012 Riau. Artinya, biaya untuk melaksanakan PON 2012 di Riau, setara dengan biaya untuk membangun berbagai fasilitas serta roda pemerintahan di NTT selama satu tahun. Tidak heran, Wakil Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Utut Adianto di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, belum lama ini meminta agar pemerintah mempertimbangkan untuk menghapus PON. Alasannya, penyelenggaraan PON selama ini dianggap selalu memberatkan APBD yang menjadi tuan rumah. "Yang paling krusial, setelah PON gedungnya tidak bisa dipelihara oleh daerah mana pun," kata Utut Adianto sambil menuturkan bahwa kini tidak ada negara selain Indonesia yang menggelar 'event' seperti PON. Negara yang terakhir menggelar 'event' seperti PON adalah Uni Soviet pada 1984. Pernyataan "Frustrasi" Pernyataan "frustrasi" Utut terhadap masa depan PON sebenarnya tidak perlu diutarakan, jika Indonesia tidak terkotak-kotak oleh kepentingan para pejabat itu sendiri yang sering melemparkan tanggung jawab karena ada istilah "pemerintah pusat" dan "pemerintah daerah". Sudah jelas PON merupakan agenda nasional yang seharusnya jadi tanggung jawab bersama (baik pemerintah pusat maupun daerah). Kenyataannya, daerah yang menyatakan siap jadi tuan rumah akan menanggung sendiri semua pembiayaannya, kalaupun ada dukungan pusat maka tidak proporsional, misalnya perlu peraturan yang mengatur komposisi 60 persen biaya daerah (APBD) dan 40 persen tanggungan pusat (APBN). Yang terjadi, hampir 100 biaya persiapan (termasuk membangun venues) ditanggung daerah, pusat hanya menangani urusan paling ringan, yakni terkait urusan teknis operasional pada pelaksaan PON. Bagi daerah "kaya" seperti Kaltim dan Riau, maka kepercayaan menjadikan daerah itu sebagai tuan rumah tidak semata-mata untuk mengejar prestasi, namun juga prestise. Lihat saja pada PON 2008. Kaltim dengan "sombong" membebaskan berbagai biaya bagi para tamu PON, mulai dari transportasi di daerah (dalam kota) dan akomodasi, termasuk bebas biaya tiket masuk pembukaan maupun penutupan PON. "Biar rugi asal terpuji, biar tekor asal kesohor". Motto mantan Ketua DPRD Kaltim Herlan Agussalim yang berduet dengan H. Suwarna (mantan gubernur Kaltim) yang menjadi pemegang kunci sukses PON 2008 itu dapat melukiskan semangat prestise Kalimantan Timur kala itu. Tokoh olahraga Kalimantan Timur Bahrid Buseng tidak sependapat dengan Utut Adianto karena menilai keberadaan PON harus terus dipertahankan karena sangat strategis bagi upaya memajukan dunia olahraga di tanah air ketimbang 'single event', seperti kejuaraan nasional. "Sudah jelas PON merupakan jenjang kita menuju 'event' lebih tinggi, misalnya SEA Games, Asian Games dan Olimpiade. Persiapan, pelaksaan serta arti strategis PON tentu tidak bisa disamakan dengan 'single event'," ujar Bahrid yang juga politisi dari Golkar Kaltim itu. "Saya pikir, pernyataan seperti itu hanya sikap frustrasi, harusnya sistem pelaksaan PON yang harus ditinjau ulang, khususnya pola pendanaannya, namun bukan menghapus kegiatan 'multievent' ini," ujar anggota DPRD Kaltim itu. Sesuai dengan semangat awal PON, maka 'event' ini tidak sekedar mengejar prestasi, namun juga bertujuan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa. "Ingat, kita jangan sampai melupakan sejarah serta tujuan luhur dari PON itu sendiri," ujar tokoh olahraga Kaltim yang lain, yakni H. Ajie Sofyan Alex yang sependapat bahwa PON masih dibutuhkan. Multiefek PON Hal lain yang sering terlupakan dari pelaksaan PON, khususnya bagi daerah pelaksana atau tuan rumah adalah multiefek berbagai bidang, khususnya bagi kemajuan daerah serta dampak sosial dan ekonomi. "Misalnya, PON XVII-2008 Kaltim memang mahal, tapi pernahkan kita terpikir dari multiefek kegiatan ini. Kita cenderung berhitung secara matematis nilai dana yang dikeluarkan untuk pembangunan venues namun kita sering lupa multiefek dari bidang pembangunan, sosial dan ekonomi kegiatan ini," kata Bahrid Ia mencontohkan bahwa banyak orang menilai pembangunan Stadion Utama Palaran --senilai 90 juta dolar AS atau sekitar Rp800 miliar yang setara dengan stadion-stadion kelas menengah di klub-klub Liga Eropa-- sebagai langkah sia-sia karena usai PON cenderung menjadi "monumen". "Stadion Utama mungkin bisa saja jadi monumen jika tidak dikelola dengan benar namun keberadaan bangunan ini telah memberikan nilai luar biasa terhadap perkembangan ekonomi rakyat sekitarnya karena terbukanya akses bagi lahan yang dulu terlantar, harga tanah di sekitar ini melonjak tajam, serta perekonomian rakyat berjalan baik dengan mulusnya jalan di sekitar stadion. Padahal tadinya daerah ini hanya merupakan lahan-lahan kritis yang terlantar," ujar dia. Kondisi serupa terjadi pada lima daerah lain di Kaltim yang ditunjuk menjadi kota penyelenggara PON XVII-2012 Kaltim. "Penetapan sejumlah daerah menjadi kota penyelenggara PON ternyata berdampak sangat positif bagi kemajun pembangunan kota dan perekonomian rakyat setempat. Nilai rupiah untuk pelaksaan PON ternyata tidak sebanding dengan dampak positif atau multiefek dari penetapan suatu daerah sebagai tuan rumah PON," ujar Sofyan Alex. Tampaknya, PON masih sangat dibutuhkan bangsa Indonesia, khususnya dalam upaya pemerataan pembangunan tidak hanya tersentralisasi di Jakarta atau Pulau Jawa, mengingat pada masa lalu, PON hanya digilir di Jakarta dan wilayah-wilayah di Pulau Jawa. Dari pandangan ini jelas bahwa arti strategis PON bukan sekedar mengejar prestasi di bidang olahraga, namun juga prestasi di bidang pemerataan pembangunan. Kunci sukses 'multievent' ini sebenarnya sederhana, yakni pusat juga harus bertanggung jawab penuh dalam persiapan dan pelaksaan PON. Bukan menyerahkan semua tanggung jawab pendanaan bagi daerah (APBD) mengingat lebel 'even't ini memang "nasional", bukan POD (Pekan Olahraga Daerah). (Datiz)

Siapa Layak Jadi Juara Sejati PON 2012

Pekanbaru - Samarinda Kalimantan Timur akhirnya menduduki posisi lima besar pada PON XVIII-2012 di Riau yang resmi ditutup oleh Wapres Boediono di Pekanbaru, Kamis (20/9), yakni mampu meraih 136 medali (43 emas, 45 perak dan 48 perunggu) sesuai data resmi PB PON. Posisi 10 besar pada pesta akbar olahraga "multi-event" di tanah air itu, yakni DKI Jakarta (105 – 101 – 109 : 315), Jawa Barat (100 – 78 – 101 : 279), Jawa Timur (85 – 82 – 85 : 252), Jawa Tengah (47 – 52 – 67 : 166), Kalimatan Timur (43 – 45 – 48 : 136), Riau (42 – 39 – 51 : 132), Sulawesi Selatan (19 – 17 – 20 : 56) Sumatera Utara (15 – 19 – 21 : 55), Bali (15 – 16 – 29 : 60) dan Lampung (15 – 9 – 10 : 34). Posisi lima besar bagi Kaltim bisa dikatakan sebagai pencapaian yang prestisius seperti diungkapkan oleh Ketua Umum KONI Kaltim Harbiansyah Hanafiah,"Hasil ini sangat membanggakan, tentu berkat kerja keras semua pihak yang terlibat, termasuk berkat doa rakyat Kaltim". Posisi lima besar, tentu hal yang luar biasa bagi Kaltim karena harus bersaing ketat dengan salah satu provinsi di Pulau Jawa, yakni Jawa Tengah, bahkan dua hari menjelang berakhir event tersebut terjadi saling kejar posisi sehingga Kaltim dalam klasemen sementara sempat menduduki posisi empat besar sebelum kembali dislip oleh Jateng. Seperti menjadi "tradisi" bahwa posisi puncak" (elit lima besar) hanya akan diduduki oleh tiga provinsi di Pulau Jawa, yakni Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah ditambah oleh DKI dan tuan rumah. "Keberhasilan kita menduduki posisi lima besar bukan saja berkejaran klasemen dengan Jawa Tengah namun sukses melampaui tuan rumah Riau," ujarnya. Hal lain yang dianggap Harbiansyah yang juga merupakan "bos" (pemilik) Persisam Putra Samarinda itu sebagai pencapaian luar biasa adalah sukses cabang olahraga sepak bola yang masuk babak final serta menyumbangkan medali emas karena mampu melumpuhkan tim tangguh Sumatera Utara (1-0). "Keberhasilan tim sepakbola Kaltim ini benar-benar sangat monumental serta fenomenal karena sejak muda saya mengelola tim Kaltim tidak pernah meraih prestasi seperti ini, bahkan, saat menjadi tuan rumah PON XVII-2008 Kaltim, kita masuk semi final," ujar Harbiansyah dengan mata berkaca-kaca. Target Tiga Besar Jika berpatok kepada target yang ditetapkan oleh Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak, maka artinya dengan posisi lima besar itu maka Kaltim gagal mencapai prestasinya. Tetapi, perlu juga melihat "sejarah" (latar belakang) sehingga Gubernur Awang memasang target sangat tinggi itu, yakni berkaca kepada keberhasilan Kaltim mencatat sejarah dengan prestasi monumental dan fenomenal (tidak satupun daerah selain provinsi Pulau Jawa plus DKI Jakarta yang mampu meraihnya), yakni tiga besar pada PON XVII-2008 Kalimantan Timur. Bagi para insan olahraga (baik pengamat, pelatih maupun atlet) menilai bahwa target tiga besar sangat tidak masuk akal. Ada beberapa catatan yang membuat target tersebut dianggap tidak rasional, yakni alasan utamanya adalah terkait dengan posisi sebagai kontingen tamu di PON XVIII-2012 Riau. Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu kunci sukses Kalimantan Timur di PON XVII-2008 karena posisi sebagai tuan rumah sehingga tidak mengikuti babak prakualifikasi (Pra) PON. Kaltim benar-benar memanfaatkan keuntungan sebagai tuan rumah dengan menerjunkan sekitar 1000 atletnya pada PON 2008. Berbeda dengan di PON 2012 Riau, Kaltim hanya mengirimkan sekitar 470 atlet. Bahkan, sebagian kalangan justru pasimistis terhadap prestasi Kaltim di PON Riau, yakni dengan melihat perjalanan beberapa daerah yang begitu perkasa saat menjadi tuan rumah namun prestasinya hancur saat menjadi tim tamu. Sebut saja, perjalanan Sumatera Selatan yang masuk elit lima besar saat jadi tuan rumah PON XVI-2004 (30 emas, 41 perak dan 40 perunggu) namun terlempar jauh di posisi 14 pada PON XVII-2008 Kaltim (12 emas, 11 perak dan 17 perunggu). Kaltim yang pada PON XVi-2004 Sumatera Selatan hanya puas menduduki posisi sembilan dengan peraihan medali 19 emas, 28 perak dan 33, saat menjadi tuan rumah meloncat sangat tinggi karena masuk elit tiga besar setelah Jawa Timur dan DKI Jakarta dengan prestasi 116 emas, 111 perak dan 115 perunggu. Kekhawatiran bahwa Kaltim akan sama seperti Sumatera Selatan sempat kiat terasa pada beberapa hari mulai bergulirnya PON XVIII-2012 di Riau. Bahkan, mental sejumlah pelatih dan atlet serta anggota kontingen Kaltim sempat jatuh pada PON XVIII-2012 Riau karena selama empat hari pekan olahraga berlangsung, tidak satu atlet Kaltim yang mencatat namanya di papan angka sebagai peraih emas. Juara Sejati Ada pernyataan cukup menggelitik, usai PB (Panitia Besar) PON XVIII-2012 mengumumkan secara resmi posisi peraih medali terbanyak, yakni siapa sebenarnya "juara sejati" PON yang ke-18 itu. "Kaltim is the real champion" begitu salah satu pesan pada jejaring sosial saat tim sepakbola Kaltim mampu melumat tim tangguh Sumatera Utara 1-0 pada partai final untuk cabang olahraga paling merakyat itu di Stadion Kaharuddin Nasution Rumbai, Riau, satu hari menjelang penutupan PON atau 19 September 2012. Ucapan selamat baik melalui SMS maupun jejaring sosial meskipun dengan kalimat berbeda namun kebanyakan bermakna sama, yakni "Kaltim adalah juara sejati PON 2012". DKI Jakarta memang menduduki peringkat pertama karena peraih medali terbanyak, demikian pula Jawa Barat sudah menunjukkan prestasi karena hanya peringkat empat di PON 2008 mampu menduduki "runner up". Namun, prerstasi DKI Jakarta dan Jawa Barat ini dianggap oleh sejumlah pengamat olahraga tidaklah luar biasa. Daerah ini memiliki potensi atlet baik secara kuantitas maupun kualitas. Selain itu, didukung oleh pendanaan yang bukan saja dianggap proporsional namun sangat besar, bayangkan DKI Jakarta mengalokasikan dana Rp500 miliar dan Jawa Barat Rp250 miliar untuk persiapan (pemusatan latihan daerah) sampai pergelaran PON. Dana sebesar itu, menyebabkan DKI Jakarta dan Jawa Barat bisa menjalankan salah satu tahap persiapan yang strategis bagi atletnya, yakni menggelar pemusatan latihan daerah (Puslatda) dengan waktu pelaksanaan yang panjang (10 sampai 12 bulan) serta mengirimkan atletnya ke luar negeri untuk "try out" (latih tanding). Kaltim sebaliknya saat menghadapi PON 2012 dengan persiapan sangat terbatas. Usulan KONI Kaltim adalah sekitar Rp200 miliar namun disetujui (ditetapkan dalam anggaran) Rp80 miliar. Hal itu menyebabkan Puslatda yang semula diprogramkan selama sembilan bulan dipangkas menjadi enam bulan. Sejumlah program "try out" ke luar negeri juga ditinjau ulang, sehingga ada cabang yang semula merancang selama persiapan akan latih tanding tiga kali, menjadi satu kali atau tidak berangkat semasekali. Kekhawatiran lain, beberapa cabang olahraga yang menjadi andalan Kaltim juga ditiadakan pada PON Riau, yakni pada PON 2008 Kaltim tercatat 43 cabang olahraga sedangkan di "Provinsi Lancang Kuning" itu hanya 39 cabang olahraga. Dari empat cabang yang tidak dipertandingkan itu, yakni hoki, dansa, berkuda dan drum band, pada PON XVII-2008 Kaltim meraih 12 emas. Ditiadakan sejumlah cabang olahraga itu ternyata mampu ditutup oleh sukses beberapa cabang olahraga lain, sebut saja gulat, target hanya 10 emas mampu menyabet 14 emas dari 21 medali yang dipertandingkan, cabang olahraga senam yang tidak diperhitungkan ternyata menyumbang tiga emas. Prestasi paling monumental yang dianggap sebagai "gong" menjadikan "Kaltim sebagai juara sejati" tentu prestasi tim sepakbola yang meraih satu emas, apalagi melihat perjalanan kesebelasan Kaltim yang sempat terseok-seok oleh berbagai kepentingan di tubuh PSSI. Misalnya, Kaltim maju ke PON XVIII-2012 setelah menang WO atas Kalsel yang tidak datang pada laga "playoff". Pada PON 2012, di babak penyisihan, pertandingan Kaltim melawan Jawa Tengah molor sampai tiga jam sehingga harus digelar sampai tengah malam karena Rintangan intervensi PSSI pihak Djohar Arifin Husin yang menilai Kaltim tidak berhak tampil. (Datiz)
Berkaca dari perjalanan Kalimantan Timur itu sehingga menggapai posisi elit lima besar, maka tampaknya gelar "the real champion" untuk PON kali ini tidaklah berlebihan.

Rabu, 04 April 2012

Batu Bara Ancam Kelestarian Hutan Kalimantan

By Datu Iskandar Zulkarnaen (Datiz)
Samarinda- Pihak Departemen Kehutanan merilis data bahwa laju kerusakan hutan dalam beberapa dasawarsa terakhir sekitar dua juta hektar per tahun namun pihak Forest Wacth Indonesia (FWI) pernah melansir, pada 2001 hingga 2003 sudah sekitar tiga sampai empat juta hektar per tahun. FWI memperkirakan bahwa pada 2000 menunjukan tingkat kerusakan hutan Indonesia sudah sangat parah, yaitu sekitar 3,8 juta hektar per tahun. Kerusakan hutan kian parah pada 2000 diduga terkait dengan berlakunya dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yakni adanya kebijakan bupati/walikota mengeluarkan HPHH atau HPH skala kecil 100 Ha. Pada Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhasil menekan laju kerusakan hutan, yakni adanya kebijakan untuk mengurangi jumlah RKT (rencana kerja tahunan) yang semula mencapai lima juta M3 pertahun hingga sekitar satu juta meter kubik per tahun. Namun, ancaman terhadap kelestarian hutan ternyata belum berakhir karena kini muncul bukan dari sektor perkayuan atau tebang liar akan tetapi dari sektor pertambangan. Berlakunya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara kini membawa persoalan bagi kelestarian hutan diduga terkait dengan peraturan yang memperbolehkan kepala daerah (bupati dan walikota) mengeluarkan izin KP (kuasa penambangan). Data Distamben Kaltim menunjukan bahwa di provinsi itu kini terdapat 1.202 perusahaan batu bara, yakni 32 perusahaan mengantongi PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara) dan 1.180 memegang izin KP (Kuasa Pertambangan). Walhi Kaltim mengungkapkan data bahwa persoalan deforestrasi kian parah justru bukan dari sektor kehutanan karena terdapat 166 perusahaan pertambangan batu bara yang kini melakukan pinjam pakai kawasan hutan sehingga mengancam kelestariannya. "Celakanya, sebagian lahan yang menjadi kawasan pinjam pakai oleh perusahaan pertambangan batu bara itu adalah masuk dalam katagori hutan lindung," kata Direktur Walhi Kaltim, Isal Wardhana. Secara moral dan demi penyelamatan hutan alam kaltim yang tersisa, imbuh dia, maka tidak ada argumentasi yang membenarkan jika kementerian kehutanan mengamini peminjaman kawasan hutan untuk aktivitas di luar kehutanan yang diajukan oleh Pemerintah kabupaten/Kota dan lebih dari 60 perusahaan pertambangan di Kaltim. Terbanyak Kalsel Data Walhi itu menunjukan daerah terbanyak yang mengajukan izin pinjam pakai hutan adalah di Kalsel sebanyak 72 perusahaan batu bara, kemudian di Kaltim mencapai 65 perusahaan, Kalteng 20 perusahaan, dan Kalbar delapan perusahaan. Sejak 2001, di Kaltim tingkat deforestrasi (pengurangan luas hutan) mencapai 350 ribu hektar setiap tahun hingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat di Kaltim yang masih bergantung hidupnya dari hasil hutan. Ia menjelaskan bahwa dalam prosesnya pemerintah pusat melalui Dephut harusnya tidak memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan di luar kehutanan, walaupun dalam peraturan atau regulasinya dibenarkan ketika sudah ada SK Menhut mengenai pinjam pakai kawasan hutan. "Permohonan ini harus ditelaah secara mendalam mengingat semakin tingginya tingkat deforestrasi di Kaltim dan bahkan sampai merambah Hutan Lindung di Kalimantan Timur," katanya. Eksploitasi kawasan hutan di Kaltim akan berdampak sangat signifikan terhadap keberlanjutan dan kelestarian hutan di Kaltim dan secara langsung berpengaruh terhadap bencana ekologis yang terjadi di Kaltim. Dari hasil pantauan Walhi Kaltim, dia menambahkan bahwa dalam kasus di Kabupaten Nunukan menunjukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nunukan telah melakukan kegiatan proyek pembukaan jalan di dalam kawasan hutan lindung. "Pemkab setempat sampai kini diindikasikan belum bisa menunjukkan kepada publik SK Menhut menyangkut pinjam pakai kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Nunukan," ujar dia. Tindakan Pemkab Nunukan itu merupakan pelanggaran terhadap fungsi kawasan dan perundang-undangan yang berlaku pada sektor kehutanan. "Seharusnya aparat keamanan harus menghentikan proyek yang berada di dalam kawasan hutan lindung tersebut," katanya menegaskan. Isal menambahkan bahwa Menhut yang baru juga seharusnya jangan memberikan SK pinjam pakai kepada Pemkab Nunukan sampai adanya telaah yang mendalam terhadap proyek tersebut mengingat diindikasikan proyek telah dijalankan tanpa adanya SK pinjam pakai yang dikeluarkan oleh Menhut. "Mengenai pertambangan batu bara itu, maka sudah jelas bahwa aktivitas tersebut secara tidak langsung akan mengurangi kawasan hutan di Kaltim. Apalagi, sampai saat ini reklamasi yang dilakukan oleh beberapa perusahaan besar batu bara di Kaltim belum berjalan secara maksimal," katanya. Lemahnya realisasi program reklamasi itu terbukti dengan ditemukannya beberapa lahan yang belum direklamasi secara maksimal oleh tim dari DPRD Provinsi beberapa waktu yang lewat. Ketua Komisi II DPRD Kaltim, Ajie Sofyan Alex menjelaskan bahwa dari sekian perusahaan batu bara, hanya beberapa yang benar-benar bisa menjalankan program rehabilitasi lingkungan melalui kegiatan reklamasi lahan. "Bisa dilihat sendiri, di Kaltim kini banyak kolam-kolam raksasa eks-penambangan batu bara yang masih terbuka, persoalan ini perlu ditangani serius agar tidak menimbulkan dampak lingkungan," kata politisi dari PDI Perjuangan Kaltim itu. Diperkirakan bahwa faktor utama yang menyebabkan perusahaan "enggan" menjalankan kewajibannya melakukan program reklamasi lahan (menutup bekas galian serta menanam pohon penghijauan di atasnya) karena dana yang dibutuhkan sangat besar. Musibah Banjir Pada saat "kran reformasi" dibuka, maka pada awal 2000-an, terjadi "booming" kayu bulat karena kepala daerah bisa mengeluarkan izin HPHH (Hak Pemanfaatan Hasil Hutan) atau HPH (Hak Pengusahaan Hutan) skala kecil, yakni 100 Ha. Sejumlah kepala daerah di Kaltim saat itu seperti berlomba-lomba mengeluarkan HPH skala kecil. Terbitnya ribuan izin HPHH pada gilirannya menyebabkan laju kerusakan lingkungan di Kaltim mencapai ratusan ribu hektar per tahun. Terkait adanya kewenangan bupati/walikota menerbitkan izin KP seperti diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara diharapkan tidak mengulang kasus pemberian izin HPHH/HPH skala kecil tanpa kendali seperti yang berlaku pada awal bergulirkan desentralisasi pada 2000-an. Setelah era "booming" kayu bulat berakhir, maka batu bara kini menjadi komoditi menjanjikan karena tersedianya pasar nasional maupun internasional terhadap "fosil minyak" itu meskipun dalam kondisi krisis ekonomi global. Kegiatan eksploitasi batu bara itu kini sudah menunjukan dampak yang langsung dirasakan rakyat antara lain polusi udara dari debu yang bertebaran saat truk-truk besar yang membawa emas hitam tersebut serta musibah banjir. Beberapa kota di Kalimantan Timur yang selama ini akan diterpa musibah banjir besar dalam siklus tahunan, misalnya 10 tahunan atau lima tahunan namun dalam beberapa tahun terkhir beberapa kali terjadi banjir besar dalam satu tahun. Lihat saja, selama 2008 dan 2009, musibah banjir dalam satu tahun berkali-kali menggenangi sejumlah daerah di Kaltim, antara lain Samarinda, Kutai Timur dan Kutai Barat. Faktor dominan yang diduga melahirkan "penyimpangan fenomena alam" (banjir bukan lagi menjadi musibah dengan siklus tahunan), yakni akibat kian parahnya kondisi hutan sebagai "cathcment area" atau kawasan tangkapan air hujan. Ternyata ancaman terhadap kelestarian hutan belum berakhir, malah kini cenderung meningkat karena adanya kewenangan kepala daerah dalam menerbit kian izin KP, bahkan sebagian daerah seperti berlomba-lomba mengeluarkan izin dengan dalih untuk meningkatkan PAD (pendapatan asli daerah) Contohnya, Pemkab Kutai Kartanegara selama 2009 sudah menerbitkan 689 izin KP (Data Dinas Pertambagan Kaltim). Sedangkan dari data yang dirilis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, pada 2007, baru 412 izin KP. Pemkab Kukar selama 2007-2009 telah menerbitkan 275 izin KP. Jumlah ini merupakan yang terbanyak se-Kaltim, diikuti Kutai Barat (Kubar) yang menerbitkan 123 KP pada kurun waktu sama. Melihat kenyataan itu, maka sebenarnya bupati dan walikota lah yang sangat menentukan baik dan buruknya pengelolaan sektor ekologis, termasuk peranan gubernur dalam mengoptimalkan fungsi pengawasan sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah.***

Misteri Bekantan Pulau Kumala Tak Terpecahkan

By Datu Iskandar Zulkarnaen (Datiz)
Samarinda - Puluhan ekor bekantan di Pulau Kumala Tenggarong pada 2000 dipindahkan ke daerah Pulau Yupa atau Pulau Jembayan, berjarak sekitar 30 Km yang masih masuk wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Provinsi Kalimantan Timur. Berselang 10 tahun kemudian (2010), kini keberadaan 58 ekor bekantan yang dilepaskan di Jembayan tidak terlihat lagi tanpa ada penelusuran atau penelitian tentang keberadaan monyet hidung panjang atau "Nasalis larvatus" itu. Padahal, selain langka, maka keberadaan primata itu di Pulau Kumala menyisakan sebuah misteri atau keunikan. Misteri bekantan itu terkait dengan sebuah pertanyaan, bagaimana satwa itu mampu beradaptasi pada kawasan hutan "Dipterocarp" (jenis meranti), yakni kawasan hutan yang berada di kawasan pedalaman, seperti di Pulau Kumala. Pada berbagai kawasan di belahan dunia ini, maka habitat Bekantan adalah kawasan hutan mangrove. Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem daerah tropis yang terdapat di kawasan pesisir. Pohon mangrove memiliki ciri khas tertentu, yang tidak dimiliki oleh pohon lainnya yang hidup di daratan, misalnya bijinya berkecambah di pohon (Rhizophora, Bruguiera, Kandelia, dan Ceriops). Pemkab Kutai Kartanegara berdalih bahwa pemindahan satwa langka itu hakikatnya untuk melindungi bekantan terkait dibabatnya pohon pada kawasan seluas 75 hektar karena untuk pengembangan sektor wisata di Pulau Kumala pada 2000. "Jika memang banyak yang protes, bekantan ini kita tangkap lagi dan pindahkan kembali ke Pulau Kumala," kata Syaukani HR, Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) saat itu dengan entengnya menjawab tentang keunikan bekantan di Pulau Kumala. Entah apa di balik benak Syaukani saat itu sehingga meskipun ada protes di media massa namun tetap merampas kehidupan unik 58 ekor bekantan tersebut. Berakhirnya "kejayaan" bekantan menjadikan Pulau Kumala sebagai "istananya" berarti punah pula sebuah obyek penelitian tak ternilai harganya. Pemkab Kukar memanfaatkan dana diperkirakan sekitar Rp1 triliun --angka pasti tidak jelas karena selain APBD juga dari berbagai sumber-- akhirnya berhasil menyulap Pulau Kumala yang tadinya hanya hutan dihuni Bekantan menjadi obyek wisata yang dilengkapi berbagai sarana wisata modern. Secara fisik Pemkab Kukar berhasil mengembangkan pulau yang terletak di tengah Sungai Mahakam itu namun tidak mampu menjerat minat wisatawan baik lokal apalagi mancanegara untuk mengunjungi kawasan itu, hal itu menyebabkan biaya operasional untuk menjalankan Pulau Kumala sebagai obyek wisata tidak seimbang dengan pendapatannya. Pulau Kumala kini seperti merengang maut karena berbagai fasilitasnya sudah tidak berfungsi seperti kereta gantung, kereta api mini, sky tower dan musical fontain (air mancur yang mengikuti irama musik). Pemandangan serupa terlihat pada fasilitas lain karena tampak tidak terurus lagi, misalnya rumah adat wahau, mancong, beyok, dan pasak sebagai rumah puja adat serta 22 unit cottage, patung lembuswana, pusat kebugaran, kolam renang, restauran, dan hotel dua lantai. Akhirnya, menutupi biaya operasional, antara lain listrik, air bersih dan gaji karyawan harus menjadi beban APBD. Dalam beberapa waktu terakhir, Pemkab Kukar sendiri kewalahan menutupi biaya operasional untuk menjalankan obyek wisata Pulau Kumala.Sangat Terancam Padahal, Pemkab Kukar jika saja justru menjalankan program konservasi serta "menjual" sisi misteri bekantan itu, maka tidak menuntup kemungkinan Pulau Kumala akan menjadi obyek wisata dan penelitian terkenal di mancanegara. "Berbeda dengan primata lain, maka bekantan termasuk jenis yang sangat rawan punah," kata seorang primatolog Stanislav Lhota. Ilmuan dari Departemen Zoologi, Universitas South Bohemia Republik Chechnya menjelaskan bahwa keberadaan satwa itu menjadikan hutan mangrove sebagai habitatnya menyebabkan bekantan rawan punah. "Hutan mangrove adalah kawasan hutan di Indonesia yang paling cepat musnah karena daerah pesisir dan sungai adalah daerah pertama yang akan dihuni oleh orang-orang," kata Stanis Lhota yang sejak 2006 melakukan penelitian Bekantan di Teluk Balikpapan. "Berbeda dengan primata lain, apalagi bekantan tidak bisa hidup pada kawasan hutan 'Dipterocarp' (jenis meranti) yang luas dan jauh ke pedalaman di Kalimantan," papar dia. Keberadaan bekantan yang hanya bisa hidup dan tergantung pada kawasan hutan mangrove menyebabkan kelestariannya sangat terancam karena tidak punya pilihan lain untuk melarikan diri saat habitatnya dibuka untuk berbagai aktifitas manusia. Berbagai alasan yang menyebabkan bekantan rawan punah menyebabkan IUCN (World Conservation Union) mengklasifikasikan bahwa bekantan termasuk satwa langka yang sangat terancam kelestariannya. Ancaman lain bagi habitat bekantan itu karena terus terjadi pembukaan lahan untuk berbagai aktifitas manusia misalnya pembukaan lahan tambak serta pertambangan batu bara dan industri di kawasan pesisir. "Selain itu ada anggapan keliru bahwa bekantan dengan mudah dapat makanan di hutan mangrove padahal satwa ini hanya memakan daun muda, buah-buahan dan biji-bijian mentah. Mereka bisa mendapatkan daun di hutan bakau, tetapi hampir tidak ada buah-buahan dan biji dapat dimakan di hutan mangrove," papar dia. Bekantan harus meninggalkan hutan mangrove secara teratur untuk mencari makanan tambahan di hutan jenis lain sehingga jika hutan mangrove terus berkurang maka bekantan akan mati kelaparan. Meskipun rawan punah, namun dari hasil surveinya menunjukan hal menggembirakan karena menemukan bahwa Teluk Balikpapan (Kaltim) menjadi habitat sedikitnya 1.400 ekor bekantan sehingga menjadi salah satu kawasan terbanyak di belahan dunia yang dihuni populasi monyet hidung panjang (Nasalis larvatus) itu. "Namun, jika kondisi lingkungan di kawasan itu terus mengalami tekanan sehingga jika kelestarian hutan mangrove yang menjadi habitat primata tersebut tidak terjaga maka akan berdampak serius bagi keberadaan satwa langka itu," kata Stanislav Lhota. Berdasarkan analisa status populasi dan habitat (Population and Habitat Viability Analysis/PHVA) menunjukkan hasil yang mengkhawatirkan, yakni jika tidak ada tindakan perlindungan yang diambil maka populasi bekantan di Teluk Balikpapan akan punah dalam jangka 14 tahun. Lima Persen Dari 2006, peneliti tersebut melakukan survei dan mendapatkan data cukup mengejutkan bahwa kawasan itu menjadi penting bagi pelestarian primata langka itu karena termasuk salah satu kawasan di belahan dunia yang terbanyak terdapat bekantan, masing-masing di daerah pesisir Kota Balikpapan sekitar 400 ekor dan pesisir Panajam Paser Utara (PPU) sekitar 1.000 ekor. "Diperkirakan bahwa sesedikit 25.000 populasi bekatan di dunia. Jika perkiraan ini benar, itu berarti bahwa bekantan di Teluk Balikpapan mewakili lima persen dari seluruh populasi satwa langka ini di dinia," papar dia. Populasi bekantan di Teluk Balikpapan mencapai 1.400 ekor itu menyebabkan pelestarian hutan mangrove jadi sangat penting, mengingat kawasan hutan sekitar perairan Selat Makkasar itu menjadi daerah kelima di dunia terbanyak dihuni oleh monyet hidung merah tersebut. Satwa langka itu tersebar di berbagai kawasan pesisir Pulau Borneo, misalnya Sabah, Sarawak dan Brunei Darussalam. Mega-proyek yang termasuk program Lintas Kalimantan di Kaltim, yakni pembangunan Jembatan Pulau Balang dan jalan penghubung sehingga akan mengisolasi bakau pesisir dari Hutan Lindung Sungai Wain (Hutan Lindung Sungai Wain) adalah kegiatan yang juga mengancam kelestarian satwa langka itu. "Namun, ancaman ini bisa dihindari dengan memilih alternatif lokasi jembatan, misalnya dari Tanjung Batu (Balikpapan) dan untuk Gunung Seteleng (Penajam) jadi tidak perlu panjang jalan penghubung di sepanjang pantai Teluk Balikpapan," katanya menerangkan. Ancaman serius lainnya adalah rencana untuk membangun 20 m lebar jalan penebangan oleh PT. ITCI Hutani Manunggal (IHM) di sepanjang pantai yang sama, dan pengembangan industri di daerah pesisir, yang dirancang sebagai kawasan Lindung dan kawasan mangrove di ruang tata Kota Balikpapan . Aktifitas beberapa perusahaan di kawasan pesisir diduga ikut mengancam kelestarian bekantan, antara lain, PT. Mekar Bumi Andalas (MBA) untuk pabrik CPO (crude palm oil) dan PT. Dermaga Kencana Indonesia (DKI). Dari berbagai ancaman terhadap kelestarian bekantan, maka terlihat faktor paling dominan adalah ketidakperdulian berbagai pihak terhadap nasib satwa langka itu, termasuk keangkuhan pengambil kebijakan yang mengabaikan sisi pentingnya menjaga kelestarian sebuah mata rantai kehidupan. Contoh nyata adalah kebijakan membangun Pulau Kumala jadi obyek wisata modern karena telah merampas kehidupan unik puluhan bekantan serta memusnahkan obyek penelitian berharga bagi ilmu pengetahuan. Punahnya bekantan di Pulau Kumala ikut membawa sebuah misteri yang sampai kini belum terpecahkan***

Wehea, Heaven is left in the East Kutai

By Datu Iskandar Zulkarnaen (Datiz) -
Hamparan hijau Hutan Wehea (Kutai Timur) bak sepenggal surga yang masih tersisa di Bumi Kalimantan Timur karena kondisi hutan hujan tropis yang masih sangat terjaga. Bayangkan, dari 17 juta hektar lahan dan hutan Kalimantan Timur, sektar 6,8 juta hektar dalam kondisi kritis sedangkan sisanya mengalami penurunan kualitas yang cepat. Lahan kritis 6,8 juta hektar itu berarti hampir sama dengan luas Provinsi Jawa Tengah mencapai 3,25 hektar digabung dengan Provinsi Jawa Barat 3,7 juta hektar. Melihat Hutan Wehea seperti menyaksikan sebuah drama kehidupan masyarakat lokal, Dayak yang memainkan peran begitu apik dalam menjaga keseimbangan alam yang menyatu dengan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat pedalaman. Sering timbul pertanyaan, bagaimana masyarakat Dayak Wehea mampu menjaga kelestarian alam sekitarnya, khususnya ketika mampu menghalau dari kilauan rupiah yang ditawarkan para cukong kayu seperti musnahnya kearifan lokal pada beberapa kawasan di Kaltim. "Petkuq Mehuey...." adalah sepotong kalimat Dayak Wehea yang menjadi mantra menyelamatkan kawasan yang menyimpan keanekagaraman hayati (bio-diversity) luar biasa itu. "Petkuq Mehuey" bermakna "menjaga bersama" atau sebuah ajakan penuh keyakinan untuk bersama menjaga keseimbangan alam, bentuk penyatuan manusia dengan alam semesta. Dengan sepotong kalimat saksi itu, maka kelestarian hutan seluas 38.000 hektar yang terletak di Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur dapat terjaga. Hutan tersebut menjadi rumah bagi warga Dayak Wehea, di sana terdapat ruang "lumbung pangan" dengan tersedianya madu, buah-buah hutan serta babi hutan serta "bilik" untuk obat-obatan, yakni kawasan "apotik hidup". Kerja sama Pemkab Kutai Timur dengan LSM asing, The Natural Conservacy (TNC) membuktikan bahwa berbagai upaya kelestarian kawasan tersebut sangat strategis karena memiliki keanekaragaman hayati luar biasa, lihat saja di sana terdapat 12 hewan pengerat, 9 spesies primata, 19 mamalia, 114 jenis burung, dan 59 spesies pohon bernilai. Menakjubkan lagi, ketika ancaman kian tinggi terhadap kelestarian orangutan (Pongo pygmaues) ternyata di kawasan Hutan Wehewa menjadi habitat 760 ekor primata tercerdas setelah gorilla dan simpanse itu. Di tengah hamparan Hutan Wehea juga terdapat jenis tumbuhan langka, yakni taman anggrek hitam. Menelisik ke tengah jantung Hutan Wehea maka akan terdengar suara satwa langka lainnya, seperti Uwauwa, beruang madu, macan dahan, dan lutung merah. Guna memperkuat upaya pelestarian maka masyarakat adat Dayak Wehea membuat sebuah keputusan adat. Dipimpin oleh Kepala Adat Dayak Wehea Desa Nehas Liah Bing, Ledjie Taq maka mereka sepakat mengeluarkan surat mengikat untuk melindungi kawasan itu, yakni Surat Keputusan Lembaga Adat Desa nomor 001/LAD-NLB/X/ 2005 yang selanjutnya dituangkan melalui SK Adat nomor 002/LAD-NLB/2005. Melalui surat keputusan itu, resmilah "penobatan" pasukan pasukan pengawal Hutan Wehea oleh warga Dayak setempat. Pasukan pengawal itu terdiri dari 40 orang yang semua berasal dari suku lokal setempat. Kearifan lokal masyarakat dalam menjaga kelestarian itu ternyata mendapat sorotan internasional, terbukti merebut juara III (tiga) dalam penghargaan "Schooner Prize Award 2008" di Vancouver, Kanada. Penghargaan berhadiah 1.000 dollar Amerika Serikat itu sebagai bentuk pengakuan bahwa model pengelolaan konservasi hutan Wehea dinilai sangat adaptif dan sesuai perkembangan zaman. Dalam event tersebut empat juri, Konrad Von Ritter dari Bank Dunia (Word Bank), Stefan Nachuk dari Rockefeller Foundation, Randy Curtis dari TNC, dan Cynthia Ryan dari Schooner Foundation, menetapkan Taman Laut Masyarakat Arnavon di Pulau Solomon meraih juara I, Proyek II Bolivia Forest di Bolivia juara II, Pengelolaan Hutan Wehea juara III, dan Masyarakat Pengelola Hutan Berkelanjutan oleh Suku Maya (Meksiko) juara IV. Kejuaraan berlangsung di Vancouver, Kanada. Kawasan Wehea menjadi strategis selain karena memiliki keanekaragaman hayati sekitarnya terdapat kawasan konservasi lain, seperti Hutan Lindung Lesan dan Kelay. Hutan ini bekas kawasan hak pemanfaatan hutan yang dipegang PT Gruti III. Pada 1995 digabung dengan PT Inhutani II menjadi PT Loka Dwihutani. Tahun 2003, hutan dievaluasi Pemprov Kaltim dan kondisinya dinilai masih baik. Di daerah itu ada tiga sungai, yaitu Sungai Melinyiu, Sekung, dan Seleq—semua bermuara ke Sungai Mahakam. Kearifan lokal itu juga mendapat penghargaan langsung dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara pada 5 Juni 2009. Trofi Kalpataru yang tersimpan rapi pada salah satu ruang di rumah Kepala Adat Wehea merupakan bentuk penghargaan pemerintah pada 2009 kepada warga setempat yang diwaliki Ledjie Taq. Ledjie Taq adalah tokoh masyarakat Dayak asal Desa Neheas Leah Bing, Kecamatan Muara Wahau. Ledjie Taq berjasa saat menyelamatkan hutan Wehea (Wahau) dari kebakaran hutan meskipun rumah dan beberapa rumah warga ikut hangus dilalap api. Tampaknya kearifan lokal warga pedalaman itu seperti "ikan dan air" yang tak mungkin terpisahkan, menyatu dalam keseimbangan alam

Sukan Kaltim Lebih Hebat Ketimbang Kesebelasan Timnas

Samarinda - Ketua Tim Pemenangan Kaltim PON XVIII-2012 Riau menyatakankemenangan Kaltim atas Brunei di Sukan Borneo IV-2011 menunjukkan kesebelasannya lebih hebat daripada Timnas yang dipermalukan tuan rumah di Kejuaraan Piala Sultan Hassanal Bolkiah. "Kita prihatin atas prestasi Timnas dan persepakbolaan nasional karena setelah kalah telak melawan Bahrin, kini dipermalukan Brunei, padahal kita mengalahkan mereka (Brunei) di Sukan Borneo. Berarti Kaltim lebih hebat dari(pada) Timnas," ujar Farid Wajdy di Samarinda, saat pembukaan dan syukuran Pusat Pelatihan Daerah Kaltim untuk PON XVIII-2012, Sabtu malam (11/3). Kaltim menang 2-1 atas Brunei yang "merumput" dengan kekuatan atau pamain yang sama saat pada babak final Sukan Borneo IV-2011 Kaltim di Stadion Utama Palaran Samarinda. Kaltim saat itu, bahkan sempat tertinggal 0-1 dan salah satu pemainnya dikeluarkan karena terkena kartu merah. Namun, tim asuhan Rudy William Keltjes itu meskipun bermain 10 orang tetapi bisa menundukkan Brunei 2-1 sehingga meraih medali emas. Sukan Borneo adalah "Pekan Olahraga Antardaerah dan Negara se-Wilayah Borneo (Kalimantan) yang anggotanya, Brunei Darussalam, Malaysia (Sabah, Labuan, dan Serawak) serta seluruh provinsi di Kalimantan. Sukan Borneo 2011 di Samarinda (Kaltim) merupakan yang ke-empat setelah sukan pertama di Brunei Darussalam pada 1954, disusul Sukan Borneo di Sarawak pada 2007 dan di Brunei Darussalam pada 2009. "Semoga melalui PON ini lahir bibit-bibit pemain terbaik yang bisa menjadi anggota tim nasional sehingga bisa meraih prestasi membanggakan," ujar Farid yang juga Wakil Gubernur Kaltim. Dalam amanahnya di depan hampir 700 atlet dan pelatih PON Kaltim serta sejumlah anggota KONI Kalimantan Timur, Wagub menyampaikan bahwa kunci sukses meraih prestasi adalah salah satunya sikap disiplin. Wagub juga meminta agar semua pihak menjaga suasana aman dan tentram di Puslatda yang dipusatkan di Hotel Atlet dan Stadion Madya Sempaja Samarinda. "Kalau ada masalah, segera dibicarakan dengan pihak-pihak yang terkait. Jangan berbicara di luar apalagi langsung ke media karena justru bisa memperkeruh suasana," ujarnya Sementara itu, Komandan Puslatda Kaltim, Zuhdi Yahya menyatakan bahwa Puslatda kali ini berbeda saat menjelang PON XVII-2008 di Kaltim karena saat itu jumlah atlet sekitar 1.000 orang karena keuntungan sebagai tuan rumah maka tidak harus mengikuti prakualifikasi PON. "Meskipun berat namun kami tetap optimistis bahwa Kaltim bisa meraih prestasi emas," ujarnya. Kaltim pada PON 2008 meraih prestasi monumental dan fenomenal karena meraih 116 medali emas atau peringkat ketiga setelah Jawa Timur dan DKI Jakarta. Mantan pemain nasional, Rudy William Keltjes mengaku sangat prihatin dengan kian terpuruknya prestasi tim nasional (Timnas) dan mengharapkan agar akar masalah persepakbolaan nasional segera dituntaskan. "Cobalah duduk satu meja agar berbagai persoalan segera dituntaskan. Terus terang saya sangat prihatin dengan kondisi persepakbolaan nasional," kata Rudy yang kini menjadi Pelatih Kepala Tim Sepak Bola PON Kaltim. Mantan pelatih Persebaya itu sangat berharap agar jangan lagi terjadi kekisruhan dalam pembinaan prestasi sepak bola nasional sehingga perlu keterlibatan aktif pemerintah untuk mempertemukan dan menyatukan pihak-pihak yang berseteru. "Pembinaan prestasi tidak mungkin berjalan baik jika dalam pengelolaannya terus diwarnai perbedaan-perbedaan yang bukan ke arah perbaikan namun kian memperlebar konflik," ujar pria kelahiran 20 Agustus 1953 itu. Namun, Rudy enggan menyebutkan pihak mana yang harus bertanggung jawab terhadap kondisi terpuruknya persepakbolaan nasional. "Dalam kondisi sekarang, kita jangan mencari siapa yang salah atau yang benar, yang terpenting pemerintah (Menpora) harus segera terlibat aktif menyelamatkan prestasi sepak bola nasional. Pasalnya, keberhasilan atau kegagalan Timnas sudah menyangkut martabat bangsa bukan hanya dialami segelitir orang," ujar dia. Menyinggung tentang kekalahan Timnas 1-2 dari kesebelasan yang selama ini dianggap paling lemah di kawasan Asia Tenggara, yakni tim Brunei di Piala Sultan Hassanal Bolkiah, ia menyebutkan tentang beberapa faktor, antara lain, Timnas yang diturunkan tidak dengan kekuatan penuh. "Faktor lain, yakni kesalahan strategi dalam menghadapi Brunei. Kuncinya adalah harus bisa mematikan dua pemain sayap mereka," ujar Rudy. Strategi itu pernah ia terapkan sehingga tim Kaltim mampu membekuk Brunei 2-1 sehingga berhasil meraih emas pada Sukan Borneo IV-2011 di Samarinda. Bahkan, tim Kaltim pada babak final itu sempat tertinggal 0-1 serta bermain hanya 10 pemain karena satu pemain terkena kartu merah di Sukan Borneo atau "Pekan Olahraga antardaerah dan negara se-wilayah Borneo (Kalimantan) yang anggotanya, Brunei Darussalam, Malaysia (Sabah, Labuan, dan Serawak) serta seluruh provinsi di Kalimantan.

Wakil Gubernur Kaltim Ajak Siwo PWI Sinergiskan Program

Samarinda - Pihak Pemprov Kalimantan Timur mengajak Seksi Wartawan Olahraga (Siwo) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kaltim untuk mensinergiskan berbagai program sehingga kegiatannya lebih berdampak luas baik dukungan tidak langsung maupun langsung bagi perkembangan dunia olahraga di daerah itu. Hal itu dikatakan oleh Wakil Gubernur Kaltim yang juga jadi Ketua Tim Pemenangan Kaltim pada PON XVIII-2012 Riau, Farid Wajdy di Samarinda, Sabtu kepada Ketua Siwo PWI Kaltim, Iskandar Z Datu di sela-sela acara Siwo Award 2011 Kalimantan Timur. Farid mengatakan bahwa berbagai program Siwo PWI bisa disinergiskandengan kegiatan Pemprov Kaltim, khususnya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait, yakni Dinas Kepemudaan dan Olahraga (Dispora) setempat. "Misalnya, setiap tahun kita juga memberikan award (penghargaan) bagi pembina, pelatih dan atlet berprestasi setiap perayaan HUT Provinsi Kalimantan Timur 9 Januari. Jadi akan lebih baik jika Siwo Award disinergiskan dengan program tersebut," ujar Ketua Tim Pemenangan Kaltim di PON 2012 itu. Farid menilai bahwa kredibilitas para wartawan senior olahraga dalam menentukan pilihannya kepada pembina, pelatih dan atlet terbaik sudah tentu tidak diragukan lagi. Ia juga berharap agar berbagai program lain yang bisa disinergiskan, misalnya pelatihan jurnalistik bagi para staf kehumasan maupun bidang lain yang membutuhkan di jajaran Pemprov Kaltim. "Saya sangat berterima kasih kepada Siwo PWI yang secara tidak langsung mendukung penuh upaya Kaltim dalam mencapai target untuk bias mempertahankan tiga besar di PON XVIII-2012 Riau," ujarnya. Pemberian Siwo Award, menurut Farid adalah upaya dukungan moral bagi semua pihak, khususnya pelatih dan atlet agar berprestasi lebih baik. Pihak Siwo PWI Kaltim dalam Siwo Award pada 2012 menambah beberapa katagori untuk penerima penghargaan. Siwo Kaltim pada 2012 tidak hanya memberikan "award" dengan katagori pembina (perorangan), pelatih dan atlet di "multi event" seperti kegiatan sebelumnya namun juga penghargaan bagi tokoh berjasa bagi perkembangan olahraga, pembinan non perorangan atau organisasi/perusahaan, serta atlet untuk singel event.***** Laporan Ketua Siwo PWI Kaltim
Assalamualaikum WW Wb, Yang Terhormat Wakil Gubernur Kaltim yang juga Ketua Tim Pemenangan PON Kaltim, Bapak Farid Wajdy, Yang Terhormat Ketua KONI yang diwakili oleh Komandan Puslatda Kaltim, Bapak Zuhdi Yahya dan para pengurus KONI Kaltim dan KONI Samarinda, Yang Terhormat para wakil rakyat, Yang Terhormat para mitra olahraga dari unsur swasta, Yang Terhormat para Pengurus Cabang Olahraga se-Kaltim, Yang Terhormat Kepala Dispora Kaltim dan Dispora Samarinda, Yang Terhormat rekan pelatih, atlet, pengurus PWI dan para wartawan olahraga Kaltim, Yang Terhormat Bapak-2 Ibu2 dan hadirin berbahagia, Salam Olahraga Puji syukur kita ucapkan karena berkah dan hidayahnya lah maka acara ini bisa diselenggarakan. Sebagai Ketua Siwo PWI Kaltim sekaligus Ketua Panitia Penyelenggara, saya melaporkan bahwa program SIWO Award kali ini tidak hanya memberikan penilaian kepada pembina perorangan, pelatih dan atlet berprestasi di multi event namun penghargaan juga kami berikan kepada tokoh berjasa bagi perkembangan dunia olahraga di Kaltim, kemudian penghargaan untuk pembina non perorangan atau organisasi, lembaga atau perusahaan, serta katagori lainnya untuk kami berikan penghargaan bagi atlet berprestasi di singel event. Proses untuk menetapkan nama seseorang, organisasi atau perusahaan yang berhak mendapat SIWO Award melalui rekam jejak data dari 2008 sampai 2011, yakni hasil PON XVII-2008 Kaltim, hasil berbagai kejuaraan multi event dan singel event, termasuk SEA Games 2011. Jadi mometum SIWO award ini, kami pikir tepat karena rentang waktu sekitar empat tahun bisa bisa menunjukan sebuah konsentrasi ketahanan dalam mempertahankan prestasi. Apalagi kegiatan ini menjelang PON XVIII-2012 di Riau sehingga program ini menjadi bagian dari kontribusi para insan pers olahraga Kaltim dalam mendukung tekad Tim Pemenangan PON Kalimantan Timur untuk meraih prestasi emas. Khusus penghargaan bagi atlet dan pelatih, diawali dengan data media masing-masing wartawan serta data Bimpres KONI Kaltim. Data ini kemudian dibahas dan ditetapkan oleh para wartawan senior olahraga baik cetak maupun elektonik Kaltim. Demikian juga halnya dalam menetapkan nama tokoh berjasa bagi sejarah olahraga di Kaltim serta pembina baik perorangan maupun organisasi melalui proses pembahasan mendalam oleh para wartawan senior olahraga itu. Bapak2, Ibu2 dan hadirin yang berbahagia, Kami menyadari bahwa dalam setiap acara seperti ini tentu ada pro dan kontra sehingga kami perlu melaporkan juga bahwa SIWO Award kali ini kami buat pembatasan-pembatasan, di antaranya, hanya diberikan kepada tokoh, pembina, pelatih dan atlet yang belum menerima penghargaan baik dari SiWO maupun lembaga lainnya.Selain itu, penilaian khusus pelatih dan atlet tidak semata-mata rekam jejak data prestasi namun kami memprioritaskan bagi para pelatih dan atlet lokal. Bapak2, Ibu2 dan para hadirin, Kami juga menyadari bahwa katagori paling rawan menimbulkan polemik adalah penghargaan untuk tokoh yang berjasa bagi perkembangan dunia olahraga Kalimantan Timur. Hal ini mengungkapkan bahwa ternyata Kaltim memiliki kelemahan dalam pencatatan prestasi atau sejarah perkembangan dunia olahraga dari masa ke masa. Kami kesulitan untuk menemukan data tertulis, referensi baik di sebuah buku ataupun dalam data online tentang hal itu. Oleh karenanya, kami mohon maaf sebesar-besarnya jika ada tokoh yang sebenarnya sangat pantas meraih penghargaan namun ternyata belum menerima SIWO Award. Jadi yakinlah bahwa hal itu bukan karena kami tidak perduli dengan jasa mereka namun akibat keterbatasan data dan pengetahuan kami sendiri. Bung Karno dalam peringatan Hari Pahlawan 10 Nov lima puluh satu tahun silam mengingatkan agar kita jangan melupakan jasa para pahlawan "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya," ujar sang proklamator. Harapan kami, melalui SIWO Award ini akan menjadi langkah awal untuk memulai pencatatan sejarah prestasi dan kifrah para tokoh yang berjasa bagi dunia olahraga di Kaltim. Harapan lain agar kegiatan ini bisa memacu prestasi lebik baik bagi para pembina perorangan, pembina organisasi, pelatih dan atlet agar berprestasi lebih baik, karena selama kita bersatu padu maka beban berat akan jadi ringan seperti kata pepatah "bersilang kayu ditunggu, maka jadilah api" api yang akan membakar semangat untuk meraih prestasi terbaik di PON Riau nanti. Bapak2, ibu2 dan hadirin sekalian Saya mewakili seluruh panitia penyelenggara mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang mendukung kegiatan itu, bahkan ada satu tokoh yang kami anggap berhak mendapat SIWO Award karena keperduliannya dalam mendukung kegiatan olahraga, khususnya acara-acara SIWO namun karena beliau tidak ahli dalam satu jenis cabang olahraga manapun maka terpaksa SIWO Award kami tunda dulu, yakni Pimpinan RRI Samarinda. Sebelum kami mengakhiri laporan ini maka izinkan kami untuk memohon maaf sebesar-besarnya, jika dalam ucapan, tindakan serta rangkaian acara ini ada hal yang kurang berkenan di hati bapak2, ibu2 dan hadirin sekalian. Wabilahi taufik wal hidayah, wassalamualikum warahmatullah wabarakatuh.

Successful Recorded PesutMahakam photo

Pesut Mahakam berhasil diabadikan News Agency reporter Abdi Heyru Kalimantan Timur. PesutMahakam kondisi (Orcaella brevirostris) lebih mengkhawatirkan, terbukti sangat sulit sekarang untuk melihat ini di habitat spesies langka, hal ini disebabkan karena beberapa faktor, antara lain, lalu lintas sungai lebih padat, polusi dan sedimentasi dari ketinggian sungai. Sedangkan awal 1990-an sering terlihat pada pagi dan sore hari. Heyru Abdee berhasil menangkap kawanan lumba-lumba mengungkapkan sendiri sekitar Loa Kulu, Kutai, Kalimantan Timur, baru-baru ini

Derita Masyarakat Nomaden Di Kalimantan Timur

By Datu Iskandar Zulkarnaen (Datiz)
Di Bumi Kalimantan Timur ada dua suku bangsa yang sebenarnya jarang sekali membuat masalah namun sering dipersoalkan, yakni Suku Bajau (Manusia Perahu) atau "Gipsy Laut" dan masyarakat terasing Suku Punan, yakni kaum namoden-pengembara yang hidup berkelana di belantara Borneo. Baik Suku Bajau (Manusia Perahu) maupun warga Punan jarang melakukan pergaulan sosial dengan warga lain sehingga jarang sekali membawa persoalan. Ironisnya, justru keberadaan mereka yang justru dipersoalkan. Ketika pengusaha kayu membawa alat berat serta chainsaw (gergaji mesin) ke dalam hutan, maka Suku Punan akan bertambah jauh ke kawasan pedalaman untuk menghindar. Demikian juga Manusia Perahu itu, mereka memilih meninggalkan perairan pada kawasan Pesisir Bontang dan Kutai Timur ketika mesin dan alat-alat industri Migas dan batu bara masuk ke kawasan itu tanpa pernah menuntut ganti rugi "lahan" (mungkin agak sulit mengukur lahan di atas air). Tradisi mereka yang selalu menghindari masalah, ternyata bukan jaminan mereka tidak menghadapi persoalan. Misalnya, Pemkab Berau, Kaltim "mengamankan (eupheisme yang populer masa Orba sebagai kata ganti ditangkap) beberapa waktu lalu. Pemkab Berau dibantu polisi setempat "mengamankan" Manusia Perahu itu dengan dasar cukup membingungkan, mungkin dianggap masuk secara ilegal sehingga dituduh sebagai "pendatang haram" atau sebagai warga negara tidak bertanggung jawab karena tidak punya indentitas diri , KTP. Pemkab Berau bisa jadi resah dengan kehadiran "Gipsy Laut" pada kawasan pesisir karena mendapat laporan dari nelayan bahwa melakukan pencurian ikan. Saat dalam penahanan itu, kondisi mereka yang ditempatkan pada salah satu ruangan Dinas Sosial Kabupaten Berau sangat menyedihkan karena dilaporkan hanya mendapat jatah makan sekali sehari sehingga beberapa di antaranya jatuh sakit. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kaltim akhirnya mendesak Kapolda Kalimantan Timur (Kaltim), Inspektur Jenderal (Irjen) Mathius Salempang untuk membantu pembebasan Manusia Perahu dari komunitas Suku Bajau Pela'u. Permintaan bantuan itu dilayangkan melalui surat Walhi Kaltim tertanggal 5 April 2010 kepada Kapolda Kaltim. Tercatat 16 jaringan internasional dan puluhan organisasi masyarakat sipil Indonesia, termasuk kami (Walhi) yang menaruh perhatian dan dukungan bagi komunitas Bajau Pela`u itu. Berdasarkan data Walhi bahwa sebenarnya sejak 1997, Manusia Perahu sudah berdiam di wilayah Kaltim tepatnya di sekitar Pulau Balikukup, Tanjung Buaya-buaya dan Desa Batuputih. "Komunitas Bajau Pela`u merupakan suku tradisional yang tidak mengenal kewarganegaraan. Sejak 1980-an mereka sudah ada yang hidup di laut Filipina, Malaysia, laut Sulawesi dan Selat Makassar," Direktur Ekskutif Walhi Kaltim, Isal Wardhana. Kondisi manusia perahu itu kian memprihatinkan karena pola hidup mereka yang tidak terbiasa lama berada di daratan. Suku Bajau memang berasal dari Kepulauan Sulu, Filipina Selatan. Suku ini merupakan suku nomaden yang hidup di atas laut sehingga disebut Gipsi Laut. Suku ini menggunakan bahasa Sama-Bajau. seperti Bahasa Melayu, meskipun pada beberapa daerah di pesisir terdapat perbedaan dialek. Berdasarkan historis bahwa kedatangan mereka ke utara Kaltim jauh sebelum kedatangan suku-suku Muslim dari rumpun Bugis, Makkasar dan Mandar. Bahkan, awal berdirinya Kesultanan Bulungan oleh Wira Amir yang kemudian bergelar Sultan Amiril Mukminin menjodohkan putrinya, Puteri Kenawai Lumu dengan dengan kerabat keraton Kesultanan Sulu, Raja Laut yang kelak menjadi penerus raja-raja di "Kesultanan Boeloengan". Manusia Perahu dari Sulu ini yang membantu Kesultanan Bulungan dalam mengatasi gangguan bajak laut atau perompak di pesisir utara Kalimantan itu. Selama ini, ada juga anggapan keliru yang menyamakan Suku Laut dengan perompak atau bajak laut. Suku Bajau sejak ratusan tahun yang lalu sudah menyebar ke negeri Sabah dan berbagai wilayah Indonesia. Suku Bajau juga merupakan anak negeri di Sabah. Meski berasal dari Filipina namun hakikatnya suku-suku purba itu berasal dari wilayah Kalimantan yang bermigrasi dari arah utara (Filipina) pada zaman prasejarah. Pihak Presedium Gabungan LSM Se-Kaltim menilai bahwa pemerintah harusnya membina dan mengentaskan kehidupan sosial dan ekonomi komunitas Manusia Perahu bukan menangkap mereka karena dianggap tidak punya identitas (kewarganegaraan). "Harusnya pemerintah membina dan mengentaskan kehidupan sosial-ekonomi mereka bukan menangkapnya. Sama saja dengan Dayak Punan (masyarakat terasing yang hidup secara nomaden), banyak di antara mereka tidak memiliki identitas baik KTP (kartu tanda penduduk) atau kewarganegaraan," kata Ketua Presedium Gabungan LSM Se-Kaltim, Bachkruddin belum lama ini. Data Dinas Sosial Kaltim memperkirakan terdapat 6.000 jiwa Dayak Punan yang masih hidup secara nomaden di belantara Kalimantan Timur dan kurang tersentuh pembinaan baik secara agama, pendidikan, budaya, sosial dan ekonomi, termasuk banyak di antara mereka tidak punya kartu identitas. "Apa bedanya dengan komunitas Bajau atau suku laut atau manusia perahu, bisa jadi sama dengan Dayak Punan karena kurang pembinaan atau pendekatan pemerintah sehingga mereka tidak punya identitas," katanya. Ia menilai bahwa persoalan tersebut diperkirakan karena lokasi pemukiman mereka yang sulit terjangkau sehingga menjadi hambatan dalam melakukan pembinaan jadi bukan keinginan mereka untuk tidak memiliki identitas diri. "Hal yang sama juga terjadi dengan warga Dayak Punan karena selain mereka hidup di belantara juga enggan bertemu dengan masyarakat luar," imbuh Bachruddin. Mungkin, imbuh dia, masyarakat terasing Suku Punan lebih beruntung karena meskipun mereka dalam melakukan pengembaraan bisa melintasi batas-batas adminitrasi negara di Borneo --mengingat sebagian wilayah Kaltim berbatasan langsung dengan Sabah dan Serawak-- pemerintah jarang mempersoalkan masalah identitas, baik KTP maupun paspor. Berbeda dengan Suku Bajau karena dalam beberapa kasus, masalah itu yang sering dipersoalkan oleh pemerintah daerah. Namun, ia menegaskan bahwa upaya pemerintah dalam mengentaskan kehidupan sosial dan ekonomi Suku Bajau adalah kewajiban negara karena mereka sebenarnya adalah warga Indonesia jadi program mengutamakan efektititas bukan efesiensi. "Bahkan, sebenarnya warga Bajau ini dalam beberapa kasus, banyak yang mengalami kerugian namun tidak menuntut ganti rugi, seperti saat mereka terusir dari kawasan pesisir Bontang dan Sangkulirang karena hadirnya sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang Migas dan batu bara," imbuh dia. Melihat kenyataa itu maka tidak diragukan lagi bahwa Suku Bajau ini adalah "anak negeri" meskipun umumnya jarang memiliki identitas diri serta melakukan pergaulan sosial dengan warga di daratan. Mengantisipasi terulangnya kasus tersebut, selain pemerintah berkewajiban membina kehidupan sosial dan ekonomi seperti warga yang ada di daratan, maka Pemerintah RI, Malaysia dan Filipina membicarakan lagi hak perikanan tradisional, yakni keberadaan dan hak penghidupan yang diyakini Suku Bajau karena sudah ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut Internasional Tahun 1982 Pasal 51.

Selasa, 03 April 2012

Sejarah Pemilihan Kepala Daerah Langsung Di Kaltim

(By Datiz) Samarinda - Bukan Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) namanya apabila tidak sering melempar joke-joke segar. Terkait "musim" pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung yang akan digelar lebih dari 250 kepala daerah pada 2005 di seluruh Indonesia, Gus Dur belum lama ini, melemparkan joke segar tentang tiga Pilkada, yakni Pilkada langsung, Pilkadas, dan Pilkadal. Tiga Pilkada menurut versi Gus Dur adalah Pilkada adalah Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Pilkadas atau Pemilihan Kepala Daerah Aliran Sungai, dan Pilkadal, yakni Pemilihan Kepala Daerah Kadal. Meskipun hanya joke, namun ada pesan di balik itu, yakni mengantisipasi memilih pemimpim (gubernur dan bupati/walikota) yang "kadal" serta mengantisipasi "pengkadalan" rakyat (pemilih) dalam Pilkada langsung. Setelah Pilkada langsung digelar, di beberapa daerah memang banyak kasus kemungkinan terpilihnya pemimpin kadal dan rakyat dikadali, hal itu terkait berbagai bentuk kecurangan. Sebut saja Pilkada Kukar (Kutai Kartanegara) yang merupakan Pilkada pertama di Indonesia pada 1 Juni 2005. Pada Pilkada itu, Tim Sukses Kandidat Bupati Kukar, Sofyan Alex-M. Irkham melaporkan berbagai bentuk kecurangan kepada KPUD dan Panwasda Tenggarong. Kecurangan tersebut antara lain dugaan mark up data pemilih (jumlah pemilih pada Pilpres 350.000 orang, namun pada Pilkada menjadi 370.000 orang), kartu pemilih ganda, eksodus warga, dan adanya pemilih illegal, sehingga pemungutan suara/pencoblosan di Muara Badak terpaksa diulangi. Kecurangan lain, politik uang baik berupa pemberian uang tunai, barang, dan Sembako. Pilkada langsung di daerah lain di Indonesia juga ternyata kondisinya kurang-lebih sama dengan terjadi di Kukar. Anugerah Sebagai pelajaran berdemokrasi, Pilkada langsung adalah anugerah bagi rakyat Indonesia. Bayangkan, dulunya pemimpin hanya ditentukan oleh puluhan anggota dewan, sehingga berdasarkan pengakuan seorang mantan walikota yang gagal mengakui bahwa untuk menjadi pemimpin saat itu seperti melaksanakan lelang atau tender, yakni dipilih karena mampu membayar tertinggi. Sedangkan saat ini, konon, sepenuhnya ditentukan oleh rakyat. Namun, hal itu juga dipertanyakan. Karena ternyata masih banyak peluang atau celah untuk bermain kotor, sehingga hasil akhir (suara) bukan asli keinginan sebagian besar rakyatnya. Pengamat politik dari CSIS, Indra Paliang menilai bahwa ada beberapa celah terjadi penyimpangan, pertama me-mark up data pemilih dengan membuat kartu pemilih ganda dan eksodus warga (khususnya di kantung daerah yang berbatasan). Memanipulasi hasil perhitungan, dan menjalankan money politic. Jujur diakui, katanya, sebagai negara yang terkenal dengan korupsi tertinggi di dunia, ditambah pendidikan warganya yang masih kebanyakan rendah, maka kecurangan dan pelanggaran seperti itu sangat mungkin terjadi. Di luar masalah itu, maka apabila dilihat dari situasi dan kondisi, maka Pilkada langsung di Kutai Kartanegara 1 Juni 2005 dianggap sukses dan bisa menjadi contoh bagi daerah lain di Indonesia, mengingat secara nasional ini Pilkada langsung pertama. Sehingga, suksesnya pelaksanaan Pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Kutai Kartanegara (Kukar) mendapat perhatian dari Komisi A DPRD Jawa Tengah (Jateng). Hal itu dibuktikan dengan kedatangan rombongan DPRD Jateng yang berjumlah 32 orang, di Tenggarong, belum lama ini untuk studi banding tentang keberhasilan Pilkada di Kukar dan beberapa Pilkada yang akan segera menyusul di daerah itu. Rombongan DPRD Jateng yang dimpimpin Ketua Komisi A, Subyakto, itu terdiri dari 18 anggota komisi, enam orang dari Mapilu, kemudian satu orang lagi dari Kesbanglinmas dan perwakilan Otda Jateng. Kedewasaan Asisten Bidang Pemerintahan Sekprov Kaltim, Sjahruddin mengatakan keberhasilan Pilkada di Kaltim, khususnya Kukar merupakan salah satu bukti kedewasaan masyarakat berdemokrasi sehingga berjalan lancar dan aman. Menurut dia, setelah diidentifikasi masalah Pilkada, ada lima persoalan yang mendapat perhatian, namun dapat diatasi, yakni soal banjir yang sempat menggenangi lima kecamatan, disiasati dengan pembuatan Tempat Pemungutan Suara (TPS) terapung atau panggung. Selanjutnya, pemberian sanksi tegas pada sejumlah PNS yang ikut tim sukses atau kampanye, padahal jelas-jelas aturannya melarang. "Begitu juga dengan dana APBN untuk Pilkada belum diterima. Terpaksa daerah yang mendahulukan, tapi dalam hal ini provinsi tidak ada membantu karena melihat daerah mampu mendanainya, sehingga tidak tergantung pada APBN," ujarnya. Selain itu, sempat mencuat terbitnya Permendagri nomor 12 2005, tetang honorarium petugas Pilkada. "Karena daerah telah lebih dulu menetapkan, dan nilainya di atas aturan tersebut, petugas menolak, jika aturan Permendagri tersebut diterapkan, mereka mengancam mengundurkan diri," katanya. "Karena letak geografis daerah ini sangat luas dan medannya cukup sulit. Tapi ini pun telah dapat diatasi," katanya. Namun yang terpenting sebenarnya adalah masalah pendataan pemilih. Sebab ini sangat menentukan. "Di Kukar, pemutakhiran data ini sempat diributkan, lantaran terjadi pembengkakan jumlah pemilih cukup besar," jelasanya. Ketua KPUD Kukar, Ishack Iskandar menjelaskan berdasarkan hasil perhitungan yang sudah masuk ke KPUD Kukar, yaitu pasangan Sofyan Alex-Irkham memperoleh 88.581 suara (33,39 persen), pasangan Tajuddin Noor- Abd Djebar memperoleh suara 13.863 suara (5,23 persen), dan pasangan Syaukani dan Samsusri Aspar memperoleh suara 159.248 suara (60,03 persen). "Partisipasi masyarakat Kukar (pemilih) pada pelaksanaan Pilkada mencapai 70,56 persen," katanya. Padahal sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) M Ma'ruf telah mengingatkan kemungkinan terjadinya bentuk-bentuk penyimpangan itu antara lain pengerahan massa atau eksodus warga, politik uang serta berbagai bentuk penyimpangan lain saat memantau langsung tahapan Pilkada di Kukar. Selain itu, Mendagri juga mengingatkan bahwa tahapan dalam Pilkada semuanya mengandung kerawanan. Oleh sebab itu, ia berharap agar semua pihak yang terlibat bisa bekerja secara profesional serta menjalankan pengawasan secara benar guna menghindari kecurangan. "Semua pihak harus bekerja sesuai dengan mekanisme dan aturan berlaku," katanya. Misalnya, apabila sudah masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), maka tidak bisa lagi ada penambahan mata pilih dengan alasan apapun. DPS (daftar pemilih sementara) bisa diberikan apabila sudah menetap selama enam bulan. Mendagri juga meminta aparat kepolisian waspada kemungkinan terjadi kasus yang bisa memicu konflik horizontal. Khusus di Kaltim dalam waktu dekat akan digelar Pilkada, yakni Pasir, Bulungan, dan Berau, sehingga bisa belajar ke Kukar dan mengikuti saran Mendagri untuk menghindari konflik horizontal di antara pendukung kandidat bupati.
Melihat beberapa laporan kecurangan, agaknya pasimistis agar Pilkada berlangsung Jurdil, serta kemungkinan munculnya pemimpin kadal dan rakyat dikadali peluangnya masih besar. Itulah kondisi riil bangsa Indonesia saat ini.