Jumat, 13 April 2012
Rabu, 04 April 2012
Batu Bara Ancam Kelestarian Hutan Kalimantan
By Datu Iskandar Zulkarnaen (Datiz)
Samarinda- Pihak Departemen Kehutanan merilis data bahwa laju kerusakan hutan dalam beberapa dasawarsa terakhir sekitar dua juta hektar per tahun namun pihak Forest Wacth Indonesia (FWI) pernah melansir, pada 2001 hingga 2003 sudah sekitar tiga sampai empat juta hektar per tahun.
FWI memperkirakan bahwa pada 2000 menunjukan tingkat kerusakan hutan Indonesia sudah sangat parah, yaitu sekitar 3,8 juta hektar per tahun.
Kerusakan hutan kian parah pada 2000 diduga terkait dengan berlakunya dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yakni adanya kebijakan bupati/walikota mengeluarkan HPHH atau HPH skala kecil 100 Ha.
Pada Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhasil menekan laju kerusakan hutan, yakni adanya kebijakan untuk mengurangi jumlah RKT (rencana kerja tahunan) yang semula mencapai lima juta M3 pertahun hingga sekitar satu juta meter kubik per tahun.
Namun, ancaman terhadap kelestarian hutan ternyata belum berakhir karena kini muncul bukan dari sektor perkayuan atau tebang liar akan tetapi dari sektor pertambangan.
Berlakunya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara kini membawa persoalan bagi kelestarian hutan diduga terkait dengan peraturan yang memperbolehkan kepala daerah (bupati dan walikota) mengeluarkan izin KP (kuasa penambangan).
Data Distamben Kaltim menunjukan bahwa di provinsi itu kini terdapat 1.202 perusahaan batu bara, yakni 32 perusahaan mengantongi PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara) dan 1.180 memegang izin KP (Kuasa Pertambangan).
Walhi Kaltim mengungkapkan data bahwa persoalan deforestrasi kian parah justru bukan dari sektor kehutanan karena terdapat 166 perusahaan pertambangan batu bara yang kini melakukan pinjam pakai kawasan hutan sehingga mengancam kelestariannya.
"Celakanya, sebagian lahan yang menjadi kawasan pinjam pakai oleh perusahaan pertambangan batu bara itu adalah masuk dalam katagori hutan lindung," kata Direktur Walhi Kaltim, Isal Wardhana.
Secara moral dan demi penyelamatan hutan alam kaltim yang tersisa, imbuh dia, maka tidak ada argumentasi yang membenarkan jika kementerian kehutanan mengamini peminjaman kawasan hutan untuk aktivitas di luar kehutanan yang diajukan oleh Pemerintah kabupaten/Kota dan lebih dari 60 perusahaan pertambangan di Kaltim.
Terbanyak Kalsel
Data Walhi itu menunjukan daerah terbanyak yang mengajukan izin pinjam pakai hutan adalah di Kalsel sebanyak 72 perusahaan batu bara, kemudian di Kaltim mencapai 65 perusahaan, Kalteng 20 perusahaan, dan Kalbar delapan perusahaan.
Sejak 2001, di Kaltim tingkat deforestrasi (pengurangan luas hutan) mencapai 350 ribu hektar setiap tahun hingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat di Kaltim yang masih bergantung hidupnya dari hasil hutan.
Ia menjelaskan bahwa dalam prosesnya pemerintah pusat melalui Dephut harusnya tidak memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan di luar kehutanan, walaupun dalam peraturan atau regulasinya dibenarkan ketika sudah ada SK Menhut mengenai pinjam pakai kawasan hutan.
"Permohonan ini harus ditelaah secara mendalam mengingat semakin tingginya tingkat deforestrasi di Kaltim dan bahkan sampai merambah Hutan Lindung di Kalimantan Timur," katanya.
Eksploitasi kawasan hutan di Kaltim akan berdampak sangat signifikan terhadap keberlanjutan dan kelestarian hutan di Kaltim dan secara langsung berpengaruh terhadap bencana ekologis yang terjadi di Kaltim.
Dari hasil pantauan Walhi Kaltim, dia menambahkan bahwa dalam kasus di Kabupaten Nunukan menunjukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nunukan telah melakukan kegiatan proyek pembukaan jalan di dalam kawasan hutan lindung.
"Pemkab setempat sampai kini diindikasikan belum bisa menunjukkan kepada publik SK Menhut menyangkut pinjam pakai kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Nunukan," ujar dia.
Tindakan Pemkab Nunukan itu merupakan pelanggaran terhadap fungsi kawasan dan perundang-undangan yang berlaku pada sektor kehutanan.
"Seharusnya aparat keamanan harus menghentikan proyek yang berada di dalam kawasan hutan lindung tersebut," katanya menegaskan.
Isal menambahkan bahwa Menhut yang baru juga seharusnya jangan memberikan SK pinjam pakai kepada Pemkab Nunukan sampai adanya telaah yang mendalam terhadap proyek tersebut mengingat diindikasikan proyek telah dijalankan tanpa adanya SK pinjam pakai yang dikeluarkan oleh Menhut.
"Mengenai pertambangan batu bara itu, maka sudah jelas bahwa aktivitas tersebut secara tidak langsung akan mengurangi kawasan hutan di Kaltim. Apalagi, sampai saat ini reklamasi yang dilakukan oleh beberapa perusahaan besar batu bara di Kaltim belum berjalan secara maksimal," katanya.
Lemahnya realisasi program reklamasi itu terbukti dengan ditemukannya beberapa lahan yang belum direklamasi secara maksimal oleh tim dari DPRD Provinsi beberapa waktu yang lewat.
Ketua Komisi II DPRD Kaltim, Ajie Sofyan Alex menjelaskan bahwa dari sekian perusahaan batu bara, hanya beberapa yang benar-benar bisa menjalankan program rehabilitasi lingkungan melalui kegiatan reklamasi lahan.
"Bisa dilihat sendiri, di Kaltim kini banyak kolam-kolam raksasa eks-penambangan batu bara yang masih terbuka, persoalan ini perlu ditangani serius agar tidak menimbulkan dampak lingkungan," kata politisi dari PDI Perjuangan Kaltim itu.
Diperkirakan bahwa faktor utama yang menyebabkan perusahaan "enggan" menjalankan kewajibannya melakukan program reklamasi lahan (menutup bekas galian serta menanam pohon penghijauan di atasnya) karena dana yang dibutuhkan sangat besar.
Musibah Banjir
Pada saat "kran reformasi" dibuka, maka pada awal 2000-an, terjadi "booming" kayu bulat karena kepala daerah bisa mengeluarkan izin HPHH (Hak Pemanfaatan Hasil Hutan) atau HPH (Hak Pengusahaan Hutan) skala kecil, yakni 100 Ha.
Sejumlah kepala daerah di Kaltim saat itu seperti berlomba-lomba mengeluarkan HPH skala kecil. Terbitnya ribuan izin HPHH pada gilirannya menyebabkan laju kerusakan lingkungan di Kaltim mencapai ratusan ribu hektar per tahun.
Terkait adanya kewenangan bupati/walikota menerbitkan izin KP seperti diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara diharapkan tidak mengulang kasus pemberian izin HPHH/HPH skala kecil tanpa kendali seperti yang berlaku pada awal bergulirkan desentralisasi pada 2000-an.
Setelah era "booming" kayu bulat berakhir, maka batu bara kini menjadi komoditi menjanjikan karena tersedianya pasar nasional maupun internasional terhadap "fosil minyak" itu meskipun dalam kondisi krisis ekonomi global.
Kegiatan eksploitasi batu bara itu kini sudah menunjukan dampak yang langsung dirasakan rakyat antara lain polusi udara dari debu yang bertebaran saat truk-truk besar yang membawa emas hitam tersebut serta musibah banjir.
Beberapa kota di Kalimantan Timur yang selama ini akan diterpa musibah banjir besar dalam siklus tahunan, misalnya 10 tahunan atau lima tahunan namun dalam beberapa tahun terkhir beberapa kali terjadi banjir besar dalam satu tahun.
Lihat saja, selama 2008 dan 2009, musibah banjir dalam satu tahun berkali-kali menggenangi sejumlah daerah di Kaltim, antara lain Samarinda, Kutai Timur dan Kutai Barat.
Faktor dominan yang diduga melahirkan "penyimpangan fenomena alam" (banjir bukan lagi menjadi musibah dengan siklus tahunan), yakni akibat kian parahnya kondisi hutan sebagai "cathcment area" atau kawasan tangkapan air hujan.
Ternyata ancaman terhadap kelestarian hutan belum berakhir, malah kini cenderung meningkat karena adanya kewenangan kepala daerah dalam menerbit kian izin KP, bahkan sebagian daerah seperti berlomba-lomba mengeluarkan izin dengan dalih untuk meningkatkan PAD (pendapatan asli daerah)
Contohnya, Pemkab Kutai Kartanegara selama 2009 sudah menerbitkan 689 izin KP (Data Dinas Pertambagan Kaltim). Sedangkan dari data yang dirilis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, pada 2007, baru 412 izin KP.
Pemkab Kukar selama 2007-2009 telah menerbitkan 275 izin KP. Jumlah ini merupakan yang terbanyak se-Kaltim, diikuti Kutai Barat (Kubar) yang menerbitkan 123 KP pada kurun waktu sama.
Melihat kenyataan itu, maka sebenarnya bupati dan walikota lah yang sangat menentukan baik dan buruknya pengelolaan sektor ekologis, termasuk peranan gubernur dalam mengoptimalkan fungsi pengawasan sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah.***
Misteri Bekantan Pulau Kumala Tak Terpecahkan
By Datu Iskandar Zulkarnaen (Datiz)
Samarinda - Puluhan ekor bekantan di Pulau Kumala Tenggarong pada 2000 dipindahkan ke daerah Pulau Yupa atau Pulau Jembayan, berjarak sekitar 30 Km yang masih masuk wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Provinsi Kalimantan Timur. Berselang 10 tahun kemudian (2010), kini keberadaan 58 ekor bekantan yang dilepaskan di Jembayan tidak terlihat lagi tanpa ada penelusuran atau penelitian tentang keberadaan monyet hidung panjang atau "Nasalis larvatus" itu.
Padahal, selain langka, maka keberadaan primata itu di Pulau Kumala menyisakan sebuah misteri atau keunikan.
Misteri bekantan itu terkait dengan sebuah pertanyaan, bagaimana satwa itu mampu beradaptasi pada kawasan hutan "Dipterocarp" (jenis meranti), yakni kawasan hutan yang berada di kawasan pedalaman, seperti di Pulau Kumala.
Pada berbagai kawasan di belahan dunia ini, maka habitat Bekantan adalah kawasan hutan mangrove.
Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem daerah tropis yang terdapat di kawasan pesisir. Pohon mangrove memiliki ciri khas tertentu, yang tidak dimiliki oleh pohon lainnya yang hidup di daratan, misalnya bijinya berkecambah di pohon (Rhizophora, Bruguiera, Kandelia, dan Ceriops).
Pemkab Kutai Kartanegara berdalih bahwa pemindahan satwa langka itu hakikatnya untuk melindungi bekantan terkait dibabatnya pohon pada kawasan seluas 75 hektar karena untuk pengembangan sektor wisata di Pulau Kumala pada 2000.
"Jika memang banyak yang protes, bekantan ini kita tangkap lagi dan pindahkan kembali ke Pulau Kumala," kata Syaukani HR, Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) saat itu dengan entengnya menjawab tentang keunikan bekantan di Pulau Kumala.
Entah apa di balik benak Syaukani saat itu sehingga meskipun ada protes di media massa namun tetap merampas kehidupan unik 58 ekor bekantan tersebut.
Berakhirnya "kejayaan" bekantan menjadikan Pulau Kumala sebagai "istananya" berarti punah pula sebuah obyek penelitian tak ternilai harganya.
Pemkab Kukar memanfaatkan dana diperkirakan sekitar Rp1 triliun --angka pasti tidak jelas karena selain APBD juga dari berbagai sumber-- akhirnya berhasil menyulap Pulau Kumala yang tadinya hanya hutan dihuni Bekantan menjadi obyek wisata yang dilengkapi berbagai sarana wisata modern.
Secara fisik Pemkab Kukar berhasil mengembangkan pulau yang terletak di tengah Sungai Mahakam itu namun tidak mampu menjerat minat wisatawan baik lokal apalagi mancanegara untuk mengunjungi kawasan itu, hal itu menyebabkan biaya operasional untuk menjalankan Pulau Kumala sebagai obyek wisata tidak seimbang dengan pendapatannya.
Pulau Kumala kini seperti merengang maut karena berbagai fasilitasnya sudah tidak berfungsi seperti kereta gantung, kereta api mini, sky tower dan musical fontain (air mancur yang mengikuti irama musik).
Pemandangan serupa terlihat pada fasilitas lain karena tampak tidak terurus lagi, misalnya rumah adat wahau, mancong, beyok, dan pasak sebagai rumah puja adat serta 22 unit cottage, patung lembuswana, pusat kebugaran, kolam renang, restauran, dan hotel dua lantai.
Akhirnya, menutupi biaya operasional, antara lain listrik, air bersih dan gaji karyawan harus menjadi beban APBD. Dalam beberapa waktu terakhir, Pemkab Kukar sendiri kewalahan menutupi biaya operasional untuk menjalankan obyek wisata Pulau Kumala.Sangat Terancam
Padahal, Pemkab Kukar jika saja justru menjalankan program konservasi serta "menjual" sisi misteri bekantan itu, maka tidak menuntup kemungkinan Pulau Kumala akan menjadi obyek wisata dan penelitian terkenal di mancanegara.
"Berbeda dengan primata lain, maka bekantan termasuk jenis yang sangat rawan punah," kata seorang primatolog Stanislav Lhota.
Ilmuan dari Departemen Zoologi, Universitas South Bohemia Republik Chechnya menjelaskan bahwa keberadaan satwa itu menjadikan hutan mangrove sebagai habitatnya menyebabkan bekantan rawan punah.
"Hutan mangrove adalah kawasan hutan di Indonesia yang paling cepat musnah karena daerah pesisir dan sungai adalah daerah pertama yang akan dihuni oleh orang-orang," kata Stanis Lhota yang sejak 2006 melakukan penelitian Bekantan di Teluk Balikpapan.
"Berbeda dengan primata lain, apalagi bekantan tidak bisa hidup pada kawasan hutan 'Dipterocarp' (jenis meranti) yang luas dan jauh ke pedalaman di Kalimantan," papar dia.
Keberadaan bekantan yang hanya bisa hidup dan tergantung pada kawasan hutan mangrove menyebabkan kelestariannya sangat terancam karena tidak punya pilihan lain untuk melarikan diri saat habitatnya dibuka untuk berbagai aktifitas manusia.
Berbagai alasan yang menyebabkan bekantan rawan punah menyebabkan IUCN (World Conservation Union) mengklasifikasikan bahwa bekantan termasuk satwa langka yang sangat
terancam kelestariannya.
Ancaman lain bagi habitat bekantan itu karena terus terjadi pembukaan lahan untuk berbagai aktifitas manusia misalnya pembukaan lahan tambak serta pertambangan batu bara dan
industri di kawasan pesisir.
"Selain itu ada anggapan keliru bahwa bekantan dengan mudah dapat makanan di hutan mangrove padahal satwa ini hanya memakan daun muda, buah-buahan dan biji-bijian mentah. Mereka bisa mendapatkan daun di hutan bakau, tetapi hampir tidak ada buah-buahan dan biji dapat dimakan di hutan mangrove," papar dia.
Bekantan harus meninggalkan hutan mangrove secara teratur untuk mencari makanan tambahan di hutan jenis lain sehingga jika hutan mangrove terus berkurang maka bekantan akan mati kelaparan.
Meskipun rawan punah, namun dari hasil surveinya menunjukan hal menggembirakan karena menemukan bahwa Teluk Balikpapan (Kaltim) menjadi habitat sedikitnya 1.400 ekor bekantan sehingga menjadi salah satu kawasan terbanyak di belahan dunia yang dihuni populasi monyet hidung panjang (Nasalis larvatus) itu.
"Namun, jika kondisi lingkungan di kawasan itu terus mengalami tekanan sehingga jika kelestarian hutan mangrove yang menjadi habitat primata tersebut tidak terjaga maka akan berdampak serius bagi keberadaan satwa langka itu," kata Stanislav Lhota.
Berdasarkan analisa status populasi dan habitat (Population and Habitat Viability Analysis/PHVA) menunjukkan hasil yang mengkhawatirkan, yakni jika tidak ada tindakan perlindungan yang diambil maka populasi bekantan di Teluk Balikpapan akan punah dalam jangka 14 tahun.
Lima Persen
Dari 2006, peneliti tersebut melakukan survei dan mendapatkan data cukup mengejutkan bahwa kawasan itu menjadi penting bagi pelestarian primata langka itu karena termasuk salah satu kawasan di belahan dunia yang terbanyak terdapat bekantan, masing-masing di daerah pesisir Kota Balikpapan sekitar 400 ekor dan pesisir Panajam Paser Utara (PPU) sekitar 1.000 ekor.
"Diperkirakan bahwa sesedikit 25.000 populasi bekatan di dunia. Jika perkiraan ini benar, itu berarti bahwa bekantan di Teluk Balikpapan mewakili lima persen dari seluruh populasi satwa langka ini di dinia," papar dia.
Populasi bekantan di Teluk Balikpapan mencapai 1.400 ekor itu menyebabkan pelestarian hutan mangrove jadi sangat penting, mengingat kawasan hutan sekitar perairan Selat Makkasar itu menjadi daerah kelima di dunia terbanyak dihuni oleh monyet hidung merah tersebut.
Satwa langka itu tersebar di berbagai kawasan pesisir Pulau Borneo, misalnya Sabah, Sarawak dan Brunei Darussalam.
Mega-proyek yang termasuk program Lintas Kalimantan di Kaltim, yakni pembangunan Jembatan Pulau Balang dan jalan penghubung sehingga akan mengisolasi bakau pesisir dari Hutan Lindung Sungai Wain (Hutan Lindung Sungai Wain) adalah kegiatan yang juga mengancam kelestarian satwa langka itu.
"Namun, ancaman ini bisa dihindari dengan memilih alternatif lokasi jembatan, misalnya dari Tanjung Batu (Balikpapan) dan untuk Gunung Seteleng (Penajam) jadi tidak perlu panjang jalan penghubung di sepanjang pantai Teluk Balikpapan," katanya menerangkan.
Ancaman serius lainnya adalah rencana untuk membangun 20 m lebar jalan penebangan oleh PT. ITCI Hutani Manunggal (IHM) di sepanjang pantai yang sama, dan pengembangan industri di daerah pesisir, yang dirancang sebagai kawasan Lindung dan kawasan mangrove di ruang tata Kota Balikpapan .
Aktifitas beberapa perusahaan di kawasan pesisir diduga ikut mengancam kelestarian bekantan, antara lain, PT. Mekar Bumi Andalas (MBA) untuk pabrik CPO (crude palm oil) dan PT. Dermaga Kencana Indonesia (DKI).
Dari berbagai ancaman terhadap kelestarian bekantan, maka terlihat faktor paling dominan adalah ketidakperdulian berbagai pihak terhadap nasib satwa langka itu, termasuk keangkuhan pengambil kebijakan yang mengabaikan sisi pentingnya menjaga kelestarian sebuah mata rantai kehidupan.
Contoh nyata adalah kebijakan membangun Pulau Kumala jadi obyek wisata modern karena telah merampas kehidupan unik puluhan bekantan serta memusnahkan obyek penelitian berharga bagi ilmu pengetahuan.
Punahnya bekantan di Pulau Kumala ikut membawa sebuah misteri yang sampai kini belum terpecahkan***
Wehea, Heaven is left in the East Kutai
By Datu Iskandar Zulkarnaen (Datiz) -
Hamparan hijau Hutan Wehea (Kutai Timur) bak sepenggal surga yang masih tersisa di Bumi Kalimantan Timur karena kondisi hutan hujan tropis yang masih sangat terjaga.
Bayangkan, dari 17 juta hektar lahan dan hutan Kalimantan Timur, sektar 6,8 juta hektar dalam kondisi kritis sedangkan sisanya mengalami penurunan kualitas yang cepat.
Lahan kritis 6,8 juta hektar itu berarti hampir sama dengan luas Provinsi Jawa Tengah mencapai 3,25 hektar digabung dengan Provinsi Jawa Barat 3,7 juta hektar.
Melihat Hutan Wehea seperti menyaksikan sebuah drama kehidupan masyarakat lokal, Dayak yang memainkan peran begitu apik dalam menjaga keseimbangan alam yang menyatu dengan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat pedalaman.
Sering timbul pertanyaan, bagaimana masyarakat Dayak Wehea mampu menjaga kelestarian alam sekitarnya, khususnya ketika mampu menghalau dari kilauan rupiah yang ditawarkan para cukong kayu seperti musnahnya kearifan lokal pada beberapa kawasan di Kaltim.
"Petkuq Mehuey...." adalah sepotong kalimat Dayak Wehea yang menjadi mantra menyelamatkan kawasan yang menyimpan keanekagaraman hayati (bio-diversity) luar biasa itu.
"Petkuq Mehuey" bermakna "menjaga bersama" atau sebuah ajakan penuh keyakinan untuk bersama menjaga keseimbangan alam, bentuk penyatuan manusia dengan alam semesta.
Dengan sepotong kalimat saksi itu, maka kelestarian hutan seluas 38.000 hektar yang terletak di Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur dapat terjaga.
Hutan tersebut menjadi rumah bagi warga Dayak Wehea, di sana terdapat ruang "lumbung pangan" dengan tersedianya madu, buah-buah hutan serta babi hutan serta "bilik" untuk obat-obatan, yakni kawasan "apotik hidup".
Kerja sama Pemkab Kutai Timur dengan LSM asing, The Natural Conservacy (TNC) membuktikan bahwa berbagai upaya kelestarian kawasan tersebut sangat strategis karena memiliki keanekaragaman hayati luar biasa, lihat saja di sana terdapat 12 hewan pengerat, 9 spesies primata, 19 mamalia, 114 jenis burung, dan 59 spesies pohon bernilai.
Menakjubkan lagi, ketika ancaman kian tinggi terhadap kelestarian orangutan (Pongo pygmaues) ternyata di kawasan Hutan Wehewa menjadi habitat 760 ekor primata tercerdas setelah gorilla dan simpanse itu.
Di tengah hamparan Hutan Wehea juga terdapat jenis tumbuhan langka, yakni taman anggrek hitam.
Menelisik ke tengah jantung Hutan Wehea maka akan terdengar suara satwa langka lainnya, seperti Uwauwa, beruang madu, macan dahan, dan lutung merah.
Guna memperkuat upaya pelestarian maka masyarakat adat Dayak Wehea membuat sebuah keputusan adat. Dipimpin oleh Kepala Adat Dayak Wehea Desa Nehas Liah Bing, Ledjie Taq maka mereka sepakat mengeluarkan surat mengikat untuk melindungi kawasan itu, yakni Surat Keputusan Lembaga Adat Desa nomor 001/LAD-NLB/X/ 2005 yang selanjutnya dituangkan melalui SK Adat nomor 002/LAD-NLB/2005.
Melalui surat keputusan itu, resmilah "penobatan" pasukan pasukan pengawal Hutan Wehea oleh warga Dayak setempat. Pasukan pengawal itu terdiri dari 40 orang yang semua berasal dari suku lokal setempat.
Kearifan lokal masyarakat dalam menjaga kelestarian itu ternyata mendapat sorotan internasional, terbukti merebut juara III (tiga) dalam penghargaan "Schooner Prize Award 2008" di Vancouver, Kanada.
Penghargaan berhadiah 1.000 dollar Amerika Serikat itu sebagai bentuk pengakuan bahwa model pengelolaan konservasi hutan Wehea dinilai sangat adaptif dan sesuai perkembangan zaman.
Dalam event tersebut empat juri, Konrad Von Ritter dari Bank Dunia (Word Bank), Stefan Nachuk dari Rockefeller Foundation, Randy Curtis dari TNC, dan Cynthia Ryan dari Schooner Foundation, menetapkan Taman Laut Masyarakat Arnavon di Pulau Solomon meraih juara I, Proyek II Bolivia Forest di Bolivia juara II, Pengelolaan Hutan Wehea juara III, dan Masyarakat Pengelola Hutan Berkelanjutan oleh Suku Maya (Meksiko) juara IV. Kejuaraan berlangsung di Vancouver, Kanada.
Kawasan Wehea menjadi strategis selain karena memiliki keanekaragaman hayati sekitarnya terdapat kawasan konservasi lain, seperti Hutan Lindung Lesan dan Kelay. Hutan ini bekas kawasan hak pemanfaatan hutan yang dipegang PT Gruti III. Pada 1995 digabung dengan PT Inhutani II menjadi PT Loka Dwihutani. Tahun 2003, hutan dievaluasi Pemprov Kaltim dan kondisinya dinilai masih baik. Di daerah itu ada tiga sungai, yaitu Sungai Melinyiu, Sekung, dan Seleq—semua bermuara ke Sungai Mahakam.
Kearifan lokal itu juga mendapat penghargaan langsung dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara pada 5 Juni 2009. Trofi Kalpataru yang tersimpan rapi pada salah satu ruang di rumah Kepala Adat Wehea merupakan bentuk penghargaan pemerintah pada 2009 kepada warga setempat yang diwaliki Ledjie Taq.
Ledjie Taq adalah tokoh masyarakat Dayak asal Desa Neheas Leah Bing, Kecamatan Muara Wahau. Ledjie Taq berjasa saat menyelamatkan hutan Wehea (Wahau) dari kebakaran hutan meskipun rumah dan beberapa rumah warga ikut hangus dilalap api.
Tampaknya kearifan lokal warga pedalaman itu seperti "ikan dan air" yang tak mungkin terpisahkan, menyatu dalam keseimbangan alam
Sukan Kaltim Lebih Hebat Ketimbang Kesebelasan Timnas
Samarinda - Ketua Tim Pemenangan Kaltim PON XVIII-2012 Riau menyatakankemenangan Kaltim atas Brunei di Sukan Borneo IV-2011 menunjukkan kesebelasannya lebih hebat daripada Timnas yang dipermalukan tuan rumah di Kejuaraan Piala Sultan Hassanal Bolkiah.
"Kita prihatin atas prestasi Timnas dan persepakbolaan nasional karena setelah kalah telak melawan Bahrin, kini dipermalukan Brunei, padahal kita mengalahkan mereka (Brunei) di Sukan Borneo. Berarti Kaltim lebih hebat dari(pada) Timnas," ujar Farid Wajdy di Samarinda, saat pembukaan dan syukuran Pusat Pelatihan Daerah Kaltim untuk PON XVIII-2012, Sabtu malam (11/3).
Kaltim menang 2-1 atas Brunei yang "merumput" dengan kekuatan atau pamain yang sama saat pada babak final Sukan Borneo IV-2011 Kaltim di Stadion Utama Palaran Samarinda.
Kaltim saat itu, bahkan sempat tertinggal 0-1 dan salah satu pemainnya dikeluarkan karena terkena kartu merah. Namun, tim asuhan Rudy William Keltjes itu meskipun bermain 10 orang tetapi bisa menundukkan Brunei 2-1 sehingga meraih medali emas.
Sukan Borneo adalah "Pekan Olahraga Antardaerah dan Negara se-Wilayah Borneo (Kalimantan) yang anggotanya, Brunei Darussalam, Malaysia (Sabah, Labuan, dan Serawak) serta seluruh provinsi di Kalimantan.
Sukan Borneo 2011 di Samarinda (Kaltim) merupakan yang ke-empat setelah sukan pertama di Brunei Darussalam pada 1954, disusul Sukan Borneo di Sarawak pada 2007 dan di Brunei Darussalam pada 2009.
"Semoga melalui PON ini lahir bibit-bibit pemain terbaik yang bisa menjadi anggota tim nasional sehingga bisa meraih prestasi membanggakan," ujar Farid yang juga Wakil Gubernur Kaltim.
Dalam amanahnya di depan hampir 700 atlet dan pelatih PON Kaltim serta sejumlah anggota KONI Kalimantan Timur, Wagub menyampaikan bahwa kunci sukses meraih prestasi adalah salah satunya sikap disiplin.
Wagub juga meminta agar semua pihak menjaga suasana aman dan tentram di Puslatda yang dipusatkan di Hotel Atlet dan Stadion Madya Sempaja Samarinda.
"Kalau ada masalah, segera dibicarakan dengan pihak-pihak yang terkait. Jangan berbicara di luar apalagi langsung ke media karena justru bisa memperkeruh suasana," ujarnya
Sementara itu, Komandan Puslatda Kaltim, Zuhdi Yahya menyatakan bahwa Puslatda kali ini berbeda saat menjelang PON XVII-2008 di Kaltim karena saat itu jumlah atlet sekitar 1.000 orang karena keuntungan sebagai tuan rumah maka tidak harus mengikuti prakualifikasi PON.
"Meskipun berat namun kami tetap optimistis bahwa Kaltim bisa meraih prestasi emas," ujarnya.
Kaltim pada PON 2008 meraih prestasi monumental dan fenomenal karena meraih 116 medali emas atau peringkat ketiga setelah Jawa Timur dan DKI Jakarta.
Mantan pemain nasional, Rudy William Keltjes mengaku sangat prihatin dengan kian terpuruknya prestasi tim nasional (Timnas) dan mengharapkan agar akar masalah persepakbolaan nasional segera dituntaskan.
"Cobalah duduk satu meja agar berbagai persoalan segera dituntaskan. Terus terang saya sangat prihatin dengan kondisi persepakbolaan nasional," kata Rudy yang kini menjadi Pelatih Kepala Tim Sepak Bola PON Kaltim.
Mantan pelatih Persebaya itu sangat berharap agar jangan lagi terjadi kekisruhan dalam pembinaan prestasi sepak bola nasional sehingga perlu keterlibatan aktif pemerintah untuk mempertemukan dan menyatukan pihak-pihak yang berseteru.
"Pembinaan prestasi tidak mungkin berjalan baik jika dalam pengelolaannya terus diwarnai perbedaan-perbedaan yang bukan ke arah perbaikan namun kian memperlebar konflik," ujar pria kelahiran 20 Agustus 1953 itu.
Namun, Rudy enggan menyebutkan pihak mana yang harus bertanggung jawab terhadap kondisi terpuruknya persepakbolaan nasional.
"Dalam kondisi sekarang, kita jangan mencari siapa yang salah atau yang benar, yang terpenting pemerintah (Menpora) harus segera terlibat aktif menyelamatkan prestasi sepak bola nasional. Pasalnya, keberhasilan atau kegagalan Timnas sudah menyangkut martabat bangsa bukan hanya dialami segelitir orang," ujar dia.
Menyinggung tentang kekalahan Timnas 1-2 dari kesebelasan yang selama ini dianggap paling lemah di kawasan Asia Tenggara, yakni tim Brunei di Piala Sultan Hassanal Bolkiah, ia menyebutkan tentang beberapa faktor, antara lain, Timnas yang diturunkan tidak dengan kekuatan penuh.
"Faktor lain, yakni kesalahan strategi dalam menghadapi Brunei. Kuncinya adalah harus bisa mematikan dua pemain sayap mereka," ujar Rudy.
Strategi itu pernah ia terapkan sehingga tim Kaltim mampu membekuk Brunei 2-1 sehingga berhasil meraih emas pada Sukan Borneo IV-2011 di Samarinda.
Bahkan, tim Kaltim pada babak final itu sempat tertinggal 0-1 serta bermain hanya 10 pemain karena satu pemain terkena kartu merah di Sukan Borneo atau "Pekan Olahraga antardaerah dan negara se-wilayah Borneo (Kalimantan) yang anggotanya, Brunei Darussalam, Malaysia (Sabah, Labuan, dan Serawak) serta seluruh provinsi di Kalimantan.
Wakil Gubernur Kaltim Ajak Siwo PWI Sinergiskan Program
Samarinda - Pihak Pemprov Kalimantan Timur mengajak Seksi Wartawan Olahraga (Siwo) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kaltim untuk mensinergiskan berbagai program sehingga kegiatannya lebih berdampak luas baik dukungan tidak langsung maupun langsung bagi
perkembangan dunia olahraga di daerah itu.
Hal itu dikatakan oleh Wakil Gubernur Kaltim yang juga jadi Ketua Tim Pemenangan Kaltim pada PON XVIII-2012 Riau, Farid Wajdy di Samarinda, Sabtu kepada Ketua Siwo PWI Kaltim, Iskandar Z Datu di sela-sela acara Siwo Award 2011 Kalimantan Timur.
Farid mengatakan bahwa berbagai program Siwo PWI bisa disinergiskandengan kegiatan Pemprov Kaltim, khususnya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait, yakni Dinas Kepemudaan dan Olahraga (Dispora) setempat.
"Misalnya, setiap tahun kita juga memberikan award (penghargaan) bagi pembina, pelatih dan atlet berprestasi setiap perayaan HUT Provinsi Kalimantan Timur 9 Januari. Jadi akan lebih baik jika Siwo Award disinergiskan dengan program tersebut," ujar Ketua Tim Pemenangan Kaltim di PON 2012 itu.
Farid menilai bahwa kredibilitas para wartawan senior olahraga dalam menentukan pilihannya kepada pembina, pelatih dan atlet terbaik sudah tentu tidak diragukan lagi.
Ia juga berharap agar berbagai program lain yang bisa disinergiskan, misalnya pelatihan jurnalistik bagi para staf kehumasan maupun bidang lain yang membutuhkan di jajaran Pemprov Kaltim.
"Saya sangat berterima kasih kepada Siwo PWI yang secara tidak langsung mendukung penuh upaya Kaltim dalam mencapai target untuk bias mempertahankan tiga besar di PON XVIII-2012 Riau," ujarnya.
Pemberian Siwo Award, menurut Farid adalah upaya dukungan moral bagi semua pihak, khususnya pelatih dan atlet agar berprestasi lebih baik.
Pihak Siwo PWI Kaltim dalam Siwo Award pada 2012 menambah beberapa katagori untuk penerima penghargaan.
Siwo Kaltim pada 2012 tidak hanya memberikan "award" dengan katagori pembina (perorangan), pelatih dan atlet di "multi event" seperti kegiatan sebelumnya namun juga penghargaan bagi tokoh berjasa bagi perkembangan olahraga, pembinan non perorangan atau organisasi/perusahaan, serta atlet untuk singel event.*****
Laporan Ketua Siwo PWI Kaltim
Assalamualaikum WW Wb,
Yang Terhormat Wakil Gubernur Kaltim yang juga Ketua Tim Pemenangan PON Kaltim, Bapak Farid Wajdy,
Yang Terhormat Ketua KONI yang diwakili oleh Komandan Puslatda Kaltim, Bapak Zuhdi Yahya dan para pengurus KONI Kaltim dan KONI Samarinda,
Yang Terhormat para wakil rakyat,
Yang Terhormat para mitra olahraga dari unsur swasta,
Yang Terhormat para Pengurus Cabang Olahraga se-Kaltim,
Yang Terhormat Kepala Dispora Kaltim dan Dispora Samarinda,
Yang Terhormat rekan pelatih, atlet, pengurus PWI dan para wartawan olahraga Kaltim,
Yang Terhormat Bapak-2 Ibu2 dan hadirin berbahagia,
Salam Olahraga
Puji syukur kita ucapkan karena berkah dan hidayahnya lah maka acara ini bisa diselenggarakan.
Sebagai Ketua Siwo PWI Kaltim sekaligus Ketua Panitia Penyelenggara, saya melaporkan bahwa program SIWO Award kali ini tidak hanya memberikan penilaian kepada pembina perorangan, pelatih dan atlet berprestasi di multi event namun penghargaan juga kami berikan kepada tokoh berjasa bagi perkembangan dunia olahraga di Kaltim, kemudian penghargaan untuk pembina non perorangan atau organisasi, lembaga atau perusahaan, serta katagori lainnya untuk kami berikan penghargaan bagi atlet berprestasi di singel event.
Proses untuk menetapkan nama seseorang, organisasi atau perusahaan yang berhak mendapat SIWO Award melalui rekam jejak data dari 2008 sampai 2011, yakni hasil PON XVII-2008 Kaltim, hasil berbagai kejuaraan multi event dan singel event, termasuk SEA Games 2011.
Jadi mometum SIWO award ini, kami pikir tepat karena rentang waktu sekitar empat tahun bisa bisa menunjukan sebuah konsentrasi ketahanan dalam mempertahankan prestasi. Apalagi kegiatan ini menjelang PON XVIII-2012 di Riau sehingga program ini menjadi bagian dari kontribusi para insan pers olahraga Kaltim dalam mendukung tekad Tim Pemenangan PON Kalimantan Timur untuk meraih prestasi emas.
Khusus penghargaan bagi atlet dan pelatih, diawali dengan data media masing-masing wartawan serta data Bimpres KONI Kaltim. Data ini kemudian dibahas dan ditetapkan oleh para wartawan senior olahraga baik cetak maupun elektonik Kaltim. Demikian juga halnya dalam menetapkan nama tokoh berjasa bagi sejarah olahraga di Kaltim serta pembina baik perorangan maupun organisasi melalui proses pembahasan mendalam oleh para wartawan senior olahraga itu.
Bapak2, Ibu2 dan hadirin yang berbahagia,
Kami menyadari bahwa dalam setiap acara seperti ini tentu ada pro dan kontra sehingga kami perlu melaporkan juga bahwa SIWO Award kali ini kami buat pembatasan-pembatasan, di antaranya, hanya diberikan kepada tokoh, pembina, pelatih dan atlet yang belum menerima penghargaan baik dari SiWO maupun lembaga lainnya.Selain itu, penilaian khusus pelatih dan atlet tidak semata-mata rekam jejak data prestasi namun kami memprioritaskan bagi para pelatih dan atlet lokal.
Bapak2, Ibu2 dan para hadirin,
Kami juga menyadari bahwa katagori paling rawan menimbulkan polemik adalah penghargaan untuk tokoh yang berjasa bagi perkembangan dunia olahraga Kalimantan Timur. Hal ini mengungkapkan bahwa ternyata Kaltim memiliki kelemahan dalam pencatatan prestasi atau sejarah perkembangan dunia olahraga dari masa ke masa. Kami kesulitan untuk menemukan data tertulis, referensi baik di sebuah buku ataupun dalam data online tentang hal itu.
Oleh karenanya, kami mohon maaf sebesar-besarnya jika ada tokoh yang sebenarnya sangat pantas meraih penghargaan namun ternyata belum menerima SIWO Award. Jadi yakinlah bahwa hal itu bukan karena kami tidak perduli dengan jasa mereka namun akibat keterbatasan data dan pengetahuan kami sendiri. Bung Karno dalam peringatan Hari Pahlawan 10 Nov lima puluh satu tahun silam mengingatkan agar kita jangan melupakan jasa para pahlawan "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya," ujar sang proklamator.
Harapan kami, melalui SIWO Award ini akan menjadi langkah awal untuk memulai pencatatan sejarah prestasi dan kifrah para tokoh yang berjasa bagi dunia olahraga di Kaltim. Harapan lain agar kegiatan ini bisa memacu prestasi lebik baik bagi para pembina perorangan, pembina organisasi, pelatih dan atlet agar berprestasi lebih baik, karena selama kita bersatu padu maka beban berat akan jadi ringan seperti kata pepatah "bersilang kayu ditunggu, maka jadilah api" api yang akan membakar semangat untuk meraih prestasi terbaik di PON Riau nanti.
Bapak2, ibu2 dan hadirin sekalian
Saya mewakili seluruh panitia penyelenggara mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang mendukung kegiatan itu, bahkan ada satu tokoh yang kami anggap berhak mendapat SIWO Award karena keperduliannya dalam mendukung kegiatan olahraga, khususnya acara-acara SIWO namun karena beliau tidak ahli dalam satu jenis cabang olahraga manapun maka terpaksa SIWO Award kami tunda dulu, yakni Pimpinan RRI Samarinda.
Sebelum kami mengakhiri laporan ini maka izinkan kami untuk memohon maaf sebesar-besarnya, jika dalam ucapan, tindakan serta rangkaian acara ini ada hal yang kurang berkenan di hati bapak2, ibu2 dan hadirin sekalian.
Wabilahi taufik wal hidayah, wassalamualikum warahmatullah wabarakatuh.
Successful Recorded PesutMahakam photo
Pesut Mahakam berhasil diabadikan News Agency reporter Abdi Heyru Kalimantan Timur. PesutMahakam kondisi (Orcaella brevirostris) lebih mengkhawatirkan, terbukti sangat sulit sekarang untuk melihat ini di habitat spesies langka, hal ini disebabkan karena beberapa faktor, antara lain, lalu lintas sungai lebih padat, polusi dan sedimentasi dari ketinggian sungai. Sedangkan awal 1990-an sering terlihat pada pagi dan sore hari. Heyru Abdee berhasil menangkap kawanan lumba-lumba mengungkapkan sendiri sekitar Loa Kulu, Kutai, Kalimantan Timur, baru-baru ini
Derita Masyarakat Nomaden Di Kalimantan Timur
By Datu Iskandar Zulkarnaen (Datiz)
Di Bumi Kalimantan Timur ada dua suku bangsa yang sebenarnya jarang sekali membuat masalah namun sering dipersoalkan, yakni Suku Bajau (Manusia Perahu) atau "Gipsy Laut" dan masyarakat terasing Suku Punan, yakni kaum namoden-pengembara yang hidup berkelana di belantara Borneo.
Baik Suku Bajau (Manusia Perahu) maupun warga Punan jarang melakukan pergaulan sosial dengan warga lain sehingga jarang sekali membawa persoalan. Ironisnya, justru keberadaan mereka yang justru dipersoalkan.
Ketika pengusaha kayu membawa alat berat serta chainsaw (gergaji mesin) ke dalam hutan, maka Suku Punan akan bertambah jauh ke kawasan pedalaman untuk menghindar.
Demikian juga Manusia Perahu itu, mereka memilih meninggalkan perairan pada kawasan Pesisir Bontang dan Kutai Timur ketika mesin dan alat-alat industri Migas dan batu bara masuk ke kawasan itu tanpa pernah menuntut ganti rugi "lahan" (mungkin agak sulit mengukur lahan di atas air).
Tradisi mereka yang selalu menghindari masalah, ternyata bukan jaminan mereka tidak menghadapi persoalan. Misalnya, Pemkab Berau, Kaltim "mengamankan (eupheisme yang populer masa Orba sebagai kata ganti ditangkap) beberapa waktu lalu.
Pemkab Berau dibantu polisi setempat "mengamankan" Manusia Perahu itu dengan dasar cukup membingungkan, mungkin dianggap masuk secara ilegal sehingga dituduh sebagai "pendatang haram" atau sebagai warga negara tidak bertanggung jawab karena tidak punya indentitas diri , KTP.
Pemkab Berau bisa jadi resah dengan kehadiran "Gipsy Laut" pada kawasan pesisir karena mendapat laporan dari nelayan bahwa melakukan pencurian ikan.
Saat dalam penahanan itu, kondisi mereka yang ditempatkan pada salah satu ruangan Dinas Sosial Kabupaten Berau sangat menyedihkan karena dilaporkan hanya mendapat jatah makan sekali sehari sehingga beberapa di antaranya jatuh sakit.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kaltim akhirnya mendesak Kapolda Kalimantan Timur (Kaltim), Inspektur Jenderal (Irjen) Mathius Salempang untuk membantu pembebasan Manusia Perahu dari komunitas Suku Bajau Pela'u.
Permintaan bantuan itu dilayangkan melalui surat Walhi Kaltim tertanggal 5 April 2010 kepada Kapolda Kaltim.
Tercatat 16 jaringan internasional dan puluhan organisasi masyarakat sipil Indonesia, termasuk kami (Walhi) yang menaruh perhatian dan dukungan bagi komunitas Bajau Pela`u itu.
Berdasarkan data Walhi bahwa sebenarnya sejak 1997, Manusia Perahu sudah berdiam di wilayah Kaltim tepatnya di sekitar Pulau Balikukup, Tanjung Buaya-buaya dan Desa Batuputih.
"Komunitas Bajau Pela`u merupakan suku tradisional yang tidak mengenal kewarganegaraan. Sejak 1980-an mereka sudah ada yang hidup di laut Filipina, Malaysia, laut Sulawesi dan Selat Makassar," Direktur Ekskutif Walhi Kaltim, Isal Wardhana.
Kondisi manusia perahu itu kian memprihatinkan karena pola hidup mereka yang tidak terbiasa lama berada di daratan.
Suku Bajau memang berasal dari Kepulauan Sulu, Filipina Selatan. Suku ini merupakan suku nomaden yang hidup di atas laut sehingga disebut Gipsi Laut. Suku ini menggunakan bahasa Sama-Bajau. seperti Bahasa Melayu, meskipun pada beberapa daerah di pesisir terdapat perbedaan dialek.
Berdasarkan historis bahwa kedatangan mereka ke utara Kaltim jauh sebelum kedatangan suku-suku Muslim dari rumpun Bugis, Makkasar dan Mandar.
Bahkan, awal berdirinya Kesultanan Bulungan oleh Wira Amir yang kemudian bergelar Sultan Amiril Mukminin menjodohkan putrinya, Puteri Kenawai Lumu dengan dengan kerabat keraton Kesultanan Sulu, Raja Laut yang kelak menjadi penerus raja-raja di "Kesultanan Boeloengan".
Manusia Perahu dari Sulu ini yang membantu Kesultanan Bulungan dalam mengatasi gangguan bajak laut atau perompak di pesisir utara Kalimantan itu.
Selama ini, ada juga anggapan keliru yang menyamakan Suku Laut dengan perompak atau bajak laut.
Suku Bajau sejak ratusan tahun yang lalu sudah menyebar ke negeri Sabah dan berbagai wilayah Indonesia. Suku Bajau juga merupakan anak negeri di Sabah.
Meski berasal dari Filipina namun hakikatnya suku-suku purba itu berasal dari wilayah Kalimantan yang bermigrasi dari arah utara (Filipina) pada zaman prasejarah.
Pihak Presedium Gabungan LSM Se-Kaltim menilai bahwa pemerintah harusnya membina dan mengentaskan kehidupan sosial dan ekonomi komunitas Manusia Perahu bukan menangkap mereka karena dianggap tidak punya identitas (kewarganegaraan).
"Harusnya pemerintah membina dan mengentaskan kehidupan sosial-ekonomi mereka bukan menangkapnya. Sama saja dengan Dayak Punan (masyarakat terasing yang hidup secara nomaden), banyak di antara mereka tidak memiliki identitas baik KTP (kartu tanda penduduk) atau kewarganegaraan," kata Ketua Presedium Gabungan LSM Se-Kaltim, Bachkruddin belum lama ini.
Data Dinas Sosial Kaltim memperkirakan terdapat 6.000 jiwa Dayak Punan yang masih hidup secara nomaden di belantara Kalimantan Timur dan kurang tersentuh pembinaan baik secara agama, pendidikan, budaya, sosial dan ekonomi, termasuk banyak di antara mereka tidak punya kartu identitas.
"Apa bedanya dengan komunitas Bajau atau suku laut atau manusia perahu, bisa jadi sama dengan Dayak Punan karena kurang pembinaan atau pendekatan pemerintah sehingga mereka tidak punya identitas," katanya.
Ia menilai bahwa persoalan tersebut diperkirakan karena lokasi pemukiman mereka yang sulit terjangkau sehingga menjadi hambatan dalam melakukan pembinaan jadi bukan keinginan mereka untuk tidak memiliki identitas diri.
"Hal yang sama juga terjadi dengan warga Dayak Punan karena selain mereka hidup di belantara juga enggan bertemu dengan masyarakat luar," imbuh Bachruddin.
Mungkin, imbuh dia, masyarakat terasing Suku Punan lebih beruntung karena meskipun mereka dalam melakukan pengembaraan bisa melintasi batas-batas adminitrasi negara di Borneo --mengingat sebagian wilayah Kaltim berbatasan langsung dengan Sabah dan Serawak-- pemerintah jarang mempersoalkan masalah identitas, baik KTP maupun paspor.
Berbeda dengan Suku Bajau karena dalam beberapa kasus, masalah itu yang sering dipersoalkan oleh pemerintah daerah.
Namun, ia menegaskan bahwa upaya pemerintah dalam mengentaskan kehidupan sosial dan ekonomi Suku Bajau adalah kewajiban negara karena mereka sebenarnya adalah warga Indonesia jadi program mengutamakan efektititas bukan efesiensi.
"Bahkan, sebenarnya warga Bajau ini dalam beberapa kasus, banyak yang mengalami kerugian namun tidak menuntut ganti rugi, seperti saat mereka terusir dari kawasan pesisir Bontang dan Sangkulirang karena hadirnya sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang Migas dan batu bara," imbuh dia.
Melihat kenyataa itu maka tidak diragukan lagi bahwa Suku Bajau ini adalah "anak negeri" meskipun umumnya jarang memiliki identitas diri serta melakukan pergaulan sosial dengan warga di daratan.
Mengantisipasi terulangnya kasus tersebut, selain pemerintah berkewajiban membina kehidupan sosial dan ekonomi seperti warga yang ada di daratan, maka Pemerintah RI, Malaysia dan Filipina membicarakan lagi hak perikanan tradisional, yakni keberadaan dan hak penghidupan yang diyakini Suku Bajau karena sudah ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut Internasional Tahun 1982 Pasal 51.
Selasa, 03 April 2012
Sejarah Pemilihan Kepala Daerah Langsung Di Kaltim
(By Datiz)
Samarinda - Bukan Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) namanya apabila tidak sering melempar joke-joke segar. Terkait "musim" pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung yang akan digelar lebih dari 250 kepala daerah pada 2005 di seluruh Indonesia, Gus Dur belum lama ini, melemparkan joke segar tentang tiga Pilkada, yakni Pilkada langsung, Pilkadas, dan Pilkadal.
Tiga Pilkada menurut versi Gus Dur adalah Pilkada adalah Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Pilkadas atau Pemilihan Kepala Daerah Aliran Sungai, dan Pilkadal, yakni Pemilihan Kepala Daerah Kadal. Meskipun hanya joke, namun ada pesan di balik itu, yakni mengantisipasi memilih pemimpim (gubernur dan bupati/walikota) yang "kadal" serta mengantisipasi "pengkadalan" rakyat (pemilih) dalam Pilkada langsung.
Setelah Pilkada langsung digelar, di beberapa daerah memang banyak kasus kemungkinan terpilihnya pemimpin kadal dan rakyat dikadali, hal itu terkait berbagai bentuk kecurangan. Sebut saja Pilkada Kukar (Kutai Kartanegara) yang merupakan Pilkada pertama di Indonesia pada 1 Juni 2005. Pada Pilkada itu, Tim Sukses Kandidat Bupati Kukar, Sofyan Alex-M. Irkham melaporkan berbagai bentuk kecurangan kepada KPUD dan Panwasda Tenggarong.
Kecurangan tersebut antara lain dugaan mark up data pemilih (jumlah pemilih pada Pilpres 350.000 orang, namun pada Pilkada menjadi 370.000 orang), kartu pemilih ganda, eksodus warga, dan adanya pemilih illegal, sehingga pemungutan suara/pencoblosan di Muara Badak terpaksa diulangi.
Kecurangan lain, politik uang baik berupa pemberian uang tunai, barang, dan Sembako. Pilkada langsung di daerah lain di Indonesia juga ternyata kondisinya kurang-lebih sama dengan terjadi di Kukar. Anugerah Sebagai pelajaran berdemokrasi, Pilkada langsung adalah anugerah bagi rakyat Indonesia.
Bayangkan, dulunya pemimpin hanya ditentukan oleh puluhan anggota dewan, sehingga berdasarkan pengakuan seorang mantan walikota yang gagal mengakui bahwa untuk menjadi pemimpin saat itu seperti melaksanakan lelang atau tender, yakni dipilih karena mampu membayar tertinggi.
Sedangkan saat ini, konon, sepenuhnya ditentukan oleh rakyat. Namun, hal itu juga dipertanyakan. Karena ternyata masih banyak peluang atau celah untuk bermain kotor, sehingga hasil akhir (suara) bukan asli keinginan sebagian besar rakyatnya. Pengamat politik dari CSIS, Indra Paliang menilai bahwa ada beberapa celah terjadi penyimpangan, pertama me-mark up data pemilih dengan membuat kartu pemilih ganda dan eksodus warga (khususnya di kantung daerah yang berbatasan).
Memanipulasi hasil perhitungan, dan menjalankan money politic. Jujur diakui, katanya, sebagai negara yang terkenal dengan korupsi tertinggi di dunia, ditambah pendidikan warganya yang masih kebanyakan rendah, maka kecurangan dan pelanggaran seperti itu sangat mungkin terjadi.
Di luar masalah itu, maka apabila dilihat dari situasi dan kondisi, maka Pilkada langsung di Kutai Kartanegara 1 Juni 2005 dianggap sukses dan bisa menjadi contoh bagi daerah lain di Indonesia, mengingat secara nasional ini Pilkada langsung pertama. Sehingga, suksesnya pelaksanaan Pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Kutai Kartanegara (Kukar) mendapat perhatian dari Komisi A DPRD Jawa Tengah (Jateng).
Hal itu dibuktikan dengan kedatangan rombongan DPRD Jateng yang berjumlah 32 orang, di Tenggarong, belum lama ini untuk studi banding tentang keberhasilan Pilkada di Kukar dan beberapa Pilkada yang akan segera menyusul di daerah itu. Rombongan DPRD Jateng yang dimpimpin Ketua Komisi A, Subyakto, itu terdiri dari 18 anggota komisi, enam orang dari Mapilu, kemudian satu orang lagi dari Kesbanglinmas dan perwakilan Otda Jateng.
Kedewasaan Asisten Bidang Pemerintahan Sekprov Kaltim, Sjahruddin mengatakan keberhasilan Pilkada di Kaltim, khususnya Kukar merupakan salah satu bukti kedewasaan masyarakat berdemokrasi sehingga berjalan lancar dan aman. Menurut dia, setelah diidentifikasi masalah Pilkada, ada lima persoalan yang mendapat perhatian, namun dapat diatasi, yakni soal banjir yang sempat menggenangi lima kecamatan, disiasati dengan pembuatan Tempat Pemungutan Suara (TPS) terapung atau panggung.
Selanjutnya, pemberian sanksi tegas pada sejumlah PNS yang ikut tim sukses atau kampanye, padahal jelas-jelas aturannya melarang. "Begitu juga dengan dana APBN untuk Pilkada belum diterima. Terpaksa daerah yang mendahulukan, tapi dalam hal ini provinsi tidak ada membantu karena melihat daerah mampu mendanainya, sehingga tidak tergantung pada APBN," ujarnya.
Selain itu, sempat mencuat terbitnya Permendagri nomor 12 2005, tetang honorarium petugas Pilkada. "Karena daerah telah lebih dulu menetapkan, dan nilainya di atas aturan tersebut, petugas menolak, jika aturan Permendagri tersebut diterapkan, mereka mengancam mengundurkan diri," katanya. "Karena letak geografis daerah ini sangat luas dan medannya cukup sulit.
Tapi ini pun telah dapat diatasi," katanya. Namun yang terpenting sebenarnya adalah masalah pendataan pemilih. Sebab ini sangat menentukan. "Di Kukar, pemutakhiran data ini sempat diributkan, lantaran terjadi pembengkakan jumlah pemilih cukup besar," jelasanya.
Ketua KPUD Kukar, Ishack Iskandar menjelaskan berdasarkan hasil perhitungan yang sudah masuk ke KPUD Kukar, yaitu pasangan Sofyan Alex-Irkham memperoleh 88.581 suara (33,39 persen), pasangan Tajuddin Noor- Abd Djebar memperoleh suara 13.863 suara (5,23 persen), dan pasangan Syaukani dan Samsusri Aspar memperoleh suara 159.248 suara (60,03 persen).
"Partisipasi masyarakat Kukar (pemilih) pada pelaksanaan Pilkada mencapai 70,56 persen," katanya. Padahal sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) M Ma'ruf telah mengingatkan kemungkinan terjadinya bentuk-bentuk penyimpangan itu antara lain pengerahan massa atau eksodus warga, politik uang serta berbagai bentuk penyimpangan lain saat memantau langsung tahapan Pilkada di Kukar. Selain itu, Mendagri juga mengingatkan bahwa tahapan dalam Pilkada semuanya mengandung kerawanan.
Oleh sebab itu, ia berharap agar semua pihak yang terlibat bisa bekerja secara profesional serta menjalankan pengawasan secara benar guna menghindari kecurangan.
"Semua pihak harus bekerja sesuai dengan mekanisme dan aturan berlaku," katanya. Misalnya, apabila sudah masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), maka tidak bisa lagi ada penambahan mata pilih dengan alasan apapun.
DPS (daftar pemilih sementara) bisa diberikan apabila sudah menetap selama enam bulan. Mendagri juga meminta aparat kepolisian waspada kemungkinan terjadi kasus yang bisa memicu konflik horizontal.
Khusus di Kaltim dalam waktu dekat akan digelar Pilkada, yakni Pasir, Bulungan, dan Berau, sehingga bisa belajar ke Kukar dan mengikuti saran Mendagri untuk menghindari konflik horizontal di antara pendukung kandidat bupati.
Melihat beberapa laporan kecurangan, agaknya pasimistis agar Pilkada berlangsung Jurdil, serta kemungkinan munculnya pemimpin kadal dan rakyat dikadali peluangnya masih besar. Itulah kondisi riil bangsa Indonesia saat ini.
Si Mario Kian Terjebak
Samarinda
- Kondisi orangutan (Pongo pygmaues Mario) di Kalimantan Timur kini benar-benar memprihatinkan selain "rumah" (habitatnya) kian menyempit, ternyata pengembangan berbagai sektor lain serta kebijakan pemerintah hanya menambah sengsara nasib primata ini.
Khabar dibantainya puluhan orangutan (Pongo pygmaues Mario) di Desa Puan Cepak, Kecamatan Muara Kaman (diperkirakan mulai terjadi pada 2009 hingga 2010 namun baru terungkap baru-baru) membuktikan tentang dampak negatif pengembangan sektor lain (pembukaan lahan sawit) serta kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak "pro-ekologi" (memikirkan dampak lingkungan dari
pemberian izin pembukaan lahan).
Pembantaian orangutan itu kini ditangani oleh Polres Kutai Kartanegara. Diduga dilakukan secara sengaja dan sistematis oleh sebuah perusahaan sawit yang membuka lahan di kawasan itu karena primata tercerdas setelah simpanse dan gorilla itu dianggap sebagai hama.
Selain itu, diduga pembantaian itu untuk merampas anak orangutan. Artinya, untuk mendapatkan satu anak orangutan, maka satu induk primata ini juga dibantai. Anak orangutan ini cukup mahal dijual kepada orang yang gemar memelihara satwa langka, bahkan harganya di pasar gelap luar negeri jika berhasil diselundupkan bisa mencapai 10 kali lipat lagi.
"Benar sekali kondisi orangutan kini kian terdesak, hal ini terkait sekali dengan kerusakan habitatnya, apalagi deforestration (laju kerusakan hutan) Kaltim cukup tinggi, yakni 350.000 Ha per tahun, ini sesuai data Pemprov Kaltim," kata Direktur Ekskutif Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), Isal Wardhana.
Isal menambahkan bahwa jika data itu benar maka luas lahan dan hutan di Kaltim kini kerusakannya antara 40-50 persen dari total mencapai 16 juta hektar.
Keberadaan primata ini juga menjadi indikator tentang masih bagusnya kondisi hutan, yakni masih tersedia berbagai bahan pangan orangutan. Kenyataannya, beberapa kawasan yang menjadi "rumah" orangutan, seperti Taman Nasional Kutai (TNK) misalnya sudah jarang terlihat ini menandakan kondisi lingkungan di daerah itu sudah rusak.
"Laju kerusakan itu akibat berbagai faktor, misalnya kebakaran hutan dan lahan, perlandangan, pembukaan lahan untuk program transmigrasi, pertambangan dan perkebunan," papar dia.
Namun, katanya, dari beberapa faktor itu, maka sektor yang memberikan kontribusi terbesar bagi kerusakan lingkungan di Kaltim adalah pembukaan lahan tambang dan perkebunan.
"Lihat saja kini semua daerah seperti berlomba-lomba untuk membuka lahan sawit dan mengeksploitasi batu bara," ujar dia.
Ia menjelaskan bahwa melalui kewenangan bupati dan wali kota yang menerbitkan izin KP (kuasa penambangan) maka diduga terdapat puluhan izin yang telah terbit dan dimanfaatkan investor dalam melaksanakan aktifitasnya.
"Memang kewenangan bupati mengeluarkan KP sudah dicabut akan tetapi aktifitas perusahaan memanfaatkan izin itu sampai kini masih berlangsung. Saran kami agar kerusakan lingkungan ini kian parah, maka tidak cukup mencabut kewenangan kepala daerah dalam mengeluarkan KP namun juga segera mencabut izin yang telah diberikan," paparnya.
Belum lagi, kata Isal menambahkan, pembukaan lahan untuk perkebunan sawit juga kian membuat orangutan terdesak karena semua daerah di Kalimantan Timur kini berlomba-lomba mengembangkan bidang agribisnis ini.
Kebakaran Hutan
Berbagai aktifitas dalam pembukaan lahan dan hutan menyebabkan hutan hujan tropis di Kalimantan Timur kian rentan terhadap bahaya api. Hal itu akibat berkurangnya kelembaban lantai hutan sehingga saat musim kemarau akibat gesekan batang kayu atau puntung rokok bisa menjadi sumber petaka terhadap hutan.
Terbukti, setiap musim kemarau kebakaran/hutan dan lahan pasti terjadi meskipun tercatat musibah terparah pada 1982-1983, 1992, 1995 dan 1998, 2005 dan 2007 saat terjadi anamoli alam "El Nino" (Anak Tuhan, istilah nelayan Peru terhadap arus panas yang terlihat pada setiap tahun sekitar Natal).
Misalnya, saja, berdasarkan foto udara dari "National Oceanic and Atmospheric Administration/NOAA, National Environmental Satellite, Data, and Information Service Satellite" seperti dilaporkan IFFM (Integreted Fire Forest Management) GTZ (sebuah lembaga hasil kerja sama dengan pemerintah Jerman) melaporkan sedikitnya 5,1 juta hektar hutan dan lahan rusak akibat amukan api selama kemarau 1998.
Sejak kebakaran hutan terparah pada 1982 dan 1983 di beberapa lokasi di Kaltim, seperti TNK kerusakan hutannya mencapai sekitar 70-an Ha, begitu jugakawasan Bukit Soeharto. Bukit Soeharto yang sebagian kawasannya adalah hutan penelitian Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, maka setidaknya sepuluh kali kawasan konservasi yang seluas 61.000 Ha itu mengalami nasib serupa meskipun terparah 1998 saat terjadi kemarau panjang selama delapan bulan.
Kebakaran hutan pada 1998 akhirnya membuka mata semua orang bahwa bencana tersebut benar-benar membawa kerugian yang sulit diukur dengan uang. Dari sektor perhubungan kerugian mencapai ratusan miliar rupiah dari terhambatnya aktifitas perhubungan udara, darat, laut, sungai dan danau.
Dari sektor ekonomis kayu, kerugian akibat hangusnya areal seluas 5,1 juta hektar (data IFFM). Menurut perhitungan Walhi kerugian itu mencapai Rp 10,25 triliun.
Sedangkan taksiran WWF berkisar 4,4 miliar Dolar AS. Itu pun belum termasuk kerugian kesehatan, transportasi, dan biaya pemulihan kembali hutan. Ketika kebakaran merebak, Departemen Kehutanan mengumumkan ada 176 perusahaan di Sumatra dan Kalimantan yang diduga sebagai pelaku pembakaran hutan.
Waktu itu, sang musim, yakni El Nino--penyebab kemarau panjang--sempat dituding sebagai biang keladinya.
Tapi, para pengamat kehutanan selalu mengingatkan bawa El Nino tidak memiliki "pemitik api" namun manusialah faktor dominan penyebab kebakaran. Ternyata, cara peladang berpindah yang membakar hutan untuk pembukaan lahan usaha ditiru pengusaha hutan tanaman industri, pemegang hak pengusahaan hutan, dan penyedia lahan transmigrasi dan perkebunan.
Ketimbang peladang berpindah, maka ulah perusahaan perkebunan dan HTI, serta pembukaan lahan untuk program transmigrasi lebih parah, sayangnya para perusahaan itu tidak tersentuh hukum. Kalaupun ada perusaaan yang diseret ke meja hijau hanya beberapa
perusahaan serta mendapat saksi sangat ringan.
Dari sisi ekologis, kerugian akibat kerusakan bio-diversity itu luar biasa akibat kerusakan ekosistem. Misalnya saja, butuh waktu sedikitnya 50 tahun untuk memulihkan kondisi hutan sekunder sedangkan untuk hutan alam butuh waktu sekitar 100 tahun.
Bahkan, berdasarkan laporan pengkajian dari pihak Fakultas Kehutanan, kebakaran hutan sudah mengganggu kestabilan ekosistem karena indeks serangga di Bukit Soeharto menurun drastis. Padahal, serangga adalah makanan berbagai jenis burung di kawasan konservasi itu.
Pada bencana 1998 itu, bukan hanya orang biasa atau petani dan peladang yang meradang akibat lahan pertaniannya jadi makanan empuk lidah api namun juga sangat "meresahkan" orangutan.
Puluhan petugas Pusat Rehabilitasi Orangutan Wanariset Semboja kalang-kabut berupaya menyelamatkan 70 ekor orangutan yang kabur saat kebakaran kian mendekati kawasan hutan "sekolah" (tempat meliarkan kembali) satwa langka itu.
Masalah lain, para petugas Wanariset kewalahan karena hampir setiap hari menerima orangutan yang lari dari hutan akibat amukan api yang meluluhlantakan habitatnya serta ditangkap warga.
Tidak Mudah
Salah seorang peneliti orangutan di Kaltim, Anne Russon dari York University mengaku bahwa upaya pihaknya dalam meningkatkan populasi orangutan di provinsi itu tidak mudah.
Peneliti asing yang memfokuskan penelitiannya terhadap orangutan di Stasiun Penelitian Orangutan di Camp Bendili Mentoko, Kutai Timur, Taman Nasional Kutai (TNK) mengaku bahwa selain kondisi habitat terus menyempit, ternyata butuh perlakuan khusus dalam upaya pelestarian primata ini.
Ternyata spesies Orangutan Kalimantan dan Orangutan Sumatera memiliki jenis berbeda sehingga orangutan yang mampu berkembang di Kaltim hanya jenis Orangutan Kalimantan Timur (Pongo pygmaues Mario). Orangutan TNK merupakan bagian dari populasi subspesies orangutan Borneo Timur. Morio ini hanya ada di Kaltim, meskipun termasuk sub-spesies yang kuat karena kondisi lingkungan yang buruk.
Di sisi lain, ia mengakui bahwa sub-spesies orangutan Kaltim (si Morio Kaltim) rentan terhadap kepunahan mengingat populasi Morio hanya berkisar 5.250 ekor di Kaltim. Sementara TNK yang menjadi "benteng terakhir perlindungan morio Kaltim" itu kondisinya kini terus menyempit oleh berbagai aktifitas manusia.
Populasi Si Mario ini di TNK diperkirakan tinggal 600 ekor sehingga upaya pelestarian habitatnya (mencegah terus terjadinya pembukaan lahan dan hutan) sangat penting dilakukan.
Melihat kondisi seperti itu, tampaknya semua pihak, khususnya pemerintah pusat dan daerah perlu mencabut izin, merevisi serta membuat berbagai kebijakan yang lebih berpihak kepada sektor ekologis.
Terkait masalah lingkungan dan upaya pelestarian hutan, pemerintah telah merevisi serta melahirkan UU namun masih lemah dalam penerapannya, misalnya UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Dan yang terpenting dalam upaya penyelamatan orangutan ini adalah penerapan berbagai kebijakan yang telah dibuat, mengingat upaya pelestarian alam sudah banyak hanya penerapannya yang sering tidak konsiten," ujar Isal Wardhana.
Senin, 02 April 2012
Sang Saka Merah Putih Harus Terus Berkibar Di Perbatasan
Datu Iskandar Zulkarnaen (Datiz)
Samarinda (Phinisinews) - Mungkin, sekiranya para pemain Timnas tahu bahwa sesungguhnya kesebelasan Malaysia sering dikalahkan Indonesia di kawasan perbatasan Kaltim-Malaysia timur, maka kegagalan Irfan Bachdim dan teman-teman merebut piala AFF 2010 tidak menjadi beban.
Meskipun pertandingan persahabatan yang digelar setiap perayaan HUT RI itu dilaksanakan pada tingkat kecamatan namun di sisi lapangan berkibar bendera Merah Putih dan Jalur Gemilang (Malaysia).
Perayaan HUT RI di kawasan perbatasan berarti pesta bagi seluruh di kawasan utara Kalimantan Timur baik WNI maupun dari warga negeri jiran, Malaysia.
Pada saat itu, terlihat sekali bahwa keberadaan wilayah Indonesia dengan Malaysia hanya batas-batas administratif negara namun dari sisi sejarah, sosial dan budaya tidak ada batas-batas penyekat bagi warga di sana.
Bahkan, pernah tercatat bahwa kepala desa di Krayan ternyata bertalian darah (adik-kakak) dengan kepala desa di Bakalalang, sebuah desa di Malaysia timur yang berbatasan langsung dengan Krayan.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, maka perayaan HUT RI ke-66 pada 2011 juga cukup meriah, sekilas tampak tidak ada masalah serta nilai-nilai kebangsaan di wilayah perbatasan itu masih belum luntur.
Ketergantungan kawasan perbatasan di Kaltim dengan transportasi udara seperti terlihat saat puluhan Apo Kayan, dari etnis Dayak Kenyah mengamuk di Bandara Temindung Samarinda akibat tidak beroperasinya maskapai SMAC melayani Samarinda-Long Ampung, Kabupaten Malinau.
Puluhan warga warga perbatasan yang sudah sekian minggu terlunta-lunta di Samarinda akhirnya tidak mampu menahan kekesalah serta melampiaskan kemarahannya dengan merusak fasilitas Bandara Temindung Samarinda, akhir Februari 2011.
Menurut salah seorang warga perbatasan, Thomas Ngau kejadian itu berawal dari tuntutan warga karena melihat armada maskapai SMAC banyak yang sudah tua dan meminta agar diganti dengan pesawat yang lebih layak, mengingat kasus kecelakaan pesawat udara di pedalaman dan perbatasan cukup sering terjadi.
Pihak manajemen SMAC menyatakan bahwa penghentian operasi penerbangan itu sebenarnya sejak 14 Februari 2011 atas perintah Dirjen Perhubungan Udara.
Keputusan itu karena proses investigasi dari pihak KNKT masih berjalan terkait jatuhnya pesawat di Bintan, Riau.
Namun, setelah kasus itu, akhirnya penerbangan ke perbatasan kembali berjalan setelah melibatkan beberapa pesawat milik Susi Air.
Kondisi wilayah perbatasan Kaltim yang sangat tergantung kepada transportasi udara menyebabkan harga kebutuhan pokok mencapai tiga kali lipat ketimbang harga normal kawasan perkotaan di Kaltim.
Sektor lain
Kelemahan infrastruktur perubungan darat itu, pada giliranya bukan hanya membawa masalah bagi perekonomian namun juga pada sektor lain, misalnya pendidikan, pengawasan, kesehatan serta keamanan dan pertahanan nasional.
"Bisa dikatakan, warga perbatasan belumlah menikmati arti kemerdekaan sesungguhnya," kata Kepala Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Pedalaman, dan Daerah Tertinggal Kaltim Prof Dr. Andri Patton.
Pernyataan itu, mungkin tidak berlebihan, lihat saja sejumlah anak di kawasan perbatasan, Kecamatan Krayan Selatan harus berjalan kaki hampir 50 kilometer untuk menjangkau sekolahnya saat pelaksaan UN (ujian nasional) SMP beberapa waktu lalu.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Nunukan, Nizaruddin, Senin menyatakan, terdapat 12 peserta UN yang ada di Krayan Selatan yang harus menempuh perjalanan hampir 50 Km agar bisa mengikuti UN.
Mereka harus ikut UN di Krayan Induk karena sekolah mereka belum terakreditasi sehingga ke-12 siswa itu harus menempuh perjalanan hingga sehari semalam atau hampir 50 Km..
Bahkan, pelaksaan UN sempat terhambat karena pesawat perintis dari Bandara Juata Tarakan kembali karena terhalang kabut di Krayan.
Kondisi serupa juga terjadi pada sektor lain, misalnya kesehatan akibat keterbatasan fasilitas, sumber daya manusia dan obat-obatan.
Di bidang pengawasan lebih parah lagi, kelemahan infrastruktur perhubungan yang dihadapkan dengan keterbatasan personil dari kepolisian dan TNI menyebabkan berbagai kasus yang merugikan negara rawan terjadi di perbatasan, misalnya pembalakan liar, penyelundupan, TKI ilegal serta kemungkinan menjadi pintu bagi kegiatan terorisme.
Wilayah perbatasan Kalimantan Timur yang harus diawasi panjangnya sekitar 1.082 Km. Kawasan itu meliputi tiga Kabupaten, yaitu Kutai Barat, Malinau, dan Nunukan, serta meliputi sebanyak 41 kecamatan dan 553 desa/ kelurahan.
Sebanyak 13 kecamatan di antaranya berbatasan langsung dengan Negeri Sabah dan Serawak yang meliputi sebanyak 249 desa.
Kecamatan yang berbatasan langsung dengan negeri sabah dan serawak yaitu; Kecamatan Long Apari dan Long Pahangai di Kabupaten Kutai Barat, Kayan ulu, Kayan Hilir, Kayan Selatan, Bahau Hulu dan Pujungan di Kabupaten Malinau serta Krayan, Krayan Selatan, Lumbis, Sebuku, Nunukan dan Sebatik di Kabupaten Nunukan.
Wilayah perbatasan tersebut merupakan perbatasan daratan kecuali di kecamatan Nunukan, Kabupaten yang mempunya perbatasan laut dengan Kota Tawao, Negeri Sabah, dengan panjang garis perbatasan keseluruhan mencapai 1.038 km.
Luas wilayah perbatasan kerseluruhan yang meliputi Kabupaten Kutai Barat, Malinau dan Nunukan mencapai 88.513,08 km2 atau 42,42 persen dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Timur.
Dari luas wilayah perbatasan tersebut, 56,14 persen atau seluas 49.689,83 km2 merupakan wilayah 13 kecamatan yang terletak sejajar dengan garis perbatasan antar negara yang berbatasan langsung dengan Negeri Sabah dan Serawak.
Di kawasan perbatasan terdapat Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) seluas 1,2 juta Ha yang berbatasan darat dengan Malaysia timur, sebagian kawasan konservasi itu masuk di Kabupaten Nunukan, dan sebagian di Kabupaten Malinau.
TNKM merupakan taman nasional terluas di kawasan Asean dan disebut-sebut sebagai "benteng terakhir hutan tropis dataran tinggi di Kaltim".
Kawasan korserasi ini, bukan saja menjadi habitat berbagai satwa langka Kalimantan namun kelestariannya perlu terus dipertahankan karena di daerah ini terdapat situs-situs purbakala, yakni adanya kerangka manusia purba dalam peti jenazah yang terbuat dari batu atau "sarkofagus".
Pihak DPRD Kaltim menilai bahwa komitmen politik untuk mempercepat pembangunan wilayah perbatasan di Kalimantan Timur masih lemah sehingga berbagai "masalah klasik" terus terjadi pada kawasan yang berbatasan dengan Malaysia itu.
"Pada hakikatnya secara suprastruktur (berbagai kebijakan) sudah cukup, mulai dari Keppres 44 Tahun 1994 tentang Perbatasan Kalimantan dan Inpres Nomor 7 Tahun 2002 mengenai Upaya Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia (KTI) namun persoalan perbatasan masih belum mampu dientaskan," kata Ketua Komisi II DPRD Kaltim, Rusman Yakub.
Politisi dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kaltim itu menjelaskan bahwa dari Pemerintahan Orde Baru, Reformasi sampai Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, wilayah yang berbatasan langsung dengan Serawak dan Sabah (Malaysia timur) itu masih bergelut dengan "masalah klasik", misalnya disparitas pembangunan, penyelundupan, TKI ilegal, pembalakan liar dan pencurian kayu.
"Akar masalah mengapa semua itu terjadi, yakni akibat lemahnya pembangunan berbagai sektor di wilayah perbatasan," papar Rusman yang juga Ketua PPP Kaltim tersebut.
Selain suprastruktur, katanya bahwa dari sisi kelembagaan juga sudah lengkap, misalnya sudah ada Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, dan di daerah juga sudah dibentuk Badan Pengelola Kawasan Perbatasan, Pedalaman dan Daerah Tertinggal (BPKP2DT) Kaltim.
"Namun ini juga belum cukup, upaya membangun wilayah perbatasan masih tertatih-tatih, faktor utamanya akibat kelemahan komitmen politik dari pusat," katanya.
Komitmen politik tesebut dimaksudkan antara pihak legilslatif dan ekskutif di pusat dalam upaya percepatan pembangunan perbatasan.
"Menguji komitmen tersebut sangat gampang, yakni mari kita lihat alokasi dana pembangunan (APBN) untuk wilayah perbatasan, ternyata nilainya sangat kecil tidak sebanding dengan permintaan Kaltim dalam membangunan daerah itu," katanya.
Alokasi dana pusat untuk pembenahan infratruktur di kawasan hanya ratusan miliran padahal kebutuhan Kaltim triliun rupiah per tahun, mengingat panjang batas wilayah di provinsi Kaltim yang harus ditangani mencapai 1.082 KM.
"Jadi saya menilai bahwa agar komitmen politik ini benar-benar direalisasikan, maka semua pihak, termasuk wakil-wakil Kaltim di pusat baik di DPR RI maupun di DPD jangan bosan-bosan mendesak semua pihak untuk mengatasi masalah perbatasan," katanya.
Ia menyayangkan bahwa ada kesan persoalan perbatasan hanya dijadikan "komoditas politik" jika suhu memanas akibat persoalan teritorial, misalnya klaim sepihak oleh Malaysia terhadap blok Ambalat beberapa waktu lalu.
"Jangan sampai akibat persoalan ekonomi maka nilai-nilai kebangsaan warga perbatasan akan luntur," ujarnya.
Kekhawatiran Rusman Yakub itu bukan tanpa alasan, pasalnya beberapa waktu silam lima desa di kawasan perbatasan "lenyap" akibat warganya eksodus untuk bergabung dengan para saudaranya yang menetap di wilayah Serawak Malaysia.
Berapa lama Sang Saka Merah Putih masih berkibar di kawasan perbatasan, tampaknya sangat tergantung kepada "political will" pusat untuk benar-benar membangun kawasan yang beberapa kali disebut Presdien Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraannya, sebagai "beranda negara".
Minggu, 01 April 2012
Catatanku Tentang Pilkada Pertama Di Indonesia
Seandainya pihak Museum Rekor Indonesia mau mendaftarkan berbagai kelebihan dan keunikan sebuah daerah maka itu adalah Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur.
Lihat saja, dalam lintasan sejarah KUtai adalah daerah Kerajaan Hindu tertua di Nusantara yang berdasarkan jejak historis berdiri pada abad ke-4.
Kukar juga kembali masuk dalam sejarah perpolitikan dan kenegaraan karena menjadi daerah yang pertama kali melaksanakan pemilihan kepala daerah (tingkat bupati/wali kota) di Indonesia sejak NKRI merdeka, yakni Pilkada langsung pada 1 Juni 2005.
Sedangkan keunikannya --mungkin lebih tepat disebut sebagai ironisme-- kabupaten kaya akan potensi Migas dan batu bara itu kenyataannya memiliki warga miskin terbanyak di Kaltim.
Data Pemprov Kaltim baru-baru ini mencatat jumlah penduduk miskin di Kukar mencapai 73.300 jiwa atau 15,07 persen dari total masyarakat miskin di Kaltim sekitar 318.200 jiwa.
Ironisnya, Kota Bontang yang tadinya memiliki warga miskin cukup banyak dan sempat menjadi bagian dari Kukar (kini berdiri sendiri sesuai UU Nomor 47 Tahuh 1999 tentang Pemekaran Daerah) malah mampu mengatasi masalah sosial itu sehingga penduduk miskinnya kini paling sedikit di provinsi itu, yakni hanya 7.900 atau 6,8 persen dari total warga miskin Kaltim.
Ironisme lainnya, mata pengunjung yang datang ke KOta Tenggarong --Ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara-- akan terbelalak kagum melihat keindahan Jembatan Kutai Kartanegara yang biaya untuk pengecatan jembatan saja mencapai Rp7 miliar.
Saat melintasi jembatan berwarna kuning keemasan itu, maka terlihat keindahan obyek wisata di tengah Sungai Mahakam, yakni Pulau Kumala yang tadinya hanya sebuah delta kemudian "disulap" menjadi lokasi berbagai wisata modern dengan biaya sekitar Rp2 triliun.
Namun, jika ingin melihat pemandangan lain yang membuat hati miris hanya sekitar satu kilometer dari lokasi jembatan megah yang dibangun dengan dana ratusan miliar rupiah itu, yakni di Tenggarong Seberang terlihat kondisi yang menyebabkan rasanya Indonesia ini belum merdeka.
Saat menyelusuri beberapa desa di Kecamatan Tenggarong Seberang maka akan ditemukan kondisi rumah penduduk yang mencerminkan tingkat kesejahteraannya, serta sejumlah bangunan SD (maaf) seperti kandang kambing.
Misalnya, seperti terlihat pada kondisi SD Kertabuana Tenggarong Seberang. Para pelajar tampak tekun memperhatikan pelajaran meskipun kursi, meja, lantai kelas dinding kelas sudah berlubang-lubang dan lapuk, bahkan langit-langit sejumlah ruang kelas seperti akan runtuh karena banyak kayunya rusak termakan usia dan rayap.
Berdasarkan data Disdik Kaltim bahwa tercatat Kukar adalah daerah terbahyak di Kalimantan Timur yang memiliki bangunan sekolah yang rusak atau tidak layak pakai, yakni tercatat 4.049 unit ruang kelas yang rusak dari katagori rusak ringan, sedang dan ada 40 persen di antaranya sangat tidak layak pakai, dari 15.406 ruang kelas yang ada di daerah itu.
Padahal kOndisi seperti itu hanya beberapa kilometer dari pusat kota sehingga bisa dibayangkan tentang perekonomian dan bangunan SD pada desa di kawasan pedalaman dan psisir Kukar.
Deretan "ter..." milik Kukar kian panjang jika data jumlah penggangguran, warga putus sekolah serta tingkat kesehatan warga di daerah berpenduduk sekitar 500.000 jiwa itu dibuka serta dibandingkan dengan daerah di Kalimantan Timur yang memiliki APBD jauh di bawah Kukar yang pada 2010 anggarannya disahkan mencapai Rp4,9 triliun.
"Masalah-masalah seperti itu yang menjadi tantangan bagi siapapun menjadi kepala daerah di Kabupaten Kutai Kartanegara. Jadi Pilkada yang dilaksanakan 1 Mei 2010 ini hanya sebuah pintu masuk saja. Jadi tantangan dan kemampuan kepala daerah akan teruji saat menuntaskan berbagai masalah sesungguhnya di Kutai Kartanegara itu," kata pengamat politik Kalimantan Timur, Prof Sarosa Hamongpronoto, SH.
Suara Fenomental
Pada pelaksanaan pesta demokrasi akbar tingkat kabupaten itu, akhirnya Rita Widyasari dipastikan hanya satu putaran saja berhasil menyisihkan lima pasangan kandidat bupati/wakil bupati Kabupaten Kutai Kartanegara pada Pilkada 2005-2010 dengan mengantongi 55,10 persen.
Suara mencapai 55,10 persen itu (sampai Sabtu malam sudah masuk 99 persen suara) yang dihimpun lembaga survei Citra Publik Indonesia (CPI) dinilai cukup fenomental, mengingat terdapat ada enam pasangan kandidat (bupati/wakil bupati).
KPUD Kutai Kartanegara memang belum mengumumkan secara resmi hasil perhitungan suara namun data yang dihimpun CPI telah mencapai pengumpulan 99 persen suara yang 55,10 persen di antaranya untuk pasangan Rita-Gufron.
Kenyataan yang selama ini terlihat bahwa tingkat kesalahan atau selisih perhitungan sebuah lembaga survei dengan KPUD sangat kecil sehingga kemungkinan besar pertambahan atau penurunan suara masing-masing kandidat tidak begitu signifikan lagi.
Direktur Eksekutif CPI mencoba menilai bahwa kemenangan Rita yang juga kini sebagai Ketua DPRD Kukar tersebut tidak terlepas dari kharisma yang dimiliki Syaukani HR, ayahnya, yang juga mantan Bupati Kutai kartanegara yang saat ini berstatus terpidana kasus korupsi.
"Warga Kutai Kartanegara masih melihat sosok Syaukani HR ada pada putrinya itu yakni Rita Widyasari," katanya mengenai kharisma Syaukani atau akrab dipanggil "Kaning" sebagai poin menentukan bagi kemenangan Rita.
Rita Widyasari sepertinya menyadari akan besarnya pengaruh Syaukani, sehingga dengan berbagai upaya ia akhirnya berhasil mendapatkan izin dari Dephumham untuk membawa sang ayah yang konon sakit seperti orang lupa ingatan itu ke Tenggarong beberapa hari sebelum pelaksaan tahapan pencentangan Pilkada 1 Juni 2010.
"Hal itu kami lihat dari hasil survei yang kami dilakukan tiga hari sebelum pilkada. Perolehan suara Rita Widyasari itu juga tidak terlepas dari kharisma dia dan upayanya dalam melakukan sosialisasi dan pendekatan kepada masyarakat di Kutai Kartanegara," kata Hendrasmo.
Hasil perhitungan cepat yang dilakukan CPI bersama Lingkaran Survei Indonesia (LSI), pasangan calon Bupati Kutai Kartanegera ,Rita Widyasari dan M. Gufron Yusuf meraih 55,10 persen disusul pasangan Awang Ferdian Hidayat dan Suko Buono dengan perolehan 17,59 persen.
'
Sedangkan pasangan yang sempat diunggulkan pada Pilkada Kutai Kartanegara yakni, Awang Dharma Bakti dan Syaiful Aduar hanya memperoleh 11,47 persen.
Tiga pasangan calon Bupati Kutai Kartanegara lainnya yakni, Sugianto dan Fathan Djunaedi memperoleh 7,43 persen, pasangan Edward Azran dan Syahrani 6, 61 persen serta pasangan Idrus SY dan Shali hanya memperoleh 1, 89 persen.
Jumlah warga tercatat dalam DPT (daftar pemilih tetap) tidak memanfaatkan hak politik dengan benar atau "Golput" (golongan putih) pada Pilkada langsung bupati/wakil bupati Kutai Kartanegara 2010-2015 mencapai 35,52 persen.
Data itu lebih tinggi ketimbang Pilkada untuk pemilihan bupati/wakil bupati pada 1 Juni 2005 yang mencapai 29 persen.
Kutai Kartanegara adalah daerah pertama melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung pada 1 Juni 2005. Pilkada untuk periode 2005-2010 itu dimenangkan oleh Syaukani HR, yakni ayah dari Rita Widyasari.
"Dari hasil quick count bahwa Pilkada Kabupaten KutaKartanegara (Kaltim) periode 2010-2015 hanya berlangsung satu putaran. Hal itu melihat data bahwa sudah ada pasangan bupati dan wakil bupati yang memperoleh suara sudah 55,10 persen," kata Direktur Eksekutif CPI, Hendrasmo.
"Secara resmi, perhitungan memang tetap mengacu pada KPUD Kukar. Namun, kami sangat optimistis bahwa perhitungan berdasarkan hasil quick count tidak kami akan jauh berbeda dengan hasil perhitungan KPUD Kutai Kartanegara," katanya.
Sampai pukul 18.00 Wita, Sabtu (1/5) hasil "quick count" atau perhitungan cepat hasil kerja sama CPI bersama Lingkaran Survei Indonesia (LSI), pasangan calon Bupati Kutai Kartanegera, Rita Widyasari dan M. Gufron Yusuf masih memimpin dengan selisih suara kecil sekali.
"Kami mengambil 200 TPS sebagai sampel dari 1.247 Tempat Pemungutan Suara (TPS) di 227 desa di Kutai Kartanegara. Teknik penarikan sampel dilakukan secara 'multistage random sampling' yang tersebar secara proporsional berdasarkan jumlah pemilih dan dipilih secara acak di seluruh kecamatan," katanya.
"Tingkat kesalahan quick count hanya satu persen sehingga kami optimisitis, pasangan Rita Widyasari dan M.Gufron Yusuf, peraih suara terbanyak dan menang telak pemilukada Kutai Kartanegara," ujar Hendrasmo.
Sementara, tiga pasangan calon Bupati Kutai Kartanegara lainnya yakni, Sugianto dan Fathan Djunaedi memperoleh 7,43 persen, pasangan Edward Azran dan Syahrani 6, 61 persen serta pasangan Idrus SY dan Shali hanya memperoleh 1, 89.
"Sampai petang tadi, suara yang masuk sudah 99 persen dan kami pastikan perolehan suara itu tidak akan mengalami perubahan secara signifikan," katanya.
Mengenai kemenangan Rita, Sarosa mengakui bahwa memang ada pengaruh dari ayahnya, Syaukani HR, mengingat profil dan budaya masyarakat di Kutai Kartanegara yang paternalistik.
"Kita tahu bahwa Kutai adalah tempat Kerajaan Hindu tertua di Nusantara dan pernah berdiri Kerajaan Mulawarman dan Kerajaan Kutai Ing Martadipura sehingga budaya paternalistik masih lekat. Memang Rita bukan laki-laki tetapi sosok Syaukani sangat lekat dengan dirinya dan sebagian warga masih berharap bahwa polanya memimpin akan sama dengan sang ayah terlepas dari berbagai kasus yang menimpa orangtuanya," papar mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unmul Samarinda.
Syaukani yang juga mantan Ketua Apkasi (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia) dijerat oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) serta menjadi terpidana dalam kasus korupsi pembebasan lahan Bandara Loa Kulu dan dana Bansos.
"Selain harus mengatasi berbagai ketimpangan ekonomi-sosial dan disparitas pembangunan, maka tantangan terbesar bagi siapapun yang memimpin Kukar, yakni bisa melakukan pengawasan bidang keuangan dan administrasi guna menekan kasus korupsi, termasuk menekan dan mengatasi kasus perusakan lingkungan sebagai dampak ekploitasi potensi kekayaan alam yang ljuar biasa," katanya.
"Jadi Rita harus benar-benar menempatkan orang yang mampu mengatasi kerawanan tersebut, bukan nantinya akan menjerumuskan dirinya," imbuh dia.
Jauh sebelumnhya, tokoh masyarakat Kutai, Ajie Sofyan Alex pernah mengatakan bahwa dalam memimpin daerah itu, maka ada dua pilihan bagi kepala daerah, yakni mengikuti "irama kerja atau berani melawan arus".
"Pilihan untuk orang untuk memimpin Kukar hanya dua, yakni mengikuti irama kinerja atau kebiasaan para pejabatnya atau benar-benar menerapkan disiplin seperti militer. Artinya berani mengambil keputusan untuk memindah atau memcopot jabatan orang yang dianggap tidak mampu menjadi abdi masyarakat dan abdi negara," papar politisi dari PDI Perjuangan Kaltim yang pernah menjadi kandidat bupati Kukar 2005-2010.
Melihat kondisi itu, maka tampaknya kesempatan untuk menjadi pemimpin di Kukar bisa menjadi sebuah "berkah" (jadi pimpinan di daerah terkaya) namun sebaliknya dapat berubah menjadi "musibah" karena hanyut dalam berbagai penyimpangan.
Kini, setelah Syaukani dijerat KPK, satu per satu pejabat dan mantan pejabat di Kukar terseret kasus hukum, dan terakhir menimpa dua mantan Sekkab Kukar masing-masing H. Subandi (dinyatakan DPO pijak Kejati Kaltim) dan H. Aswin yang kini menjadi Asisten Bidang Adminitsrasi Pemprov Kaltim (dugaan korupsi dana operasional DPRD Kutai Kartanegara).
Langganan:
Postingan (Atom)