Minggu, 05 Oktober 2014

KALTARA, RAKSASA YANG KIAN MENGGELIAT

"Sekarang terbelakang, nanti terdepan". Kalimat yang melengkapi sebuah lukisan di wilayah perbatasan itu terasa menyentuh rasa kebangsaan, meskipun bukan sebuah pekik heroik. Melengkapi kalimat itu, tampak gambar tiga orang bocah bercelana pendek tanpa alas kaki yang berjingkat seperti berlomba menggapai kain bendera Merah-Putih yang berkibar. Di bagian atas lukisan tangan itu terdapat gambar setengah badan Pj Gubernur Kalimantan Utara Irianto Lambrie berbaju resmi kepala daerah (baju dan topi putih) yang tersenyum melihat tiga anak tersebut. Dari tema tulisan dan lukisan pada sebuah tembok di salah satu sudut kota perbatasan di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara itu, bisa dipastikan bahwa karya tersebut dibuat untuk memperingati HUT RI 2014 beberapa waktu lalu. HUT RI 2014 tampaknya memiliki arti khusus bagi Provinsi Kalimantan Utara, yakni belum genap berusia dua tahun saat merayakan Hari Kemerdekaan RI sejak menjadi daerah otonom hasil pemekaran dari Provinsi Kalimantan Timur. Momentum yang bersejarah, di antaranya pada akhir Oktober 2012 karena Ibu Pertiwi melahirkan anak termudanya, yakni Kalimantan Utara, yang resmi menjadi provinsi ke-34. DPR RI mengesahkan Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) pada 25 Oktober 2012 yang meliputi lima daerah, yakni Kabupaten Bulungan (Ibu Kota Provinsi Kaltara), Kota Tarakan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, dan Kabupaten Tana Tidung (KTT). Pada 22 April 2013, akhirnya Kalimantan Utara memiliki pemimpin --meskipun belum definitif-- dengan ditunjuknya Dr Ir H Irianto Lambrie MM yang sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Provinsi Kalimantan Timur, menjadi Pj (pejabat) Gubernur Kaltara. Berkat berbagai prestasinya dalam membangun Kaltara, maka pemerintah melalui Surat Keputusan (SK) Presiden RI nomor 29/P tahun 2014 tertanggal 14 April 2014, kembali memberikan amanahnya kepada Irianto Lambrie sebagai Penjabat Gubernur Kalimantan Utara. SK Presiden diserahkan oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Prof Dr H Djohermansyah Djohan MA atas nama Presiden RI dan Menteri Dalam Negeri di Kantor Kementerian Dalam Negeri di Jakarta, April 2014. Tertinggal Sebagai provinsi baru maka kondisi Kalimantan Utara cukup tertinggal ketimbang induknya, Provinsi Kalimantan Timur. Salah satu alasan untuk pemekaran wilayah pun akibat disparitas pembangunan antara wilayah utara dengan wilayah selatan dan tengah (Kota Bontang, Kota Samarinda, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kota Samarinda dan Kota Balikpapan). Banyak orang meragukan jika Kaltara mampu mengejar ketertinggalannya, terutama jika disejajarkan dengan kondisi kakak kandungnya (Kalimantan Timur). Kaltara memang punya potensi Migas, batu bara, emas, dan berbagai potensi alam seperti yang ada di Kaltim namun karena keterbatasan infrastruktur sehingga pemanfaatannya juga relatif tertinggal ketimbang kegiatan ekploitasi di Bontang, Kutai Kartanegara. Samarinda dan Balikpapan. Dari sisi infrastruktur, Kaltara jauh tertinggal, khususnya pada sektor perhubungan darat, udara dan laut ketimbang Kalimantan Timur sehingga banyak yang pesimistis jika provinsi termuda itu mampu mengejar ketertinggalannya dalam waktu singkat. Namun, secara mengejutkan sikap pesimistis itu kini langsung sirna berganti dengan sangat optimistis berkat kejelian Pemprov Kaltara dalam menangkap peluang emas. Ternyata tanpa terlalu mendapat sorotan mata media, Pemprov Kalimantan Utara melakukan kerja sama dengan berbagai pihak, serta membuka diri sebesar-besarnya untuk dunia investasi. Pada akhirnya, berhasil menggaet investor Tiongkok untuk menanamkan modalnya di sana. Dari sejumlah investasi asing itu, yang paling strategis dan bisa menjadi pilar perekonomian bukan hanya untuk Kalimantan Utara tetapi nasional adalah pengembangan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) kapasitas 6.080 MW dengan investasi Rp175 triliun selama 30 tahun. Dengan kapasitas itu, maka Kaltara akan tercatat sebagai penghasil PLTA terbesar nasional. Awal tahun ini, kegiatan secara resmi dilakukan oleh Wamen ESDM RI Susilo Siswoutomo disaksikan antara lain Panglima TNI Jendral Moeldoko, Kepala BKPM RI Mahendra, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak dan Pj Gubernur Kaltara Irianto Lambrie. Peresmian ditandai dengan peletakan batu pertama pada Tugu Pembangunan PLTA Kayan. Dengan kapasitas sebesar itu. maka bukan hanya mampu melayani wilayah Kaltara namun juga provinsi lain seperti Kaltim karena kebutuhan tiga daerah terpadat di Kalimantan Timur (Kutai Kartanegara, Samarinda dan Balikpapan) hanya 300 MW. "Ke depan, jika PLTA itu sudah bisa beroperasi secara penuh maka sasarannya memang bukan hanya provinsi di Indonesia akan tetapi negara tetangga, yakni Malaysia," kata Pj Gubernur Kaltara Irianto Lambrie. Bahkan, jika pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Kayan Kecamatan Peso, Bulungan, Kalimantan Utara (Kaltara) 6.080 MW tuntas dan mulai beroperasi. bahka bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah mengatasi krisis energi nasional. "Pasalnya, selama ini tidak diperkirakan bahwa dalam mengatasi masalah energi nasional bisa terpecahkan melalui PLTA. Sebelumnya, pemerintah hanya sebatas pada solusi sumber energi konvensional, misalnya melalui Migas dan uap (batu bara)," kata Kepala Biro Ekonomi dan Pembangunan Pemprov Kaltara Risdianto. Tidak Ragu Alasan untuk menjual listrik itu, menjadi faktor utama sehingga investor dari Negeri Tirai Bambu itu tidak ragu menginvestasikan dananya untuk membendung sungai terbesar di Kalimantan Utara itu. Selain Sungai Mahakam (Kaltim) dan Sungai Barito (Kalsel), maka Sungai Kayan adalah salah satu sungai terbesar di Borneo dengan panjang sekitar 460 km dengan lebar 200-300 meter. "Persoalannya, selama ini pemerintah pusat dan BUMN terkait energi masih berkutat dengan kebijakan mengatasi masalah krisis energi dengan sumber-sumber yang konvensional, jadi jika PLTA ini mulai beroperasi maka rencana besar mengatasi masalah kelistrikan akan berubah," papar dia. Pemprov Kalimantan Utara. ujar Risdianto berhasil menggaet investor asing melalui PT Hidro City Kalimantan untuk membangun pembangkit listrik air terbesar di Indonesia dengan nilai investasi sekitar 25 Miliar Dolar AS. Sementara itu, Pj Gubernur Kaltara Irianto Lambrie menilai perlu sebuah perencanaan strategis yang komprehensif mengantisipasi "booming" sumber energi itu. Ketersediaan sumber energi akan menjadi magnit untuk menarik sektor perdagangan dan industri ke Kaltara. Saat ini, berbagai proses perizinan (pembebasan lahan, izin lokasi dan analisis dampak lingkungan sebagian sudah tuntas) sehingga diharapkan dalam waktu dekat akan memasuki tahap kegiatan pembangunan konstruksi. Pemprov Kaltara dalam mendukung investasi asing tersebut membentuk Tim Percepatan Izin PLTA. Sekiranya tidak ada hambatan yang berarti, maka dalam beberapa tahun mendatang, mulai dari tahap 10 tahun pertama, kedua dan ketiga maka Kalimantan Utara mampu mengatasi salah satu persoalan paling krusial di tanah air, yakni krisis sumber energi kelistrikan. Keberhasilan itu sangat vital karena bisa mengatasi ketergantungan nasional yang sangat tinggi terhadap sumber daya yang tidak bisa diperbaharui, yakni migas dan batu bara. Geliat itu kini kian terasa, tinggal bagaimana semua pihak bisa menjaga agar terbangunnya "raksasa" itu dari tidur panjang tak terganggu oleh masalah-masalah klasik yang sering merusak dunia investasi, antara lain buruknya birokrasi (perebutan kewenangan pusat-daerah), suasana politik yang berimbas ke iklim investasi, serta masalah keamanan (aksi demo menuntut ganti rugi). Geliat raksasa itu baru satu bidang investasi, padahal Kaltara memiliki potensi Migas yang belum tergaraf optimal. Mengapa Malaysia begitu ngotot mengklaim wilayah perairan Ambalat sebagai wilayah teritrorialnya, itu karena potensi Migas. Padahal potensi Migas di Ambalat adalah bagian hilirnya, sedangkan hulu berada di kawasan perairan Bulungan. Sehingga ada pengamat ekonomi menilai bahwa jika berbagai potensi tersebut tergaraf dengan baik, maksudnya kontribusi benar-benar dirasakan oleh bangsa Indonesia dan rakyat Kaltara --bukan sematas kata optimal-- maka pegerakan ekonomi wilayah utara Kalimantan Timur itu mampu melebihi beberapa daerah kaya di Indonesia, termasuk Kutai Kartanegara, apalagi berbagai potensi alam yang tidak bisa diperbaharui kian menitis serta pengelolaannya selama ini belum sepenuhnya dinikmati oleh warga Kaltim. Gajah Mini Borneo yang terdapat di Kecamatan Sebuku, Nunukan, Kaltara

Sabtu, 28 Juni 2014

ceritaku - Harta Berharga Bukan Warisan

Secara subyektif, aku merasa adalah salah satu cucu kesayangan kakekku. Buktinya, sejak SD kelas tiga sampai lulus sekolah dasar, aku lebih suka tinggal bersama kakekku di "Rumah Besar". "Rumah Besar" adalah sebutan kami untuk tempat tinggal kakekku karena rumahnya memang besar, maklum bangunan asli peninggalan masa silam, berbentuk rumah panggung yang tiang rumahnya hampir dua meter. Di bawah kolong rumah itu menjadi tempat arema bermain kami. Main wayang, main kelereng, main gasing dan berbagai permainan tradisional. Teman-teman bermain --anak-anak seusiaku saat itu-- paling sepupu sekali dan sepupu dua kali karena kami keluarga besar. Menjadi cucu kesayangan, membuat diriku sedikit nakal dan keras kepala. Pasalnya, aku kecil berhasil memanfaatkan arti cucu kesayangan sebagai "senjata" jika aku dimarahi ayah atau ibu. Cara orangtua dulu mendidik anak dengan memukul --menyabet kaki pake rotan-- adalah hal biasa. Biasanya, orang-orangtua dulu memiliki rotan seukuran jari kelingking panjang setengah atau seperempat meter berfungsi ganda, yakni untuk alat penunjuk saat belajar ngaji (membaca tulisan Arab) dan memukul kaki anak jika berulang-ulang salah membaca "alifan", atau untuk menghajar anak yang dianggap terlalu nakal. Jika melihat gelagat orangtuaku marah besar karena kenakalanku, biasanya menggoda adik sehingga menangis, aku akan lari ke rumah besar untuk berlindung, dan jika tahu aku ada di rumah kakek, baik ayah maupun ibu tidak berani marah-marah di sana karena kakekku sangat dihormati dan disegani. Suatu sore, kami sedang asik bermain kelereng di bawah kolong rumah besar. Tiba-tiba, kami kaget melihat Abdul, salah seorang sepupuku yang usianya satu tahun lebih tua lari menuju rumah besar hanya mengenakan celana pendek, tanpa pakaian dan alas kaki. Kakek yang duduk di kursi malasnya di beranda rumah besar juga kaget. Abdul dengan terengah-engah langsung duduk di lantai di belakang kursi kakek. "Kamu kenapa ? " ujar kakek namun Abdul hanya diam dengan wajah ketakutan. Tidak lama, dari kejauhan tampak pamanku, ayah Abdul bergegas menuju rumah besar dan ditangannya tampak memegang rotan. Namun, ketika melihat kakekku, paman langsung membalik tangannya untuk menyembunyikan rotan di balik badannya. Posisi pamanku terlihat canggung karena ingin berbalik namun sudah terlanjur di lihat kakek. Kakekpun melambai agar ia mendekat. "Kenapa ? " tanya kakek dengan nada menegur. "Bukan apa-apa," kata pamanku. "Dia berbuat apa," kata Kakek dengan tatapan tajam minta penjelasan. "Tadi gurunya ke rumah, kasih tahu jika ia beberapa hari tidak sekolah," ujar pamanku akhirnya menyampaikan persoalan sebenarnya. "Kalau urusan itu, pukul saja dia, jangan malas sekolah, harta paling berharga itu adalah ilmu, bukan warisan," ujar kakek tegas. Mendengar ucapan kakek, belum dipukul oleh paman, Abdul sudah meraung-raung menangis, mungkin karena sakit hati tidak ada yang membela. Sejak kejadian itu, aku tidak ingin bermalas-malasan lagi ke sekolah, ternyata jika urusan pendidikan kakek tidak akan membela kami. ***

Ceritaku - Dongeng vs Televisi

Aku terlahir dari keluarga besar. Benar-benar besar, pasalnya kakekku istrinya empat --entalah, aku tidak berani memikirkan, apakah sunah Rasul, khawatir kualat-- jadi sepupu sekali dan sepupu dua kali yang usianya sepantaran aku juga banyak. Hal paling menyenangkan kami --cucu-cucu kakek sepantaran usiaku saat masih kelas 1 dan 2 SD-- adalah menjelang tidur malam. Pada hari libur hampir semua cucu kakek sepantaran aku tidur di rumah kakek. Rumah kakek, asli rumah peninggalan masa lampau, berbentuk rumah panggung, lebar dan panjang 20 x 70 meter, usianya sudah ratusan tahun tapi karena bahan-bahan bangunan umumnya dari ulin dan bangkirai sehingga masih kokoh berdiri sampai kini. Kembali dengan cerita kakek menjelang kami tidur. Kakek akan duduk di tengah ranjang besi kuno, sementara kami cucu-cucunya --mungkin ada 15 anak, duduk rapi di depan ranjang kakek. Kakekku mulai dengan berbagai cerita tentang asal muasal manusia Nabi Adam As dan Siti Hama, Nabi Ibrahim As, Nabi Sulaiman As, perjuangan Amir Hamzah, Bilal, para Khalifah dst. Kepiawaian kakek bertutur luar biasa karena dibenak kami seperti benar-benar membayangkan kejadiannya. Saat alur cerita dengan akhir bahagia, semua menarik nafas lega namun saat sad ending, beberapa kami diam-diam meneteskan air mata, tak jarang ada yang pura-pura matanya kelilipan. Paling seru, jika kakek sudah menuturkan beberapa episode namun belum ada tanda-tanda cucunya mengantuk, maka kakek akan memulai hikayatnya dengan kalimat "dahulu kala, di sebuah kampung, ada seorang pemuda, namanya, si Apuk...." saat menyebut nama itu, beberapa cucu, langsung teriak, mencari bantal dan kain sarung, sudah pasti kakek akan menuturkan petualangan horor yang dihadapi si Apuk, biasanya sebagian langsung tidur dan beberapa saja yang berani mendengarkan sampai "the end". bahkan, kadang-kadang ceritanya tidak tuntas, malah kakek menarik selimut karena terserang kantuk. Setelah punya anak, aku memikirkan betapa luar biasanya orang-orang dulu, dalam memerikan pendidikan akhlak melalui cara bertutur namun sangat melekat dalam benak kita hingga dewasa, misalnya ketauladanan Rasulullah yang sangat menghormati kedua orangtuanya. Sementara anak-anak sekarang mungkin hanya tahu tentang syiar Islam hanya dari buku-buku pelajaran sekolah sepenggal-sepenggal. Suatu malam, terinspirasi cara kakek, aku mengumpulkan tiga putraku, dan mulai "mendongeng" tentang "hikayat" perang Badar, saat asik bertutur, tampak si bungsu sudah gelisah, dan diam-diam mendekati si sulung, sambil berbisik namun suaranya cukup jelas terdengar "cerita ayah tidak seru, kita main PS saja", tanpa permisi keduanya keluar diikuti anak nomor dua. Tinggal aku sendiri disertai suara tertawa istri depan pintu kamar, "zamannya sudah berubah, dulu tv hitam putih, tidak ada PS," ujar istri. Aku akhirnya duduk depan tv, dan putar HBO, siapa yang salah???

Ceritaku _Kenangan Milad Nabi

12 Rabiul Awal Hijriyah adalah hari bersuka-cita bagi umat Muslim karena merupakan maulid atau "milad" dalam bahasa Arab berarti hari lahir. Yakni, peringatan hari lahir junjungan Nabi Muhammad SAW. Sebagai seorang Muslim, sudah tentu 12 Rabiul Awal merupakan hari bersejarah. Namun, bagiku pribadi ada sebuah pengalaman yang tak mungkin terlupakan seumur hidup selain milad junjungan besar Rasullulah. Kilas balik ketiga aku kelas III SD, tepat pada 12 Rabiul Awal, maka masing-masing RT di kampungku sibuk membuat "mahligai" (sebuah miniatur masjid yang di dalamnya penuh aneka makanan). Entah berawal tahun berapa dan siapa yang pertama memulainya, maka sudah menjadi tradisi di sana, bahwa setiap maulid Nabi, masing-masing kampung atau RT berlomba-lomba membuat mahligai yang nantinya secara meriah dibawa ke Masjid Agung untuk diperlombakan. Setelah diperlombakan, maka makanan dalam mahligai itu akan disantap siapa saja yang datang ke masjid. Pagi-pagi datang temanku satu kelas dan satu bangku Jaffar sudah berpakaian rapi dan berpeci. Ternyata dia menyemputku untuk melihat kemeriahan lomba mahligai di Masjid Agung. Akupun kemudian berpakaian rapi dan mengenakan peci. Tepat saat kami tiba di Masjid Agung, ternyata suasana sudah sangat meriah, berbagai mahligai memenuhi ruangan Masjid, disertai suara musik rabana dan selawat Nabi. Maklum anak-anak, kami berdua kemudian mencari posisi untuk mendekati mahligai yang isinya makanan paling terlihat nyaman karena begitu selesai diumumnya siapa juaranya, maka masyarakat diperbolehkan makan. Rupanya peserta lomba dalam perayaan maulid Nabi tahun itu melonjak tajam sehingga membutuhkan waktu bagi juri untuk menilai dan menentukan juaranya. Ternyata Jafar yang sengaja tidak serapan di rumah sudah kelaparan, dan diam-diam mengambil ayam panggang dari mahligai di samping kami duduk. "Loh, koq sudah dimakan. Lombakan belum selesai," ujarku heran. "Mahligai di samping kita itu punya Oom ku, tadi udah permisi, dia bilang ambil saja ayamnya kalau lapar," ujar Jafar dengan wajah serius. Akhirnya aku ikut makan karena yakin jika ia tidak berbohong. Tak lama kemudian, datang tim juri, diikuti Pak Mokhtar, guru berhitung --matematika-- kelas III di SD kami yang terkenal keras dan bengis itu. Ku lihat wajah Pak Mokhtar langsung merah melihat kami berdua, aku pun heran apa yang membuat guru kami itu seperti sangat marah. Akhirnya semua mahligai sudah dinilai dan kemudian diumumkan pemenangnya, satu persatu nama juara disebutkan, dan ternyata juara tiga adalah mahligai milik kelompok Pak Mokhtar. Tak lama diumumkan, Pak Mokhtar mendatangi kami dengan wajah masih merah padam, "Senin, temui saya di sekolah !!! ," ujarnya. Dengan nada heran aku bertanya kepada Jafar, apa kesalahan kami sehingga harus dipanggil menemui Pak Mokhtar. "Gara-garanya, kalian makan ayam dari mahligai Pak Mohktar, seharusnya dia juara satu, karena sajiannya tidak lengkap jadi juara tiga," kata salah seorang anak yang memperhatikan kami. Tahu akan kesalahan kami, aku langsung mengajak Jafar pulang dan sepanjang jalan menyalahkannya. Apalagi, saat itu menjelang ujian kenaikan kelas, aku sangat khawatir gara-gara hal itu maka bisa menyebabkan tidak naik kelas. Tapi, Jafar tampak tenang dan menyakinkan aku bahwa ia bisa menyelesaikan masalah tersebut. "Tenang aja, nanti malam aku jemput jam 10, keluar lewat jendela aja," ujarnya. Karena panik tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya aku menyerahkan saja cara Jafar mengatasi hal itu, dalam hatiku mungkin malam-malam mau ke rumah Pak Mohktar untuk minta maaf. Tepat jam 10 malam, aku keluar diam-diam melalui jendela karena Jafar sudah memberi kode jika ia sudah mengunggu aku. Pertanyaanku tidak dijawabnya, ia bilang ikut saja. Rasa heranku kian menjadi-jadi karena arah yang kami tujuan berlawanan dengan rumah Pak Mohktar. Ternyata ia membawa aku ke rumah orang pintar yang biasa dipanggil Pak Satri. Sampai disana, Jafar menuturkan masalah kami yang tidak disukai Pak Mohktar tanpa menceritakan kisah sebesarnya. Aku terheran-heran campur kagum, kadang merasa aneh melihat ulah temanku satu bangku ini karena merasa pengalaman hidupnya melebihi usia kami yang baru duduk kelas III SD. Pak Satri yang matanya agak kurang awas itu kemudian mengambil kertas dan tertatih-tatih menulis ayat-ayat yang disebutnya "penunduk hati". Sebuah ayat bercampur antara bahasa Melayu, Arab dan Jawa karena pak Satri memang asli Jawa. Usai memberikan ayat-ayat itu, melengkapi ritual kami berdua dimandikannya tengah malam. Tanpa membawa handuk ataupun kain sarung jelas saja, mandi kuyup tengah malam membuat aku dan Jafar masuk angin dan flu. Akhirnya kami berdua terkena flu berat dan harus menyampaikan surat izin dari orangtua karena hampir seminggu sakit sehingga tidak bisa menemui Pak Mohktar pada senin itu. Entah karena mustajabnya doa-doa pemberian Pak Satri, atau karena tidak masuk sekolah selama satu pekan sehingga Pak Mohktar lupa amarahnya, ternyata setelah kami sehat dan kembali ke sekolah, tidak ada lagi persoalan dengan guru berhitung kelas tiga yang terkenal kejam itu. ***

Cerpen - Pertaruhan

Dua pemuda awalnya bersahabat karib, dimana ada Ali disitu ada Amad, dimana ada Amad disitu ada Ali. Keduanya ibarat sendok dan garpu, atau teh dan gula. Yang jelas, persahabatan mereka benar-benar tulus dan saling menyayangi. Sakit Ali, berarti luka bagi Amad. Luka bagi Amad, nestapa bagi Ali. Namun, persahabatan yang terjalin sejak mereka kecil hingga dewasa itu akhir terputus. Hanya karena Pemilu Presiden. Ternyata dari berbagai hal mereka sepaham, hanya pandangan politik yang membuat mereka berbeda. Gara-gara politik, hubungan keduanya mulai merenggang. Perlahan keduanya menarik diri, membatasi interaksi sosial. Ibarat ada benang imajener yang membatasi keduanya. Puncaknya, mereka berdebat tentang pandangan politiknya yang ternyata sesuai dengan yang diusung dua calon presiden. Ali sangat fanatik dengan calon No 1 karena sesuai dengan pandangannya, bahwa "nasionalisme" itu yang kini menjadi persoalan bangsa sehingga sangat tepat jika hal itu dijadikan sebuah perjuangan. Sementara Amad menjagokan No 2 karena menilai bahwa Indonesia sebagai sebuah negara tidak terlepas dari globalisasi sehingga berdampak langsung bagi sektor perekonomian, politik serta berbagai bidang lainnya, meskipun berkampanye tentang perjuangan "wong cilik" namun nafas kapitalis begitu hangat terasa. Terbawa oleh hentakan masing-masing Timses yang begitu piawai dalam memainkan hati rakyat --mengangung-agungkan masing-masing kelebihan kandidat serta menggali kelemahannya sehingga tidak jelas lagi beda antara negative campaign atau black campaign-- keduanya juga ikut-ikutan mengeluarkan kata-kata yang sangat tidak pantas sehingga menguburkan persahabatan sejati keduanya. Karena emosi, keduanya melemparkan taruhan. Hal yang dipertaruhkan bukan siapa calon presiden yang akan mendapat amanah rakyat untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia. Namun, mereka bertaruh untuk menjalankan pandangan hidupnya masing-masing seperti yang mereka perdebatkan itu di dalam dunia nyata setelah usai kuliah. Dan selama itu mereka tidak akan melakukan interaksi, dan masing-masing akan membuktikan siapa yang paling benar setelah 20 tahun akan datang. 20 tahun kemudian...... Seorang pejabat berdiri di jendela kantor megahnya. Ali kini telah menjadi seorang pejabat eselon I. Dari sisi karir, ia telah mencapai sebuah jejang tinggi di pemerintahan. Ia juga dikenal sebagai seorang pejabat yang tegas, jujur, dan disiplin. Namun, di balik kesuksesannya ada sesuatu yang terasa kosong, yakni ia merasa berada dalam sebuah kerangkeng yang bernama "birokrasi" yang tidak mampu menerapkan ide-idenya, meskipun dengan kata indah "nasionalisme" karena di atasnya beberapa tingkat, dari gubernur, kementerian, anggota legislatif bahkan presiden sendiri memiliki pemahaman dan kepentingan yang berbeda-beda tentang sosok "nasionalisme". "Rasanya tidak pantas aku menunjukkan muka ini kepada satu-satunya sahabatku, Amad, meskipun sukses di karir tapi hakikatnya aku tidak mampu melakukan apa-apa. Ternyata aku telah keliru dengan pandanganku selama ini". .................. Sementara itu, di ruang kerja sekaligus menjadi ruang tamu mewah di sebuah gedung lantai 20, duduk termenung seorang CEO sebuah perusahaan multi-nasional. Dari pencapaian karir dan pendapatan, tidak ada yang meragukan Amad namun ia pun merasakan sesuatu yang kosong di bilik jiwanya. Pandangannya mengagung-agungkan sebuah perdagangan bebas dan kapitalis ternyata terbawa dalam kehidupannya sehari-hari. Workaholic, sifat curiga serta memandang rendah orang lain, apalagi orang miskin membuat ia terasing, tidak hanya keluarga jauh namun adik, kakak, bahkan orangtuanya sudah tidak mengakuinya sebagai keluarga. Keluarga yang ada hanya anak dan istri namun ia merasa bahwa cinta dan kasih-sayang mereka palsu karena hanya mengincar hartanya. "Paling mereka mendoakan, agar aku cepat mati, pasti warisan saja yang mereka pikirnya". Pikiran-pikiran seperti itu yang menghantuinya. "Jika sekedar menggenggam kesuksesan semu, rasanya tidak pantas aku menemui sahabat terbaikku, Ali, ternyata dia benar". Ternyata pertaruhan yang mereka jadikan sebagai "doktrin" itu ternyata tidak berarti apa-apa, bahkan harus mengorbankan persahabatan sejati mereka selama 20 tahun. **** (Kadrie Oening, suatu malam di akhir Juni 2014)

ceritaku - Arti Sebuah Kesetiaan

Aku paling suka memilih kata kunci untuk pemulihan pasword untuk email, media sosial dan sejenisnya, pada pilihan What was the name of your first pet ? Jawabku "mugli". Benar, itu nama binatang peliharaan pertamaku, tepatnya seekor anjing. Mungkin sebelum mugli, burung dara, ada kucing, monyet dan burung enggang yang kami jadikan peliharaan karena ayahku hobi pelihara binatang. Tapi mugli adalah binatang yang benar-benar kupelihara dengan tanganku. Nama Mugli, ku ambil dari sebuah komik, "Mugli, si anak srigala". Suatu hari, saat pulang sekolah --SMP kelas dua-- seekor anak anjing lucu mengikutiku dengan mengibas-ibas ekornya. Hasan, karibku di sekolah, langsung menangkapnya dan mengajakku bergegas naik angkot, "ini anjing bagus, tidak adakah orang melihat saat aku ambil," ujarnya. "Mana aku tahu, yang penting aku tidak terlibat, jika yang punya lapor polisi," ujarku sambil menurunkan nada suara karena diberi signal oleh hasan yang khawatir, sopir angkot mendengar pembicaraan kami. setelah dekat rumahnya, hasan menyerahkan anak anjing itu kepadaku "aku titip, tidak mungkin aku pelihara nanti ami Idrus marah," katanya. "Jelas marah, mana ada Habib pelihara anjing," balasku gusar melihat kelakuan Hasan, ia yang membuat masalah tapi aku diberi tugas. Tanpa tunggu persetujuanku, ia langsung turun angkot. Akhirnya anak anjing berbulu hitam lebat itu aku bawa pulang dan diam-diam membuat kandang hasil modifikasi dari rumahan burung dara yang tak terpakai. Sepandai-pandainya melihara anak anjing pasti menggonggong jua. Ternyata ayahku santai saja. Setelah dilaporkan adikku, "biarin aja, biar dia belajar tanggung jawab merawat peliharaannya". Lain lagi ibuku, dengan berbagai dalih dan ayat ia melarang aku memelihara anjing, namun aku yang sudah jatuh cinta dengan kelucuannya tetap ngotot, akhirnya ibu mengalah dengan berbagai syarat dan syariat, "pokoknya jangan sampai dibawa ke rumah, karna jika ada bulu anjing, malaikat 40 hari tidak mau masuk rumah. Kalau habis pegang, sebelum cuci tangan pakai sabun, basuh dulu dengan tanah, setelah cuci bersih ambil air wudhu...". "Iyaaaaa..." ujarku tanpa sempat mendengar syarat lain yang sepertinya kian mustahil mampu aku lakukan. Setiap hari jika aku di rumah pasti bermain dengan mugli, yang ternyata anjing cerdas, main lempar kayu, suruh duduk dan berbaring sudah bisa ia lakukan. Saat aku kelas tiga SMP, memasuki Ramadhan. Suatu malam, anak-anak sepantaran aku saat melintasi depan rumah menuju masjid untuk tarawih, tak sengaja menginjak ekor Mugli yang berbaring di jalan. Mungkin karena kaget, ia langsung menggeram, serta mengancam dengan taringnya, salah seorang mengambil batu dan menimpuknya. Ternyata itulah awal masalah, Mugli ternyata punya ingatan kuat, sehingga anak yang menimpuknya itu tidak pernah bisa aman dan tentram jika melintasi depan rumah kami karena pasti digonggong dan dikejar. Merasa terus diteror, akhirnya orangtua dia memprotes kepada ibuku. Dua hari setelah itu, usai sekolah aku merasa ada yang janggal, setiap hati biasanya sudah terdengar gongongan mugli dari jauh saat melihat aku, dia pasti menunggu depan pagar rumah kami sambil mengibas-ngibas ekornya. Ternyata mugli telah diberikan, seorang penjual buah dari pedalaman kebetulan mencari anjing untuk menjaga kebunnya dan langsung diberikan ibuku. Protesku sudah tak berguna karena mugli sudah di bawa ke jantung hutan Borneo, nun jauh di sana. Berhari-hari aku seperti orang patah hati, kadang menangis jika tidak ada orang lain. Bayangan mugli yang mengantar dan menjemput depan pagar, saat pergi dan pulang sering terbayang. Ternyata sebuah ketulusan dan kesetiaan sangat berarti meskipun itu hanya oleh seekor anjing. Mengenangnya, nama mugli selalu aku pilih untuk pemulihan email dan media sosial.

Cerpen - bukan cari ocehan

Panas Jakarta memang luar biasa, matahari seperti di ubun-ubun, saat memikirkan nikmat es kelapa muda, ternyata ada warung jus buah di sebuah sudut Kwitang Jakarta, "orang baik, selalu diberi berkah" batinku sambil langsung mencari tempat duduk dekat kipas angin yang tergantung di tengah warung serta pesan es degan. Tak berapa lama masuk dua gadis yang dari penampilannya seperti anak kuliahan, "mending Prabowo, orangnya tegas, biar Malaysia tidak seenaknya, jangan sampe kasus hilangnya Pulau Sipadan terulang lagi," ujar gadis baju merah sambil tampak sibuk on line di gadgetnya. "Klo gua sih Jokowi aja, orangnya sederhana dan merakyat", ujar temannya yang cukup manis namun wajahnya penuh jerawatan. "Lu sih gak mikir, klo diye jadi presiden, anak-anak sekolah gak serius belajar, habis ada foto lucu di gantung depan kelas, klo Prabowo kan duren, siapa tahu ada jodoh," keduanya langsung tertawa, sayapun ikut tersenyum tak sengaja dengar obrolan mereka "Mang, pilih siapa," ujar si baju merah kepada pemilik warung saat mengantarkan minuman jus pesanan mereka, "Neng, hati-hati ngomong, kemarin karena canda seperti itu, kemarin dua pemuda berantem di depan," ujar pemilik . warung. Gara-gara candaan gadis tersebut, pemilik warung pindahkan kursinya mendekatiku, "bapak dari mana? ". "Dari Kalimantan Mang,"."klo di Jakarta, hati-hati ngomong masalah itu, bener kemarin karena omongan, dua pemuda berantem di depan. Heran, dibayar kagak, tapi bela mati". "Mungkin karena, orang-orang atas sono, bukan bersaing program tapi saling fitnah, mencari-cari kesalahan orang lain, rakyatpun ikut-ikutan bodohnya, bela sampe mati, padahal siapapun jadi presidennya, kite gini-gini aje". Entah dengar atau tidak dua gadis tersebut tampak sibuk dengan gadgetnya masing-masing. "Kite merantau ke sini cari makan bukan cari ocehan," lanjut penjaga warung meneruskan petuahnya yang tidak jelas ditujukan untuk siapa. "Sama mang, saya datang ke sini cuma cari es kelapa muda," ujarku yang ternyata terdengar lucu bagi dua gadis tersebut sehingga mereka kembali tertawa, akupun bergegas menyodorkan uang sepuluhuan ribu membayar es degan dan langsung cabut ketimbang mendengar petuah politik sang penjual jus buah...

Cerpen - adikku, si indian

Berita duka tentang meninggalnya adikku Aditya, benar-benar menjadi pukulan berat dan aku tidak ingin kehilangan momen untuk mengantarkan ke tempat peristirahatan terakhir. Tak perduli jika ada tugas terakhir beberapa hari ini maka gelar doktoral dari Monash University, Melbourne akan aku genggam. Untunglah, Pak Bas --salah seorang dosen di sana yang telah menjadi permanent residen-- berjanji membantuku jika kembali ke Ausie. Perjalanan panjang hampir enam jam, sidney-melbourne-jakarta terasa kian lama, ya itulah beda perjalanan wisata dan perjalanan karena duka. Sepanjang jalan, meskipun aku berusaha menutup mata dan telah menghabiskan tiga sloki double wiskey cola yang ku minta dari pramugari namun tak juga bisa tidur. Malah di benakku seperti sedang diputar ulang film masa kecil. Kami terlahir dari keluarga berada, aku adalah anak ke empat dari lima bersaudara, dan Aditya adalah anak bungsu. Biasanya, anak bontot adalah anak paling dimanja dan disayang namun tidak dengan Aditya, malah sepertinya, ia anak paling tidak disukai oleh ayah, ibu dan kakak-kakak kami, kecuali aku. Apalagi tetangga dan anak-anak seusia kami. Maklum saja adikku ini, terlahir cacat, kakinya timpang dan bisu. Mungkin karena usia kami beda satu tahun maka hubungan kami dekat, bahkan sering aku berkelahi karena mereka mengejek adikku. Herannya orangtua dan tiga kakak kami tidak mempersoalkan aku yang sering berantem tapi mempersalahkan Aditya. Suatu malam, aku terbangun mendengar ayah dan ibu bertengkar. Tanpa sadar ibu mengungkit jika ia sejak awal tak menghendaki kehadirannya. Saat hamil muda, ibu yang ingin kembali berakvitas dipekerjaannya makan obat perontok namun gagal sehingga hal itu yang menyebabkan ia melahirkan anak tak normal. Aku meringkuk di pinggir ranjang selain takut orangtuaku tahu aku menguping, juga baru paham jika mereka menganggap Aditya anak sial. Sejak saat itu, aku kian menyayangi dan melindunginya karena merasa orang sedunia membenci adikku.sama seperti anak-anak normal, maka aku dan Aditya juga suka bermain, permainan favorit kami adalah memerankan jagoan The Lone Ranger, aku jadi pahlawan bertopeng dan Aditya jadi Tonton, si Indian karibnya. Lamunanku perlahan pudar bersamaan suara pramugari yang mengingatkan jika pesawat segera mendarat. Di rumah duka tampak sejumlah kerabat, teman bisnis orangtuaku, dan tiga saudaraku bersama istri dan suami mereka. Aku tidak tapi perduli dengan sikap palsu mereka yang masih bersandiwara itu. Di ruang tengah terbujur kaku, saudara paling aku kasihani. Lama aku terduduk. Aku tidak menangis, karena air mataku sudah kering, menangis selama di pesawat. Selain itu, perasaan sedih berkurang saat menatap wajahnya, karena tampak tersenyum tenang dalam tidur panjangnya, tak ada lagi tatapan sendu dan ketakutan. Seperti saat melihat bunda murka jika ia dianggap berbuat salah. Perlahan aku meninggalkan jasadnya dan mengurung diri di kamar Aditya, tak sengaja aku melihat dompet tua berwarna coklat yang sepertinya aku kenal di laji meja. Ya, dompet ini hadiah dariku pada ulang tahunnya. Saat ku buka, tak ada isinya, selain sebuah foto masa kecil, aku dan Aditya yang berpakaian ala pahlawan bertopeng the lone ranger dan sahabatnya, tonto si indian. Baru aku perhatikan raut wajah Aditya dalam foto itu sama seperti wajahnya saat meninggal, mungkinkah hanya dua momen ini yang paling membahagiakannya. Selamat jalan adikku, selamat istirahat panjang sahabat indian ku, ya Allah berilah tempat yang layak di sisi-Mu, amin. (suatu malam juni 2014, kadrie oening samarinda)

cerpen - when money talks

"Siang bang," ujar sopir Bluebird begitu aku menutup pintu mobil dan duduk di jok belakang. "Cempaka mas pak" ujarku. Mobil taksi berwarna biru teduh itupun melaju namun saat melintasi Jl Sudirman, Jakarta menampakkan wajah aslinya yang garang--kemacetan jadi ritual rutin-- memecah kebisuan aku bertanya sekenanya "nama bapak Armada ya". "Ah abang canda aja, armada..sekian..sekian mah No taksi, nama saya Anto pak" ujar sopir tersenyum sambil melihat aku melalui kaca spion tengah. "Sory pak, aku pikir nama bapak Armada..sekian.Sekian.."ujarku balas tersenyum yang awalnya tak bermaksud bercanda namun akhirnya pura-pura bercanda untuk menutup malu karena salah baca id card sopir. Mungkin karena dianggap aku suka canda akhirnya sang sopir berkicau tentang berbagai hal, termasuk mengomentari beberapa penjual buku tentang Prabowo dan Jokowi yang menjajakannya di sekitar traffictlight kepada pengendara atau penumpang seperti diriku. "Semua dijual di Jakarta yang penting jadi duit, jual diri, jual anak," katanya. "Cuma satu yang tidak dijual pak?" ujarku dengan kalimat gantung,"Apa bang?", "Ayah dan ibu", "ha ha ha...kalau itu dijual bakalan kualat..". "mohon maaf bang, ke jakarta bisnis atau libur". "Dua-duanya pak, libur sekalian kerja, kerja sekalian libur", terpancing dengan sikap sopir banyak bicara, akhirnya aku seperti curhat, menuturkan tentang kondisiku yang dalam pekerjaan sudah sampai titik jenuh, sebagai seorang manajer di perusahaan pengadaan alat konstruksi hampir semua daerah sudah aku singgahi, gaji dan tunjangan sangat memuaskan tapi posisi ini hampir 20 tahun aku jalani, kemampuan lobi serta keluwesanku mendekati bos besar yang juga pemilik perusahaan menyebabkan, posisiku seperti tak tergantikan saking percayanya kepada diriku. Meski aku sering mengeluh sendiri karena banyak pekerjaan bukan di bidangku namun jadi tugasku karena perintah langsung dari the big bos. Hal lain yang kian membuatku ingin berhenti adalah prilaku bos besar, yakni sangat kasar jika ada masalah, kata-katanya melukai harga diri anak buahnya termasuk aku,"Mau wiraswasta, belum berani, mau pindah perusahaan, takut kesejahteraan tidak sama, kalau menurut bapak bagaimana? Lama terdiam, sopir itu menilai sebaiknya, aku tetap bekerja "sudahlah bang, lupakan masalah moral, yang penting, pendapatan abang sangat memuaskan.secape capeknya orang kerja akan enak jika uang banyak, tapi seenak-enaknya orang nganggur, cuma makan tidur tapi sangat sakit jika tidak punya uang, jika tidak punya uang, kita tak ada harganya, teman jadi musuh, kerabat menjauh, saudarapun jadi orang lain". Tak terasa, kami sudah memasuki parkir Mal Cempaka Emas, aku segera mencabut dua lembar uang seratus ribuan dan segera melangkah,"bang, kebanyakan nih, cuma rp80 rebu". Aku tersenyum dan melambaikan tangan tanda aku ikhlas memberinya lebih.

cerpen - Sahabat Nakalku

20 tahun merupakan waktu cukup lama, waktu yang bisa membuat orang menjadi matang dan bijaksana. 20 tahun juga merupakan masa cukup lama dan bermakna sebuah nostalgia mendalam jika mengenang kejadian dua dasawarsa silam. Hal itulah yang ku alami saat bertemu secara tidak sengaja teman sekolah --sepermainan masa kecil-- saat mudik ke kampung halaman. Hampir 20 tahun tidak bertemu, aku nyaris tidak mengenalnya, semua tampak berubah, dari penampilan dan pengakuannya, aku percaya jika kini ia menjadi pengusaha kontraktor sukses. Bahkan, ia mengaku lolos meraih kursi pada Pileg lalu. Bergeser ke cerita masa lalu, tawanya berderai, saat mengenang kenakalan kami saat menangkap dan memanggang ayam tetangga sial yang masuk ke pekarangan rumahnya. Setelah puas tertawa-tawa saat mengenang kebegalan kami waktu kecil, akhirnya, aku mengeluarkan"pertanyaan wajib orang Melayu" jika bertemu sahabat lama yakni tentang berapa putranya? Wajahnya langsung berubah seperti ada mendung berkabut untuk menyembunyikan kehampaan. Akupun seperti menyalahkan diriku atas kelancangan menghentikan keceriaannya mengenang masa kecil kami. "Anakku satu-satunya meninggal is akibat kecelakaan lalu lintas, ibunya selamat meski sekarang lumpuh, menurut dokter tak mungkin bisa normal lagi, dan aku tak mungkin meninggalkannya meski mertuaku telah mengizinkan aku kawin lagi". Usai menuturkan insiden maut itu, tiba-tiba Hp-nya berdering dan ia berpamitan dengan alasan ada janji dengan rekan bisnis. Tinggal aku sendiri duduk termenung dengan berbagai perasaan menembus bilik empatiku. Ternyata, keutuhan keluarga adalah harta sangat tak ternilai, dan kesehatan kita sekeluarga itu sebuah rezeki yang sangat berharga namun kadang-kadang lupa kita syukuri. Hikmah lain, mungkin itulah alasan orang bule, tabu menanyakan masalah usia, agama dan keluarga, entahlah. (cerpen untuk sahabat).