Sabtu, 28 Juni 2014

Cerpen - adikku, si indian

Berita duka tentang meninggalnya adikku Aditya, benar-benar menjadi pukulan berat dan aku tidak ingin kehilangan momen untuk mengantarkan ke tempat peristirahatan terakhir. Tak perduli jika ada tugas terakhir beberapa hari ini maka gelar doktoral dari Monash University, Melbourne akan aku genggam. Untunglah, Pak Bas --salah seorang dosen di sana yang telah menjadi permanent residen-- berjanji membantuku jika kembali ke Ausie. Perjalanan panjang hampir enam jam, sidney-melbourne-jakarta terasa kian lama, ya itulah beda perjalanan wisata dan perjalanan karena duka. Sepanjang jalan, meskipun aku berusaha menutup mata dan telah menghabiskan tiga sloki double wiskey cola yang ku minta dari pramugari namun tak juga bisa tidur. Malah di benakku seperti sedang diputar ulang film masa kecil. Kami terlahir dari keluarga berada, aku adalah anak ke empat dari lima bersaudara, dan Aditya adalah anak bungsu. Biasanya, anak bontot adalah anak paling dimanja dan disayang namun tidak dengan Aditya, malah sepertinya, ia anak paling tidak disukai oleh ayah, ibu dan kakak-kakak kami, kecuali aku. Apalagi tetangga dan anak-anak seusia kami. Maklum saja adikku ini, terlahir cacat, kakinya timpang dan bisu. Mungkin karena usia kami beda satu tahun maka hubungan kami dekat, bahkan sering aku berkelahi karena mereka mengejek adikku. Herannya orangtua dan tiga kakak kami tidak mempersoalkan aku yang sering berantem tapi mempersalahkan Aditya. Suatu malam, aku terbangun mendengar ayah dan ibu bertengkar. Tanpa sadar ibu mengungkit jika ia sejak awal tak menghendaki kehadirannya. Saat hamil muda, ibu yang ingin kembali berakvitas dipekerjaannya makan obat perontok namun gagal sehingga hal itu yang menyebabkan ia melahirkan anak tak normal. Aku meringkuk di pinggir ranjang selain takut orangtuaku tahu aku menguping, juga baru paham jika mereka menganggap Aditya anak sial. Sejak saat itu, aku kian menyayangi dan melindunginya karena merasa orang sedunia membenci adikku.sama seperti anak-anak normal, maka aku dan Aditya juga suka bermain, permainan favorit kami adalah memerankan jagoan The Lone Ranger, aku jadi pahlawan bertopeng dan Aditya jadi Tonton, si Indian karibnya. Lamunanku perlahan pudar bersamaan suara pramugari yang mengingatkan jika pesawat segera mendarat. Di rumah duka tampak sejumlah kerabat, teman bisnis orangtuaku, dan tiga saudaraku bersama istri dan suami mereka. Aku tidak tapi perduli dengan sikap palsu mereka yang masih bersandiwara itu. Di ruang tengah terbujur kaku, saudara paling aku kasihani. Lama aku terduduk. Aku tidak menangis, karena air mataku sudah kering, menangis selama di pesawat. Selain itu, perasaan sedih berkurang saat menatap wajahnya, karena tampak tersenyum tenang dalam tidur panjangnya, tak ada lagi tatapan sendu dan ketakutan. Seperti saat melihat bunda murka jika ia dianggap berbuat salah. Perlahan aku meninggalkan jasadnya dan mengurung diri di kamar Aditya, tak sengaja aku melihat dompet tua berwarna coklat yang sepertinya aku kenal di laji meja. Ya, dompet ini hadiah dariku pada ulang tahunnya. Saat ku buka, tak ada isinya, selain sebuah foto masa kecil, aku dan Aditya yang berpakaian ala pahlawan bertopeng the lone ranger dan sahabatnya, tonto si indian. Baru aku perhatikan raut wajah Aditya dalam foto itu sama seperti wajahnya saat meninggal, mungkinkah hanya dua momen ini yang paling membahagiakannya. Selamat jalan adikku, selamat istirahat panjang sahabat indian ku, ya Allah berilah tempat yang layak di sisi-Mu, amin. (suatu malam juni 2014, kadrie oening samarinda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar