Sabtu, 28 Juni 2014

Ceritaku _Kenangan Milad Nabi

12 Rabiul Awal Hijriyah adalah hari bersuka-cita bagi umat Muslim karena merupakan maulid atau "milad" dalam bahasa Arab berarti hari lahir. Yakni, peringatan hari lahir junjungan Nabi Muhammad SAW. Sebagai seorang Muslim, sudah tentu 12 Rabiul Awal merupakan hari bersejarah. Namun, bagiku pribadi ada sebuah pengalaman yang tak mungkin terlupakan seumur hidup selain milad junjungan besar Rasullulah. Kilas balik ketiga aku kelas III SD, tepat pada 12 Rabiul Awal, maka masing-masing RT di kampungku sibuk membuat "mahligai" (sebuah miniatur masjid yang di dalamnya penuh aneka makanan). Entah berawal tahun berapa dan siapa yang pertama memulainya, maka sudah menjadi tradisi di sana, bahwa setiap maulid Nabi, masing-masing kampung atau RT berlomba-lomba membuat mahligai yang nantinya secara meriah dibawa ke Masjid Agung untuk diperlombakan. Setelah diperlombakan, maka makanan dalam mahligai itu akan disantap siapa saja yang datang ke masjid. Pagi-pagi datang temanku satu kelas dan satu bangku Jaffar sudah berpakaian rapi dan berpeci. Ternyata dia menyemputku untuk melihat kemeriahan lomba mahligai di Masjid Agung. Akupun kemudian berpakaian rapi dan mengenakan peci. Tepat saat kami tiba di Masjid Agung, ternyata suasana sudah sangat meriah, berbagai mahligai memenuhi ruangan Masjid, disertai suara musik rabana dan selawat Nabi. Maklum anak-anak, kami berdua kemudian mencari posisi untuk mendekati mahligai yang isinya makanan paling terlihat nyaman karena begitu selesai diumumnya siapa juaranya, maka masyarakat diperbolehkan makan. Rupanya peserta lomba dalam perayaan maulid Nabi tahun itu melonjak tajam sehingga membutuhkan waktu bagi juri untuk menilai dan menentukan juaranya. Ternyata Jafar yang sengaja tidak serapan di rumah sudah kelaparan, dan diam-diam mengambil ayam panggang dari mahligai di samping kami duduk. "Loh, koq sudah dimakan. Lombakan belum selesai," ujarku heran. "Mahligai di samping kita itu punya Oom ku, tadi udah permisi, dia bilang ambil saja ayamnya kalau lapar," ujar Jafar dengan wajah serius. Akhirnya aku ikut makan karena yakin jika ia tidak berbohong. Tak lama kemudian, datang tim juri, diikuti Pak Mokhtar, guru berhitung --matematika-- kelas III di SD kami yang terkenal keras dan bengis itu. Ku lihat wajah Pak Mokhtar langsung merah melihat kami berdua, aku pun heran apa yang membuat guru kami itu seperti sangat marah. Akhirnya semua mahligai sudah dinilai dan kemudian diumumkan pemenangnya, satu persatu nama juara disebutkan, dan ternyata juara tiga adalah mahligai milik kelompok Pak Mokhtar. Tak lama diumumkan, Pak Mokhtar mendatangi kami dengan wajah masih merah padam, "Senin, temui saya di sekolah !!! ," ujarnya. Dengan nada heran aku bertanya kepada Jafar, apa kesalahan kami sehingga harus dipanggil menemui Pak Mokhtar. "Gara-garanya, kalian makan ayam dari mahligai Pak Mohktar, seharusnya dia juara satu, karena sajiannya tidak lengkap jadi juara tiga," kata salah seorang anak yang memperhatikan kami. Tahu akan kesalahan kami, aku langsung mengajak Jafar pulang dan sepanjang jalan menyalahkannya. Apalagi, saat itu menjelang ujian kenaikan kelas, aku sangat khawatir gara-gara hal itu maka bisa menyebabkan tidak naik kelas. Tapi, Jafar tampak tenang dan menyakinkan aku bahwa ia bisa menyelesaikan masalah tersebut. "Tenang aja, nanti malam aku jemput jam 10, keluar lewat jendela aja," ujarnya. Karena panik tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya aku menyerahkan saja cara Jafar mengatasi hal itu, dalam hatiku mungkin malam-malam mau ke rumah Pak Mohktar untuk minta maaf. Tepat jam 10 malam, aku keluar diam-diam melalui jendela karena Jafar sudah memberi kode jika ia sudah mengunggu aku. Pertanyaanku tidak dijawabnya, ia bilang ikut saja. Rasa heranku kian menjadi-jadi karena arah yang kami tujuan berlawanan dengan rumah Pak Mohktar. Ternyata ia membawa aku ke rumah orang pintar yang biasa dipanggil Pak Satri. Sampai disana, Jafar menuturkan masalah kami yang tidak disukai Pak Mohktar tanpa menceritakan kisah sebesarnya. Aku terheran-heran campur kagum, kadang merasa aneh melihat ulah temanku satu bangku ini karena merasa pengalaman hidupnya melebihi usia kami yang baru duduk kelas III SD. Pak Satri yang matanya agak kurang awas itu kemudian mengambil kertas dan tertatih-tatih menulis ayat-ayat yang disebutnya "penunduk hati". Sebuah ayat bercampur antara bahasa Melayu, Arab dan Jawa karena pak Satri memang asli Jawa. Usai memberikan ayat-ayat itu, melengkapi ritual kami berdua dimandikannya tengah malam. Tanpa membawa handuk ataupun kain sarung jelas saja, mandi kuyup tengah malam membuat aku dan Jafar masuk angin dan flu. Akhirnya kami berdua terkena flu berat dan harus menyampaikan surat izin dari orangtua karena hampir seminggu sakit sehingga tidak bisa menemui Pak Mohktar pada senin itu. Entah karena mustajabnya doa-doa pemberian Pak Satri, atau karena tidak masuk sekolah selama satu pekan sehingga Pak Mohktar lupa amarahnya, ternyata setelah kami sehat dan kembali ke sekolah, tidak ada lagi persoalan dengan guru berhitung kelas tiga yang terkenal kejam itu. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar