Sabtu, 28 Juni 2014

Cerpen - Pertaruhan

Dua pemuda awalnya bersahabat karib, dimana ada Ali disitu ada Amad, dimana ada Amad disitu ada Ali. Keduanya ibarat sendok dan garpu, atau teh dan gula. Yang jelas, persahabatan mereka benar-benar tulus dan saling menyayangi. Sakit Ali, berarti luka bagi Amad. Luka bagi Amad, nestapa bagi Ali. Namun, persahabatan yang terjalin sejak mereka kecil hingga dewasa itu akhir terputus. Hanya karena Pemilu Presiden. Ternyata dari berbagai hal mereka sepaham, hanya pandangan politik yang membuat mereka berbeda. Gara-gara politik, hubungan keduanya mulai merenggang. Perlahan keduanya menarik diri, membatasi interaksi sosial. Ibarat ada benang imajener yang membatasi keduanya. Puncaknya, mereka berdebat tentang pandangan politiknya yang ternyata sesuai dengan yang diusung dua calon presiden. Ali sangat fanatik dengan calon No 1 karena sesuai dengan pandangannya, bahwa "nasionalisme" itu yang kini menjadi persoalan bangsa sehingga sangat tepat jika hal itu dijadikan sebuah perjuangan. Sementara Amad menjagokan No 2 karena menilai bahwa Indonesia sebagai sebuah negara tidak terlepas dari globalisasi sehingga berdampak langsung bagi sektor perekonomian, politik serta berbagai bidang lainnya, meskipun berkampanye tentang perjuangan "wong cilik" namun nafas kapitalis begitu hangat terasa. Terbawa oleh hentakan masing-masing Timses yang begitu piawai dalam memainkan hati rakyat --mengangung-agungkan masing-masing kelebihan kandidat serta menggali kelemahannya sehingga tidak jelas lagi beda antara negative campaign atau black campaign-- keduanya juga ikut-ikutan mengeluarkan kata-kata yang sangat tidak pantas sehingga menguburkan persahabatan sejati keduanya. Karena emosi, keduanya melemparkan taruhan. Hal yang dipertaruhkan bukan siapa calon presiden yang akan mendapat amanah rakyat untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia. Namun, mereka bertaruh untuk menjalankan pandangan hidupnya masing-masing seperti yang mereka perdebatkan itu di dalam dunia nyata setelah usai kuliah. Dan selama itu mereka tidak akan melakukan interaksi, dan masing-masing akan membuktikan siapa yang paling benar setelah 20 tahun akan datang. 20 tahun kemudian...... Seorang pejabat berdiri di jendela kantor megahnya. Ali kini telah menjadi seorang pejabat eselon I. Dari sisi karir, ia telah mencapai sebuah jejang tinggi di pemerintahan. Ia juga dikenal sebagai seorang pejabat yang tegas, jujur, dan disiplin. Namun, di balik kesuksesannya ada sesuatu yang terasa kosong, yakni ia merasa berada dalam sebuah kerangkeng yang bernama "birokrasi" yang tidak mampu menerapkan ide-idenya, meskipun dengan kata indah "nasionalisme" karena di atasnya beberapa tingkat, dari gubernur, kementerian, anggota legislatif bahkan presiden sendiri memiliki pemahaman dan kepentingan yang berbeda-beda tentang sosok "nasionalisme". "Rasanya tidak pantas aku menunjukkan muka ini kepada satu-satunya sahabatku, Amad, meskipun sukses di karir tapi hakikatnya aku tidak mampu melakukan apa-apa. Ternyata aku telah keliru dengan pandanganku selama ini". .................. Sementara itu, di ruang kerja sekaligus menjadi ruang tamu mewah di sebuah gedung lantai 20, duduk termenung seorang CEO sebuah perusahaan multi-nasional. Dari pencapaian karir dan pendapatan, tidak ada yang meragukan Amad namun ia pun merasakan sesuatu yang kosong di bilik jiwanya. Pandangannya mengagung-agungkan sebuah perdagangan bebas dan kapitalis ternyata terbawa dalam kehidupannya sehari-hari. Workaholic, sifat curiga serta memandang rendah orang lain, apalagi orang miskin membuat ia terasing, tidak hanya keluarga jauh namun adik, kakak, bahkan orangtuanya sudah tidak mengakuinya sebagai keluarga. Keluarga yang ada hanya anak dan istri namun ia merasa bahwa cinta dan kasih-sayang mereka palsu karena hanya mengincar hartanya. "Paling mereka mendoakan, agar aku cepat mati, pasti warisan saja yang mereka pikirnya". Pikiran-pikiran seperti itu yang menghantuinya. "Jika sekedar menggenggam kesuksesan semu, rasanya tidak pantas aku menemui sahabat terbaikku, Ali, ternyata dia benar". Ternyata pertaruhan yang mereka jadikan sebagai "doktrin" itu ternyata tidak berarti apa-apa, bahkan harus mengorbankan persahabatan sejati mereka selama 20 tahun. **** (Kadrie Oening, suatu malam di akhir Juni 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar