Sabtu, 28 Juni 2014

cerpen - Sahabat Nakalku

20 tahun merupakan waktu cukup lama, waktu yang bisa membuat orang menjadi matang dan bijaksana. 20 tahun juga merupakan masa cukup lama dan bermakna sebuah nostalgia mendalam jika mengenang kejadian dua dasawarsa silam. Hal itulah yang ku alami saat bertemu secara tidak sengaja teman sekolah --sepermainan masa kecil-- saat mudik ke kampung halaman. Hampir 20 tahun tidak bertemu, aku nyaris tidak mengenalnya, semua tampak berubah, dari penampilan dan pengakuannya, aku percaya jika kini ia menjadi pengusaha kontraktor sukses. Bahkan, ia mengaku lolos meraih kursi pada Pileg lalu. Bergeser ke cerita masa lalu, tawanya berderai, saat mengenang kenakalan kami saat menangkap dan memanggang ayam tetangga sial yang masuk ke pekarangan rumahnya. Setelah puas tertawa-tawa saat mengenang kebegalan kami waktu kecil, akhirnya, aku mengeluarkan"pertanyaan wajib orang Melayu" jika bertemu sahabat lama yakni tentang berapa putranya? Wajahnya langsung berubah seperti ada mendung berkabut untuk menyembunyikan kehampaan. Akupun seperti menyalahkan diriku atas kelancangan menghentikan keceriaannya mengenang masa kecil kami. "Anakku satu-satunya meninggal is akibat kecelakaan lalu lintas, ibunya selamat meski sekarang lumpuh, menurut dokter tak mungkin bisa normal lagi, dan aku tak mungkin meninggalkannya meski mertuaku telah mengizinkan aku kawin lagi". Usai menuturkan insiden maut itu, tiba-tiba Hp-nya berdering dan ia berpamitan dengan alasan ada janji dengan rekan bisnis. Tinggal aku sendiri duduk termenung dengan berbagai perasaan menembus bilik empatiku. Ternyata, keutuhan keluarga adalah harta sangat tak ternilai, dan kesehatan kita sekeluarga itu sebuah rezeki yang sangat berharga namun kadang-kadang lupa kita syukuri. Hikmah lain, mungkin itulah alasan orang bule, tabu menanyakan masalah usia, agama dan keluarga, entahlah. (cerpen untuk sahabat).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar