Sabtu, 28 Juni 2014
cerpen - when money talks
"Siang bang," ujar sopir Bluebird begitu aku menutup pintu mobil dan duduk di jok belakang. "Cempaka mas pak" ujarku. Mobil taksi berwarna biru teduh itupun melaju namun saat melintasi Jl Sudirman, Jakarta menampakkan wajah aslinya yang garang--kemacetan jadi ritual rutin-- memecah kebisuan aku bertanya sekenanya "nama bapak Armada ya". "Ah abang canda aja, armada..sekian..sekian mah No taksi, nama saya Anto pak" ujar sopir tersenyum sambil melihat aku melalui kaca spion tengah. "Sory pak, aku pikir nama bapak Armada..sekian.Sekian.."ujarku balas tersenyum yang awalnya tak bermaksud bercanda namun akhirnya pura-pura bercanda untuk menutup malu karena salah baca id card sopir.
Mungkin karena dianggap aku suka canda akhirnya sang sopir berkicau tentang berbagai hal, termasuk mengomentari beberapa penjual buku tentang Prabowo dan Jokowi yang menjajakannya di sekitar traffictlight kepada pengendara atau penumpang seperti diriku. "Semua dijual di Jakarta yang penting jadi duit, jual diri, jual anak," katanya. "Cuma satu yang tidak dijual pak?" ujarku dengan kalimat gantung,"Apa bang?", "Ayah dan ibu", "ha ha ha...kalau itu dijual bakalan kualat..".
"mohon maaf bang, ke jakarta bisnis atau libur". "Dua-duanya pak, libur sekalian kerja, kerja sekalian libur", terpancing dengan sikap sopir banyak bicara, akhirnya aku seperti curhat, menuturkan tentang kondisiku yang dalam pekerjaan sudah sampai titik jenuh, sebagai seorang manajer di perusahaan pengadaan alat konstruksi hampir semua daerah sudah aku singgahi, gaji dan tunjangan sangat memuaskan tapi posisi ini hampir 20 tahun aku jalani, kemampuan lobi serta keluwesanku mendekati bos besar yang juga pemilik perusahaan menyebabkan, posisiku seperti tak tergantikan saking percayanya kepada diriku.
Meski aku sering mengeluh sendiri karena banyak pekerjaan bukan di bidangku namun jadi tugasku karena perintah langsung dari the big bos. Hal lain yang kian membuatku ingin berhenti adalah prilaku bos besar, yakni sangat kasar jika ada masalah, kata-katanya melukai harga diri anak buahnya termasuk aku,"Mau wiraswasta, belum berani, mau pindah perusahaan, takut kesejahteraan tidak sama, kalau menurut bapak bagaimana?
Lama terdiam, sopir itu menilai sebaiknya, aku tetap bekerja "sudahlah bang, lupakan masalah moral, yang penting, pendapatan abang sangat memuaskan.secape capeknya orang kerja akan enak jika uang banyak, tapi seenak-enaknya orang nganggur, cuma makan tidur tapi sangat sakit jika tidak punya uang, jika tidak punya uang, kita tak ada harganya, teman jadi musuh, kerabat menjauh, saudarapun jadi orang lain".
Tak terasa, kami sudah memasuki parkir Mal Cempaka Emas, aku segera mencabut dua lembar uang seratus ribuan dan segera melangkah,"bang, kebanyakan nih, cuma rp80 rebu". Aku tersenyum dan melambaikan tangan tanda aku ikhlas memberinya lebih.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar