Sabtu, 28 Juni 2014
ceritaku - Harta Berharga Bukan Warisan
Secara subyektif, aku merasa adalah salah satu cucu kesayangan kakekku. Buktinya, sejak SD kelas tiga sampai lulus sekolah dasar, aku lebih suka tinggal bersama kakekku di "Rumah Besar".
"Rumah Besar" adalah sebutan kami untuk tempat tinggal kakekku karena rumahnya memang besar, maklum bangunan asli peninggalan masa silam, berbentuk rumah panggung yang tiang rumahnya hampir dua meter.
Di bawah kolong rumah itu menjadi tempat arema bermain kami. Main wayang, main kelereng, main gasing dan berbagai permainan tradisional. Teman-teman bermain --anak-anak seusiaku saat itu-- paling sepupu sekali dan sepupu dua kali karena kami keluarga besar.
Menjadi cucu kesayangan, membuat diriku sedikit nakal dan keras kepala. Pasalnya, aku kecil berhasil memanfaatkan arti cucu kesayangan sebagai "senjata" jika aku dimarahi ayah atau ibu.
Cara orangtua dulu mendidik anak dengan memukul --menyabet kaki pake rotan-- adalah hal biasa. Biasanya, orang-orangtua dulu memiliki rotan seukuran jari kelingking panjang setengah atau seperempat meter berfungsi ganda, yakni untuk alat penunjuk saat belajar ngaji (membaca tulisan Arab) dan memukul kaki anak jika berulang-ulang salah membaca "alifan", atau untuk menghajar anak yang dianggap terlalu nakal.
Jika melihat gelagat orangtuaku marah besar karena kenakalanku, biasanya menggoda adik sehingga menangis, aku akan lari ke rumah besar untuk berlindung, dan jika tahu aku ada di rumah kakek, baik ayah maupun ibu tidak berani marah-marah di sana karena kakekku sangat dihormati dan disegani.
Suatu sore, kami sedang asik bermain kelereng di bawah kolong rumah besar. Tiba-tiba, kami kaget melihat Abdul, salah seorang sepupuku yang usianya satu tahun lebih tua lari menuju rumah besar hanya mengenakan celana pendek, tanpa pakaian dan alas kaki.
Kakek yang duduk di kursi malasnya di beranda rumah besar juga kaget. Abdul dengan terengah-engah langsung duduk di lantai di belakang kursi kakek. "Kamu kenapa ? " ujar kakek namun Abdul hanya diam dengan wajah ketakutan.
Tidak lama, dari kejauhan tampak pamanku, ayah Abdul bergegas menuju rumah besar dan ditangannya tampak memegang rotan. Namun, ketika melihat kakekku, paman langsung membalik tangannya untuk menyembunyikan rotan di balik badannya.
Posisi pamanku terlihat canggung karena ingin berbalik namun sudah terlanjur di lihat kakek. Kakekpun melambai agar ia mendekat. "Kenapa ? " tanya kakek dengan nada menegur.
"Bukan apa-apa," kata pamanku. "Dia berbuat apa," kata Kakek dengan tatapan tajam minta penjelasan. "Tadi gurunya ke rumah, kasih tahu jika ia beberapa hari tidak sekolah," ujar pamanku akhirnya menyampaikan persoalan sebenarnya.
"Kalau urusan itu, pukul saja dia, jangan malas sekolah, harta paling berharga itu adalah ilmu, bukan warisan," ujar kakek tegas. Mendengar ucapan kakek, belum dipukul oleh paman, Abdul sudah meraung-raung menangis, mungkin karena sakit hati tidak ada yang membela.
Sejak kejadian itu, aku tidak ingin bermalas-malasan lagi ke sekolah, ternyata jika urusan pendidikan kakek tidak akan membela kami. ***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar