Kamis, 05 Juni 2014
Menatap Masa Depan Gajah Kerdil Borneo
SAAT melihat kawanan gajah di televisi, maka umumnya orang membayangkan habitatnya di Pulau Sumatera, Thailand, India atau negara-negara di Afrika. Padahal ada satu kawasan yang ternyata menjadi habitat kawanan gajah tersebut, yakni di utara Kalimantan.
Bagi warga utara Kalimantan, khususnya yang berusia lanjut, keberadaan populasi gajah di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia bukan hal yang aneh.
Gajah Borneo kerdil (Elephas maximus borneensis) itu, konon, terakhir terlihat sekitar awal 1960-an, saat seorang prajurit RI (KKO Mariner) yang bertugas di perbatasan saat terjadi konfrontasi Indonesia dengan Malaysia (1963-1966) menembak mati seekor gajah yang mengamuk di sebuah perkampungan di wilayah Sebuku (Nunukan).
Namun, seiring perjalanan waktu disertai kian gencarnya aktivitas perhutanan dan perkebunan, satwa langka itu sempat dianggap punah karena tidak satupun warga di perbatasan yang melihat keberadaannya.
Kemudian, pada 1990-an, pihak Kanwil Kehutanan Kalimantan Timur mendapat laporan baik dari warga perbatasan maupun petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat bahwa diperkirakan masih ada kawanan gajah di wilayah utara Kalimantan itu berdasarkan jejak kaki dan kotorannya.
Berdasarkan laporan itu, maka sejumlah peneliti dan penggiat lingkungan hidup baik dari lembaga pendidikan serta organisasi lingkungan hidup, misalnya WWF¿s (World Wide Fund for Nature) kian intensif melakukan pemantauan dan penelitian di perbatasan.
Apalagi di kawasan perbatasan itu terbentang salah satu kawasan konservasi terbesar di dunia, yakni Taman Nasional Kayan Mentarang (1.360.500 hektar).
Taman Nasional Kayan Mentarang menjadi sangat penting karena merupakan suatu kesatuan kawasan hutan primer dan hutan sekunder tua yang terbesar dan masih tersisa di Kalimantan dan seluruh Asia Tenggara.
Penampakan gajah tersebut selain menjadi berita menggembirakan khususnya terkait upaya pelestariannya namun di sisi lain juga cukup mengkhawatirkan karena intensifnya interaksi antara manusia dengan satwa-satwa langka yang mendekati pemukiman itu atau sebuah indikaso bahwa kondisi hutan yang menjadi habitatnya kian rusak.
Wilayah perbatasan dalam beberapa dakade terakhir, menjadi salah satu kawasan paling rawan terjadi berbagai kasus kejahatan, bukan hanya pada kegiatan "illegal logging", penyelundupan dan pencurian ikan namun peredaran senjata api dan Narkoba, termasuk ancaman bagi teritorial RI.
Silih berganti pemerintahan serta berbagai upaya telah dilakukan dalam menekan berbagai tindak kejahatan di kawasan perbatasan namun tampaknya berbagai program dan strategi tersebut belum mampu mengatasi berbagai kerawanan kawasan perbatasan.
Alasan klasiknya, yakni pengamanan terbentur dengan wilayah Kalimantan Timur yang terlalu luas (1,5 kali Pulau Jawa dan Pulau Madura) yang dibarengi dengan kelemahan berbagai prasarana dan sarana perhubungan dan telekomunikasi.
Akhirnya, secercah harapan menyinari kawasan perbatasan, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 16 November 2012 telah menandatangani UU No. 20 Tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara (sebelumnya masuk dalam wilayah administratif Kalimantan Timur). Sebelum disahkan Presiden, RUU pembentukan Provinsi Kalimantan Utara telah disetujui oleh Rapat Paripurna DPR pada 25 Oktober 2012 untuk disahkan menjadi Undang-Undang (UU).
Pertanyaannya, benarkan melalui sebuah otonomi daerah--lahirnya Provinsi Kalimantan Utara-- pengelolaan lingkungan hidup akan bisa lebih baik sehingga memberi asa terhadap kelestarian Gajah Borneo.
Optimistis
"Sekarang ini memang belum terasa dampaknya karena Provinsi Kaltara meskipun sudah disahkan akan tetapi belum efektif dalam menjalankan sebuah pemerintahan karena belum memiliki kepala daerah (gubernur) dan dewan yang definitif," kata pengamat perbatasan di Kalimantan Timur, Prof Sarosa Hamongpranoto, SH, M.Hum.
Kalimantan Utara yang merupakan anak bungsu Ibu Pertiwi atau provinsi ke-34 saat ini masih dipimpin oleh Pj (pejabat gubernur) yang saat ini diamanahkan kepada Irianto Lambrie, dan baru melaksanakan Pemilu kepala daerah pada awal 2015.
Sarosa menilai bahwa jika pemerintahan daerah sudah berjalan efektif serta berbagai lembaga/organisasi/instansi setingkat provinsi sudah terbentuk maka ia optimistis pengawasan dan pengamanan wilayah perbatasan di Kalimantan Utara akan berjalan baik.
Selama ini, ujarnya, hambatan mengamankan wilayah perbatasan karena terbentur luas wilayah dibarengi dengan berbagai keterbatasan prasarana dan sarana perhubungan dan komunikasi namun dengan adanya pemekaran wilayah maka persoalan itu bisa diatasi, mengingat otonomi daerah hakikatnya mendekatkan pelayanan birokrasi dan pembangunan.
Hal terpenting lainnya, ujar Sarosa adalah Pemerintah Pusat atau Pemprov Kalimantan Utara bekerja sama dengan Pemkab Malinau dan Pemkab Nunukan (dua daerah yang berbatasan darat dan laut dengan Malaysia Timur, Sabah dan Serawak) mampu membuah sebuah rencana besar dalam mengamankan potensi alamnya baik dari berbagai tindak kejahatan yang merusak lingkungan, maupun ancaman yang bisa merugikan Indonesia terkait batas wilayah/teritorial.
Pengalaman selama ini, jika terjadi persoalan di wilayah perbatasan adalah saling tuding dan lempar tanggung jawab antara perintah pusat dan daerah.
Ia juga berharap agar kelestarian sejumlah konservasi alam di kawasan perbatasan fungsinya terus dipelihara, misalnya Taman Nasional Kayan Mentarang, dan sejumlah hutan lindung di Malinau dan Nunukan, termasuk Hutan Lindung Sembakung dengan benar-benar menerapkan pembangunan berwawasan lingkungan.
Belajar dari kesalahan Provinsi Kalimantan Timur, tampaknya pemerintah daerah di Kalimantan Utara nantinya jika akan memberikan ijin lokasi maka benar-benar pada lahan-lahan kritis bukan kawasan "berhutan".
Tidak kalah pentingnya, Sarosa menilai bahwa penyelamatan lingkungan tampaknya akan bisa berhasil jika ada komitmen terus menerus dari para pemangku kebijakan dengan dikawal oleh semua pihak, termasuk media massa.
Satwa Endemik
Upaya penyelamatan lingkungan di Kalimantan Utara tampaknya kian strategis karena tuntasnya perdebatan mengenai asal usul Gajah Borneo yang ditemukan mengembara di rimba wilayah Sabah, Serawak dan Kalimantan Utara itu.
Puluhan tahun, keberadaan gajah pemalu dan berukuran kecil tersebut diperdebatkan, ada yang mengatakan bahwa satwa langka itu adalah keturunan gajah milik Sultan Sulu.
Konon, British East India Trading Company (Kongsi perdagangan Inggris di Hindia Timur) menghadiahi gajah-gajah itu kepada Sultan Sulu pada 1750. Gajah itu kemudian dilepaskan ke belantara sehingga menjadi liar.
Ada pula yang menganggap bahwa gajah itu dibawa dari Thailand oleh juragan kayu, guna menarik kayu-kayu gelondongan pada awal era industri perkayuan di Kalimantan.
Pendapat lain adalah menyakini bahwa gajah tersebut adalah endemik Kalimantan.
Berbagai spekulasi tersebut akhirnya berakhir, saat WWF¿s (World Wide Fund for Nature) Asian Rhino and Elephant Action Plan Strategy serta peneliti dari Universitas Columbia belum lama ini melalui tes DNA Mitokondria membuktikan bahwa gajah pemalu, berukuran kecil serta berbulu lebih panjang ketimbang saudaranya di Sumatera, India, Thailand dan Afrika itu ternyata satwa asli Borneo.
Bahkan, peneliti Universitas Mulawarman yang menguji DNA Gajah Borneo di balai Riset USA mendapatkan bentuk dan sifat genetik berbeda dari gajah Asia dan Afrika sehingga satwa langka ini sudah mengembara di rimba Borneo pada 30.000 tahun lalu.
Survei WWF Wilayah Kaltim 2007 memperkirakan populasi Gajah Kalimantan antara 30 sampai 80 ekor di utara Kalimantan.
Masa depan kelestarian gajah mini tersebut tampaknya kini berada di pundak Pemprov (definitif) Kalimantan Utara serta Pemkab Malinau dan Pemkab Nunukan dalam menjaga kelestarian alam, dari hutan hujan tropis dataran tinggi di Taman Nasional Kayan Mentarang sampai "tropical rainforest" dataran rendah di hutan lindung Sembakung.
Keberhasilan menyelamatkan Gajah Mini Borneo yang merupakan subspesies dari gajah Asia dan hanya dapat ditemui di Kalimantan Utara itu bukan tidak mungkin menjadi "percontohan", mengingat WWF belum lama ini menemukan jejak badak sumatera di Kutai Barat, Kaltim, padahal satwa langka itu sudah puluhan tahun dianggap punah dari Bumi Kalimantan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar