Sabtu, 28 Juni 2014
Ceritaku - Dongeng vs Televisi
Aku terlahir dari keluarga besar. Benar-benar besar, pasalnya kakekku istrinya empat --entalah, aku tidak berani memikirkan, apakah sunah Rasul, khawatir kualat-- jadi sepupu sekali dan sepupu dua kali yang usianya sepantaran aku juga banyak. Hal paling menyenangkan kami --cucu-cucu kakek sepantaran usiaku saat masih kelas 1 dan 2 SD-- adalah menjelang tidur malam. Pada hari libur hampir semua cucu kakek sepantaran aku tidur di rumah kakek. Rumah kakek, asli rumah peninggalan masa lampau, berbentuk rumah panggung, lebar dan panjang 20 x 70 meter, usianya sudah ratusan tahun tapi karena bahan-bahan bangunan umumnya dari ulin dan bangkirai sehingga masih kokoh berdiri sampai kini. Kembali dengan cerita kakek menjelang kami tidur. Kakek akan duduk di tengah ranjang besi kuno, sementara kami cucu-cucunya --mungkin ada 15 anak, duduk rapi di depan ranjang kakek. Kakekku mulai dengan berbagai cerita tentang asal muasal manusia Nabi Adam As dan Siti Hama, Nabi Ibrahim As, Nabi Sulaiman As, perjuangan Amir Hamzah, Bilal, para Khalifah dst. Kepiawaian kakek bertutur luar biasa karena dibenak kami seperti benar-benar membayangkan kejadiannya. Saat alur cerita dengan akhir bahagia, semua menarik nafas lega namun saat sad ending, beberapa kami diam-diam meneteskan air mata, tak jarang ada yang pura-pura matanya kelilipan. Paling seru, jika kakek sudah menuturkan beberapa episode namun belum ada tanda-tanda cucunya mengantuk, maka kakek akan memulai hikayatnya dengan kalimat "dahulu kala, di sebuah kampung, ada seorang pemuda, namanya, si Apuk...." saat menyebut nama itu, beberapa cucu, langsung teriak, mencari bantal dan kain sarung, sudah pasti kakek akan menuturkan petualangan horor yang dihadapi si Apuk, biasanya sebagian langsung tidur dan beberapa saja yang berani mendengarkan sampai "the end". bahkan, kadang-kadang ceritanya tidak tuntas, malah kakek menarik selimut karena terserang kantuk.
Setelah punya anak, aku memikirkan betapa luar biasanya orang-orang dulu, dalam memerikan pendidikan akhlak melalui cara bertutur namun sangat melekat dalam benak kita hingga dewasa, misalnya ketauladanan Rasulullah yang sangat menghormati kedua orangtuanya. Sementara anak-anak sekarang mungkin hanya tahu tentang syiar Islam hanya dari buku-buku pelajaran sekolah sepenggal-sepenggal. Suatu malam, terinspirasi cara kakek, aku mengumpulkan tiga putraku, dan mulai "mendongeng" tentang "hikayat" perang Badar, saat asik bertutur, tampak si bungsu sudah gelisah, dan diam-diam mendekati si sulung, sambil berbisik namun suaranya cukup jelas terdengar "cerita ayah tidak seru, kita main PS saja", tanpa permisi keduanya keluar diikuti anak nomor dua. Tinggal aku sendiri disertai suara tertawa istri depan pintu kamar, "zamannya sudah berubah, dulu tv hitam putih, tidak ada PS," ujar istri. Aku akhirnya duduk depan tv, dan putar HBO, siapa yang salah???
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar